Sejarawan Mestika Zed meninggal dunia di RSUP Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Minggu (1/9/2019). Kepergian guru besar sejarah Universitas Negeri Padang itu menjadi menjadi kehilangan besar bagi dunia sejarah nasional.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Sejarawan Mestika Zed meninggal dunia di RSUP Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Minggu (1/9/2019), akibat serangan jantung. Kepergian guru besar sejarah Universitas Negeri Padang itu menjadi menjadi kehilangan besar bagi dunia sejarah nasional.
Meninggalnya Mestika mengejutkan bagi banyak kalangan. Beberapa hari terakhir, Mestika tetap aktif berkegiatan tanpa tanda-tanda mengidap penyakit. Pada 27 Agustus 2019, misalnya, ia menjadi pemakalah pada seminar nasional yang diadakan Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Sumbar di Padang.
Fajaruddin, ipar Mestika, menjelaskan, beberapa saat sebelum meninggal, Mestika masih tampak sehat. Namun, Minggu, sekitar pukul 06.00, Mestika merasa sesak napas. Sang istri Wahyuni Amir kemudian membawanya ke RSUP M Djamil dan sampai sekitar pukul 06.15.
“Ketika di rumah sakit, ia masih bisa komunikasi. Namun, setelah setengah jam, kondisinya menurun, detak nadi menurun. Dokter sudah melakukan upaya maksimal, tetapi tidak tertolong. Mestika meninggal pukul 08.40 dalam usia 64 tahun,” kata Fajaruddin.
Fajaruddin menambahkan, jenazah Mestika dimakamkan di Batuhampar, Limapuluh Kota, tempat kelahirannya. Kepergian pria kelahiran 19 September 1955 itu, meninggalkan seorang istri, yaitu Wahyuni Amir.
Mestika merupakan lulusan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1980. Selanjutnya, ia meraih gelar MA pada tahun 1983 di Vrije Universiteit, Belanda, kemudian mengikuti program penyetaraan S2 di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Pada tahun 1991, ia mendapatkan PhD dari kampusnya Vrije Universiteit di bidang sejarah.
Kehilangan
Meninggalnya Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial UNP itu menjadi kehilangan besar bagi dunia pendidikan dan dunia sejarah nasioanl. Rektor UNP Ganefri mengatakan, Mestika merupakan salah satu ilmuwan terbaik UNP, tidak hanya di Sumbar, tetapi juga nasional.
“Kami kehilangan seorang tokoh dan ilmuwan sejarah yang memiliki pemikiran yang original, yang sulit kita dapatkan saat ini. Pemikiran-pemikiran original yang dimiliki oleh Mestika, dengan integritas yang sangat tinggi, ia selalu berjuang untuk mengembangkan dan membangun dunia pendidikan,” kata Ganefri saat melepas jenazah Mestika di gedung Rektorat UNP.
Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan mengaku, sangat kehilangan dengan meninggalnya Mestika. Secara pribadi, Mestika adalah orang yang pertama kali mengenalkan Gusti dengan sejarah. Adapun secara akademik, Mestika, yang juga salah satu pendiri Jurusan Sejarah Unanda dan pernah jadi ketua jurusan, punya kontribusi besar dalam ilmu sejarah.
Kami kehilangan seorang tokoh dan ilmuwan sejarah yang memiliki pemikiran yang original, yang sulit kita dapatkan saat ini
“Buku tentang metode dan metodologi sejarah merupakan satu karyanya yang punya kontribusi besar. Buku itu banyak menjadi rujukan bagi orang lain,” kata Gusti.
Karya
Sejarawan muda Wenri Wanhar berpendapat, karya-karya Mestika Zed ibarat mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah. Hal itu, misalnya, terlihat pada buku Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan dan Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat.
“Kisah-kisah itu beberapa di antara kisah yang tidak dapat tempat dengan baik dalam khasanah sejarah kita. Pak Mes bisa diibaratkan sebagai ilmuwan yang mengisi ruang-ruang kosong. Dia tidak membebek (pada arus utama),” kata Wenri.
Adapun dari segi metode penelitian, bagi Wenri, metode yang digunakan Mestika juga tergolong unik. Sebagian besar ilmuwan sejarah hanya menulis berdasarkan sumber primer, menjahit arsip jadi tulisan. Namun, Mestika selain merujuk ke arsip, juga melakukan reportase sebagai bagian dari verifikasi. Kisah-kisah sejarah dituliskan dengan sangat baik.
Jurnalis sejarah Yose Hendra berpendapat, Mestika punya sumbangsih besar dalam mewarnai narasi sejarah Sumbar. Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan merupakan salah satu karya masterpiece Mestika. Buku itu juga menjadi salah satu dasar penetapan Hari Bela Negara yang diperingati tiap 19 Desember yang mengacu pada surat mandat pembentukan PDRI tanggal 19 Desember 1948.
“Peristiwa yang sebelumnya selalu dikedepankan rezim Orde Baru dalam perjuangan pascaproklamasi adalah serang umum 1 Maret 1949 dengan lakonnya Soeharto. Padahal, pembentukan PDRI tidak kalah penting. Mestika yang menguatkan bahwa PDRI merupakan mata rantai sejarah RI. Jika tidak ada PDRI, putus pemerintah Republik,” kata Yose, kontributor Historia di Padang.
Teladan
Wenri melanjutkan, Mestika juga merupakan sejarawan yang suka berbagi ilmu. Ia tidak pelit berbagi akses terhadap sumber-sumber primer yang dimililiknya. Bagi sejarawan sumber primer itu merupakan harta karun. Sebagian orang, agak pelit untuk berbagi.
“Ilmu pengetahuan semestinya memang begitu. Didapat kemudian disebarkan lagi. Manfaat ilmu terasa ketika berbagi. Pak Mes, ada di ranah itu. Ia berbagi ilmu pengetahuan kepada kami yang kecil-kecil ini. Ia royal terhadap ilmu pengetahuan,” kata Wenri.
Selain itu, Mestika juga menganggap setiap orang setara, meskipun banyak ilmu dan berstatus guru besar. Ia tidak pernah merendahkan orang lain dan menganggap diri lebih hebat. Mestika tidak sungkan saling berdiskusi untuk mendapatkan wawasan baru.
Yose menambahkan, meskipun sejarawan, Mestika merupakan satu dari sedikit sejarawan yang menerapkan multidisiplin ilmu dalam menulis. Ia sering mengaitkan sejarah dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Hal itu tidak terlepas dari tabiatnya yang suka bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Wawasan yang luas memperkaya tulisan-tulisan yang dihasilkan Mestika.