Dalam Tiga Tahun Terakhir, Kemampuan Pemda Serap APBD Makin Lambat
›
Dalam Tiga Tahun Terakhir,...
Iklan
Dalam Tiga Tahun Terakhir, Kemampuan Pemda Serap APBD Makin Lambat
Dalam tiga tahun terakhir, kemampuan daerah menyerap anggaran pendapatan dan belanja daerah cenderung menurun. Persentase anggaran yang diserap pun rendah. Hal itu berpotensi menghambat pembangunan dan pelayanan publik.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir, kemampuan daerah menyerap anggaran pendapatan dan belanja daerah cenderung menurun. Persentase anggaran yang diserap pun rendah. Hal itu berpotensi menghambat pembangunan dan pelayanan publik.
Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, sepanjang semester I pada 2017, 2018, dan 2019, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada 34 provinsi di Indonesia masih rendah. Realisasinya tidak pernah 50 persen.
Provinsi Sumatera Barat, misalnya, realisasi belanja APBD pada semester I-2017 sebesar 36 persen. Pada periode yang sama 2018 dan 2019, realisasi belanja itu justru terus turun masing-masing 34 persen dan 31 persen.
Begitu juga Provinsi Riau yang penyerapan APBD semester I-2019 sebesar 32 persen. Persentase itu turun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 dan 2017 yang masing-masing 33 persen dan 37 persen.
Adapun Provinsi DKI Jakarta, serapan APBD memang meningkat meski tidak signifikan. Persentase serapannya juga relatif masih kecil. Pada semester I-2017, penyerapan APBD DKI Jakarta 26 persen. Pada periode yang sama 2018 dan 2019, serapannya masing-masing 29 persen dan 31 persen.
”Memang ada tren penurunan penyerapan APBD pada semester I. Ini yang sedang kami evaluasi apa penyebabnya,” kata Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin di Jakarta, Minggu (1/9/2019).
Kepala daerah kerap beralasan lambatnya realisasi belanja APBD merupakan ekses dari kehati-hatian dalam pengelolaan APBD agar tak melanggar hukum.
Masalah berulang
Syarifuddin menyatakan, lambatnya penyerapan anggaran merupakan masalah berulang. Hal itu membentuk karakter realisasi belanja di daerah, yaitu sekitar 10 persen pada triwulan I, 30 persen pada triwulan II, 50-60 persen pada triwulan III, dan sisanya akan diserap pada triwulan IV.
Pada triwulan I dan II, pembelanjaan masih fokus pada belanja rutin, seperti penggajian aparatur sipil negara (ASN) dan pembiayaan operasional kantor. Memasuki triwulan III dan IV, belanja modal biasanya baru dilakukan.
”Selama pengalaman saya, mau digenjot seperti apa, aturannya seketat apa pun, ya, angkanya segitu-gitu saja,” ujarnya.
Pemerintah telah berupaya mempercepat dan meningkatkan penyerapan anggaran. Misalnya, dengan melarang pengadaan bangunan dan tanah secara bersamaan dalam satu tahun. Pengadaan keduanya secara bersamaan kerap tak tuntas dalam setahun dan menjadi representasi anggaran yang tak terserap.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengemukakan, masalah itu terus berulang sejak otonomi daerah diberlakukan. Hal itu dipengaruhi kuat oleh mekanisme administratif pengadaan barang dan jasa.
Pelaksanaan lelang hanya bisa dilakukan ketika APBD sudah disahkan, yaitu pada Desember. Semestinya, ada mekanisme lelang dini, yaitu pada Agustus atau September.
”Pada Agustus atau September, kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA-PPAS) sudah ada. Jadi, bisa untuk acuan lelang dini. Dengan begitu, proses lelang diharapkan tuntas lebih cepat,” ujarnya.
Urusan administrasi yang terlalu panjang, lanjut Robert, menyebabkan durasi penggunaan anggaran amat singkat. Meski dianggarkan untuk 12 bulan, kenyataannya dalam setahun anggaran hanya digunakan sepanjang enam bulan.
”Hasilnya hanya ada dua kemungkinan, penganggaran yang berantakan dengan cara kejar setoran pada akhir tahun atau ada sisa lebih penggunaan anggaran (silpa),” kata Robert.
Contohnya, silpa DKI Jakarta pada 2018 sebesar Rp 12,17 triliun. Nilai itu menjadi yang tertinggi di antara 34 provinsi.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menilai, kinerja beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) belum optimal sehingga banyak dana yang tak terserap. Padahal, ada beberapa proyek yang semestinya segera diselesaikan, yaitu pembangunan moda raya terpadu fase II dan pembangunan Jakarta International Stadium atau Stadion BMW (Kompas.id, 22/6/2019).
Syarifuddin mengatakan, tingkat penyerapan anggaran merupakan perwujudan kemampuan kepala daerah dalam merencanakan dan mengelola anggaran. Hal itu tentu akan berdampak pada cepat atau lambatnya pembangunan.
Robert juga berpendapat senada. Kemampuan kepala daerah merencanakan anggaran memang perlu ditingkatkan. Sebab, pada tahap selanjutnya perencanaan anggaran yang mewujud pada program dan pembangunan akan menentukan pula kualitas layanan publik.
Kemampuan kepala daerah merencanakan anggaran memang perlu ditingkatkan.
Selain kompetensi perencanaan anggaran, kepala daerah juga harus memonitor, mengevaluasi, dan mengontrol kerja kepala SKPD. Kemampuan itu penting karena kepala SKPD merupakan penggerak utama birokrasi.
”Tidak semua kepala daerah bisa mengontrol kepala SKPD. Padahal, tanpa kerja optimal dari mereka, anggaran tidak akan terpakai secara penuh,” kata Robert.