Upaya pelestarian satwa endemik lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Jawa Timur terus dilakukan. Salah satunya melalui pengembalian hewan tersebut ke alam liar.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sinar matahari menerobos dedaunan, Sabtu (31/8/2019) pagi. Biasnya jatuh di pelataran pondok rehabilitasi lutung jawa Javan Langur Center The Aspinall Foundation Indonesia Program di kawasan hutan Coban Talun, Kota Batu, Jawa Timur, yang dingin. Hari itu, Moses akan memulai hidup baru.
Diwarnai kicau burung di kejauhan, lutung jawa (Trachypithecus auratus) berusia 3 tahun 8 bulan itu pun bersiap. Bersama lima temannya, satu per satu mereka dipindahkan dari kandang rehabilitasi ke dalam peti kayu oleh petugas. Tak butuh waktu lama, proses pemindahan berlangsung tanpa kendala.
Setelah menunggu kurang dari satu jam, peti berisi enam lutung jawa itu pun digendong oleh sejumlah mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Malang menuju lokasi pelepasliaran di sekitar Gunung Pusungrawung, Biru, dan Petungamplok.
Lutung akan menempati kandang habituasi satu-dua hari sebelum dilepaskan ke alam.
Untuk menjangkau lokasi pelepasliaran dibutuhkan waktu tempuh satu-dua jam berjalan kaki dari pondok yang selama satu-dua tahun terakhir mereka tempati. Sebagai bekal selama perjalanan, petugas Javan Langur Center (JLC) The Aspinall Foundation Indonesia Program (TAFIP) menyelipkan dedaunan di atas peti.
Selain Moses (jantan), lima ekor lutung lain yang ikut dilepasliarkan adalah Ikin (jantan, 10 tahun), Asti (betina, 11 tahun 10 bulan), Iim (betina, 4 tahun 4 bulan), Baum (jantan, 7 tahun 10 bulan), dan Sartika (betina, 3 tahun 6 bulan). Mereka dilepaskan di lokasi berbeda.
“Moses sudah sangat akrab dengan manusia. Dia paling lama di sini, hampir dua tahun. Yang lain rata-rata satu tahun. Makanya, selama di kandang habituasi nanti dia akan dipantau dari jauh agar bisa beradaptasi. Lutung akan menempati kandang habituasi satu-dua hari sebelum dilepaskan ke alam,” ujar Manager Program JLC-TAFIP Iwan Kurniawan.
Moses masuk JLC-TAFIP sekitar dua tahun lalu saat masih kecil. Lutung yang memiliki warna bulu oranye—beda dengan kebanyakan rekannya yang punya bulu abu-abu hitam—diserahkan ke JLC oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur. Sebelumnya, BBKSDA mendapatkan Moses dari penyerahan oleh warga di Jember.
Menurut Iwan, lutung hasil penyerahan rata-rata cukup sulit direhabilitasi. Mereka membutuhkan waktu agak lama lantaran sebelumnya mereka telah familiar dengan manusia, bahkan tidak sedikit yang biasa mengkonsumsi makanan manusia. Namun, dengan penanganan yang tepat, mereka bisa direhabilitasi dan dilepasliarkan kembali ke alam bebas.
Demikian pula tentang lokasi pelepasliaran. Setelah jeda hampir lima tahun, kawasan Hutan Coban Talun kali ini kembali dipilih sebabagai lokasi. Empat tahun terakhir BBKSDA Jawa Timur dan JLC-TAFIP melepasliarkan lutung ke hutan lindung di wilayah Malang selatan.
Meski variasi pangan tidak sebanyak di hutan Malang selatan, pangan di kawasan Coban Talun melimpah. Iwan menyebut 90 persen vegetasi di kawasan itu sesuai dengan pangan lutung, seperti ara jejawi (Ficus retusa) dan bengkinang (Elaeocarpusgraber).
“Selama ini, kami juga mendapatkan tanaman dari kawasan itu untuk pangan lutung di kandang rehabilitasi. Meski begitu, variasinya tidak sebanyak Malang selatan karena ini hutan pegunungan,” kata Iwan.
Itu yang terhitung. Kalau ada yang tidak terhitung, pasti jumlahnya lebih banyak.
Kawasan Coban Talun yang berada di wilayah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Malang dan Taman Hutan Raya R Soerjo juga dinilai aman dari kompetitor dan minim aktivitas perburuan. Di kawasan itu memang terdapat sejumlah satwa endemik, seperti kera ekor panjang, kukang jawa, elang jawa, dan macan tutul jawa. Namun, mereka memiliki teritori perburuan mangsa berbeda.
Iwan menyebut, populasi lutung di kawasan Malang selatan yang sudah cukup stabil menjadi alasan hutan Coban Talun dipilih menjadi lokasi pelepasliaran. Dari pengamatan dan penghitungan terakhir secara riil oleh JLC-TAFIP, jumlah lutung di kawasan Malang selatan sedikitnya ada 153 ekor. “Itu yang terhitung. Kalau ada yang tidak terhitung, pasti jumlahnya lebih banyak,” katanya.
Jumlah tersebut berasal dari lutung hasil pelepasliaran dan lutung liar yang berkembang biak. Sejak tahun 2012 hingga pertengahan 2019 lalu, mereka telah melepasliarkan lutung sebanyak 14 kali dengan jumlah total 80 ekor. Masing-masing sebanyak 23 ekor di hutan Coban Talun dan 57 ekor di Malang selatan.
“Kalau di sini (Coban Talun) pendataan kami tahun 2015 tidak lebih dari 80-an ekor. Kita sekarang memanfaatkan celah kosong agar populasinya bisa bertambah. Di sini mereka akan membentuk ruang jelajah baru lagi pastinya,” ucap Iwan.
Asisten Perhutani Pujon, Padi Subowo, mengatakan, lokasi pelepasliaran ada di Petak 42 Resor Pemangkuan Hutan Punten, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Pujon. Total luas lahan di kawasan itu mencapai 44,2 hektar dengan tutupan vegetasi yang masih rapat.
Lokasinya pun aman dari aktivitas masyarakat, termasuk dari kebakaran lahan dan hutan. Area kebakaran hutan yang terjadi beberapa minggu lalu di lereng Gunung Arjuna dan Pandeman jauh dari lokasi pelepasliaran saat ini. “Aman lokasinya. Tidak ada aktivitas warga di situ,” ujar Padi yang juga hadir dalam kegiatan pelepasliaran.
Sementara itu, BBKSDA Jawa Timur mendukung penuh apa yang dilakukan oleh JLC-TAFIP. Petugas BBKSDA Resor Malang Imam Pujiono berharap, ke depan, populasi lutung di Jawa Timur terus bertambah, dan sebaliknya, aktivitas perburuan kian berkurang.
Hingga kini memang belum ada angka pasti berapa populasi lutung di Jawa Timur. Namun, pihak JLC-TAFIP menyebut aktivitas perburuan marak di kawasan Jawa Timur bagian timur. Setiap tahun, JLC-TAFIP menerima lebih dari 12 ekor lutung berbagai umur hasil sitaan BBKSDA dan kepolisian. Saat ini di JLC-TAFIP masih ada 26 ekor lutung yang menunggu pelepasliaran.