Tol laut, jika memang ingin efektif, harus dilakukan masif dan semua pihak yang terlibat harus mengerti tanggung jawabnya. Tak bisa semua dibebankan ke pengangkutan. Perlu diingat, keperluan tol laut ini untuk membantu masyarakat di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
Salah satu program yang dicetuskan Presiden Joko Widodo saat pertama kali terpilih sebagai Presiden RI periode 2014-2019 adalah Tol Laut. Tol laut merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan untuk memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Ada beberapa tujuan tol laut, yakni menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara, menyediakan jaringan angkutan laut yang tetap dan teratur, melancarkan distribusi barang hingga ke pelosok, memeratakan ongkos logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia, serta mengantisipasi ketimpangan pembangunan perekonomian nasional.
Saat pertama didengungkan pada 2014 hingga setahun setelahnya masih banyak yang salah mengerti soal tol laut. Kesalahpahaman itu terjadi antara lain karena beberapa waktu sebelumnya, di akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Tol Bali Mandara yang terletak di Teluk Benoa, Bali.
Padahal, konsep tol laut adalah kapal yang secara rutin bolak-balik menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar ke pelabuhan-pelabuhan kecil di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal. Kapal-kapal itu membawa bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat sehingga mengurangi disparitas harga di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar itu.
Awalnya, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni yang diberi tugas. Kementerian Perhubungan membangun kapal dan menciptakan trayek. Dalam perkembangannya, ada juga kapal swasta yang mau terlibat. Ada yang terlibat dengan semangat tanggung jawab sosial perusahaan, ada juga yang memang melihatnya menguntungkan.
Setelah beberapa waktu dijalankan, sejumlah masalah timbul. Mulai dari jenis barang yang boleh diangkut, jumlah daerah yang ingin dilayani makin banyak, barang yang cepat habis sehingga harga tetap tinggi, hingga barang yang tak sesuai manifes. Selain itu, barang balik yang diangkut juga tidak banyak yang tumbuh.
Dari persoalan-persoalan itu, banyak yang menyimpulkan bahwa tol laut tidak berhasil. Disparitas harga masih tinggi. Akibatnya, Dewan Perwakilan Rakyat pun memotong anggaran. Subsidi angkutan tol laut diturunkan 50 persen, dari Rp 447,6 miliar tahun 2018 jadi Rp 222 miliar tahun 2019.
Jika ditilik, persoalan tol laut sebenarnya bukan pada pengangkutannya. PT Pelni (Persero), PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), PT Djakarta Lloyd (Persero), dan pelayaran-pelayaran swasta tak ada masalah dalam pengangkutan. Yang jadi masalah adalah barang yang diangkut yang bukan ranah operator pelayaran dan Kementerian Perhubungan.
Persoalan barang adalah tanggung jawab dari Kementerian Perdagangan, pemerintah daerah, dan kepolisian. Ada banyak barang yang diangkut ternyata bukan jenis barang yang diizinkan diangkut dengan kapal tol laut. Oleh karena itu, perlu pengawasan dari sejak barang itu akan dibawa hingga disalurkan ke mereka yang butuh.
Pelayaran selama ini hanya menerima peti kemas atau kargo yang sudah disegel oleh pemilik barang sehingga tak bisa tahu apa isinya. Pelni bahkan pernah memergoki isi kargo tol laut adalah batubara sehari setelah lepas sauh. Akhirnya, sepanjang perjalanan, Pelni harus siaga penuh karena khawatir terjadi kebakaran di atas kapal.
Sesampai di pelabuhan tujuan, barang yang dibawa juga harus dijaga agar tersalur ke tempat seharusnya. Jangan sampai, barang itu jatuh ke tangan pedagang yang memainkan harga. Apalagi, pedagang itu dapat untung dari harga barang dan ongkos kirim.
Tol laut, jika memang ingin efektif, harus dilakukan masif dan semua pihak yang terlibat harus mengerti tanggung jawabnya. Tak bisa semua dibebankan ke pengangkutan. Perlu diingat, keperluan tol laut ini untuk membantu masyarakat di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar sehingga seharusnya anggaran subsidi diperbesar. Sebagai pembanding, anggaran subsidi kereta api pada 2019 mencapai Rp 2,3 triliun, Rp 1,3 triliun di antaranya untuk KRL Jabodetabek.
Tentu tak adil jika program tol laut dinilai gagal. Kalau ukurannya disparitas harga turun, bisa dibilang berhasil karena harga akan turun saat barang turun, tetapi tak bertahan lama karena jumlahnya terbatas. Jika dilihat dari pergerakan barang dan orang lebih banyak dari dan ke Indonesia timur, tol laut telah berhasil dan daerah makin terbuka. (M CLARA WRESTI)