Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur mesti dilakukan secara matang dan terencana. Masih banyak hal yang harus dimatangkan agar pemindahan ibu kota berhasil mewujudkan tujuan utamanya, yakni pemerataan pembangunan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Pemerintah telah menetapkan pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Masyarakat yang mendukung umumnya sepakat dengan perlunya pemerataan pembangunan sebagai salah satu tujuan pemindahan ibu kota.
Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat mengkritik dan mengingatkan pemerintah soal pentingnya kajian terhadap aspek lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Soal aspek yang disebut paling akhir, pemerintah telah menjamin bahwa megaproyek ini tidak akan mengganggu neraca keuangan negara.
Jika ditilik lebih lanjut, biaya untuk memenuhi kebutuhan pemindahan ibu kota ditaksir berkisar Rp 466 triliun-Rp 485 triliun. Besaran ini sesungguhnya bukanlah jumlah yang sedikit mengingat tantangan perlambatan ekonomi global masih membebani laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memicu pengetatan likuiditas dalam negeri.
Sejak jauh hari, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyampaikan bahwa dana untuk pemindahan ibu kota tidak hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Terdapat dua sumber pembiayaan lain, yakni melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) serta investasi langsung pihak swasta.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dalam sejumlah kesempatan mengatakan, alokasi APBN dalam lima tahun ke depan tetap difokuskan untuk pembangunan sumber daya manusia.
Porsi terbesar sumber pembiayaan ibu kota akan diperoleh lewat KPBU. Melalui skema ini, pemerintah mencari sumber pendapatan dari kerja sama pengelolaan aset yang ada di Jakarta dan ibu kota baru, baik dengan pihak swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN).
”Jadi, nanti ada pemasukan dari situ yang kemudian langsung diarahkan untuk ikut membangun ibu kota baru,” ujarnya kepada Kompas, awal pekan lalu.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi KPBU akan mendominasi untuk membiayai pemindahan ibu kota baru, yakni 54,6 persen (Rp 265,2 triliun). Sementara estimasi pendanaan dari pihak swasta 26,2 persen (127,3 triliun). Adapun APBN akan mengisi porsi 19,2 persen (Rp 93,5 triliun).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi KPBU akan mendominasi untuk membiayai pemindahan ibu kota baru, yakni 54,6 persen.
Tukar guling
Skema investasi swasta dan KPBU nyatanya sangat terbuka terhadap masuknya dana investasi dari luar wilayah Indonesia. Bambang mengatakan, selagi investor membawa uang untuk membangun ibu kota baru, tangan pemerintah terbuka lebar.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata menilai, pembiayaan dari pemodal asing sangat memungkinkan diterapkan pada skema KPBU untuk membiayai pembangunan ibu kota baru. Hal ini justru ia nilai dapat meminimalkan risiko lantaran pemerintah tidak secara langsung berhubungan dengan investor.
”Pihak swasta nantinya menggandeng investor asing sehingga pemerintah mendapat dana segar, tanpa terganggu dengan pengetatan likuiditas di dalam negeri,” ujarnya.
Dengan skema manajemen aset berupa penambahan valuasi, pemerintah juga bisa bekerja sama dengan pengembang untuk membangun infrastruktur di ibu kota baru. Skema ini layaknya ”tukar guling” sebagai kompensasi atas pembelian atau penggunaan aset yang sudah tidak lagi menjadi fasilitas pemerintahan di Jakarta.
”Perlu diingat juga, saat ibu kota dipindahkan ke Kalimantan, pengembangan Jakarta dan sekitarnya akan terus berlanjut menjadi kota keuangan, bisnis, perdagangan, serta pusat jasa berskala regional dan global,” kata Soelaeman.
Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan, rencana regenerasi urban dengan anggaran Rp 571 triliun tetap dilakukan.
Ruang investasi
Keterbukaan pemerintah terhadap masuknya investor asing mendanai megaproyek pemindahan ibu kota disambut oleh salah satu lembaga multilateral, yakni Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Investment Infrastructure Bank/AIIB).
Saat ditemui Kompas pertengahan pekan kemarin di Jakarta, Wakil Presiden AIIB Lucky Eko Wuryanto mengatakan, kabar soal pemindahaan ibu kota Indonesia sudah menjadi perhatian pasar ekonomi global. Pihaknya menilai peluang AIIB untuk terlibat dalam pendanaan megaproyek tersebut sangat terbuka.
”Saat ini belum ada pembicaraan dengan pemerintah mengenai pendanaan pemindahan ibu kota. Akan tetapi, kalau ke depan ada peluang (pendanaan), tentu akan kami kaji sesuai kerangka kebijakan AIIB,” ujarnya.
AIIB dapat turut terlibat dalam menyalurkan pembiayaan jika visi pemindahan ibu kota, yaitu mengurangi ketimpangan, memeratakan pembangunan, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru, berhasil diejawantahkan melalui misi pembangunan yang jelas.
Sebagai lembaga keuangan multilateral, AIIB memiliki misi membangun infrastruktur yang memberi dampak berkelanjutan di negara-negara berkembang. Beroperasi sejak awal 2016, hingga Agustus 2019, AIIB telah menyalurkan pendanaan hingga 8,53 miliar dollar AS untuk 46 proyek di sejumlah negara.
Peluang AIIB untuk turut terlibat dalam mendanai megaproyek ini terbuka, baik melalui skema KPBU maupun investasi swasta. Skema KPBU sendiri sudah pernah dilakukan AIIB di Indonesia ketika bersinergi dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) untuk menggarap proyek pengembangan infrastruktur regional yang nilainya 100 juta dollar AS.
”Dalam proyek bersama PT Sarana Multi Infrastruktur, AIIB menyalurkan dana kepada pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur seperti rumah sakit daerah hingga pasar melalui PT Sarana Multi Infrastruktur,” kata Lucky.
Terlepas dari berbagai peluang dan tantangan, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur mesti dilakukan secara matang dan terencana. Masih banyak hal yang harus dimatangkan agar pemindahan ibu kota berhasil mewujudkan tujuan utamanya, yakni pemerataan pembangunan.