MUARA SABAK, KOMPAS — Kalangan arkeolog mengkritisi proses ekskavasi di Situs Perahu Kuno Lambur, Desa Lambur 1, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Proses eskavasi tersebut dinilai mengabaikan kondisi kapal yang telah rapuh. Upaya ekskavasi dikhawatirkan justru mempercepat kehancuran kapal.
Dalam ekskavasi di Situs Perahu Kuno Lambur, runtuhan perahu yang ditemukan pada kedalaman sekitar 1 meter, sebagian besar dibiarkan terbuka. Dengan demikian, artefak tersebut berpotensi terpapar secara langsung sinar ultra violet dari matahari yang sangat merusak material organik bahan dasar perahu kuno tersebut.
Ekskavasi Situs Perahu Kuno Lambur dimulai sejak 7 Agustus 2019 oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Penelitian tersebut melibatkan sejumlah mahasiswa Universitas Jambi.
Arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, setelah melihat video proses ekskavasi di situs tersebut mengatakan, cara melakukan ekskavasinya sangat membahayakan artefak yang ditemukan, yaitu menginjak-injak papan perahu yang sudah rapuh karena lama terendam tanah basah (tanah rawa).
“Sepanjang artefak tersebut masih di dalam tanah, maka artefak tersebut sudah mencapai titik ekuilibrium, tetapi begitu bersentuhan dengan udara terbuka, maka artefak tersebut menuju kehancuran. Kita harus belajar dari kegagalan konservasi Kapal kuno Rembang di Situs Punjulharjo tahun 2000-an,” ujarnya, Minggu (1/9/2019), di Jakarta.
Setelah perahu kuno Rembang selesai diekskavasi dan hendak ditutup kembali oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, ternyata masyarakat setempat ingin agar situs tersebut dibiarkan terbuka dan menjadi tempat wisata baru. Namun demikian, karena terpapar udara dan cuaca secara langsung, maka lama-kelamaan perahu kuno itu rusak.
“Perlu biaya yang sangat tinggi untuk menyimpan artefak semacam ini. Penyimpanannya juga harus pada suhu tertentu selama 24 jam non stop. Konservasi perahu kuno Rembang sendiri membutuhkan waktu 10 tahun dan itupun gagal juga,” kata dia.
Paparan sinar matahari
Selama proses ekskavasi, perahu juga tidak dinaungi secara memadai dari terpaan langsung sinar matahari. Paparan langsung dapat memicu kerusakan kapal.
Bambang mengatakan, minimnya perlindungan terhadap situs selama proses ekskavasi karena tim di lapangan tak punya pengalaman dalam ekskavasi situs maritim. Padahal, ekskavasi situs maritim memerlukan keahlian khusus, apalagi dengan kondisi kapal yang sudah dalam kondisi rentan rusak.
Ketua Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, Asyhadi Mufsi Sadzali, membenarkan ada bagian kapal yang terinjak dalam proses ekskavasi. Itu terjadi karena medan yang berat. “Kami pun sudah mengingatkan tim agar sebisa mungkin tidak menginjak bagian kapal untuk menghindari kerusakan,” katanya.
Wahyu Chandra, anggota tim ekskavasi, menambahkan, memang tidak memungkinkan dapat menjangkau seluruh bagian obyek situs itu jika tanpa menginjak bagian kapal yang lain.
Hingga Sabtu (31/8/2019), bagian barat kapal telah ditimbun kembali dengan tanah. Bagian timur kapal masih terbuka karena proses perekaman data belum selesai.
Menurut Muhammad Faiz, dari tim ekskavasi, penutupan kembali pada bagian barat kapal dilakukan karena telah 3 minggu dalam kondisi terbuka. “Karena cukup lama terpapar matahari, jadi harus ditutup dulu,” lanjutnya.
Hal itu, tambahnya, juga merupakan bagian akhir dari rangkaian proses ekskavasi, yang mana setelah selesai perekaman data, obyek situs harus langsung ditutup kembali sedia kala.
Jika seluruh data informasi mengenai kapal sudah lengkap, ke depan akan lebih mudah dilakukan langkah lanjutan. “Misalnya saja kalau pemda bermaksud membangun situs ini menjadi museum, data ekskavasi yang telah ada akan memudahkannya,” tambah Faiz.
Selama proses itu, tim juga melakukan pemetaan di dasar sungai dan melalui udara. Di sekitar situs itu ditemukan alur sungai kuno. Jarak dari situs kapal ke ke laut sekitar 20 kilometer.
Berjarak sekitar 100 meter dari situs kapal kuno, ditemukan pula kayu-kayu bulian yang dulu diperkirakan menjadi bagian dermaga. Tak jauh dari situ banyak pula ditemukan pecahan-pecahan gerabah dan sisa tonggak kayu yang diindikasikan sebagai bekas permukiman kuno.
Kapal kuno di Lambur pernah diekskavasi pada tahun 1997. Namun, hanya sebagian kecil kapal yang dibuka. Penelitian di lokasi situs yang sama pernah pula dilakukan tahun 2017 oleh tim Puslit Arkenas.
Arkeolog maritim
Bambang mengatakan perlunya ekskavasi di Situs Perahu Kuno Lambur melibatkan peneliti yang berkualifikasi sebagai arkeolog maritim. Hal ini penting adanya karena menyangkut bagaimana cara memperlakukan artefak-artefak maritim yang ditemukan.
Dalam ekskavasi di situs ini, tim melibatkan personil dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Namun demikian, personil yang dilibatkan bukanlah peneliti maritim bawah air, melainkan seorang konservator.
“Sekalipun penelitian ini digelar oleh fakultas, semestinya tim memberitahu ke Puslit Arkenas dan Balai Arkeologi Sumatera Selatan bahwa mereka mau melakukan penelitian di Situs Lambur. Tidak perlu izin, cukup pemberitahuan saja,” tambah Tomi.
Reruntuhan perahu kuno tersebut rencananya tidak diangkat dan dipindah ke museum, tetapi hanya replikanya saja yang akan ditempatkan di museum. Meski demikian, proses casting atau pembuatan replika berdasarkan kondisi kapal asli tetap harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena kondisi artefak perahu yang sangat rapuh.
Ketika dikonfirmasi terkait penelitian ini, Direktur Jenderal Hilmar belum mendapatkan laporan lebih lanjut. “Kemarin saya sempat berbicara dengan beberapa peneliti, termasuk Ali Akbar tetapi lebih tentang rencana kerjasama dengan BPCB Jambi dan Balar Sumatera Selatan,” kata dia.