Merumuskan Korupsi sebagai Dosa Struktural
Mimik semringah dan bukan penyesalan hampir selalu ditunjukkan oleh para koruptor di depan kamera awak media. Masih minimnya pemahaman bahwa korupsi merupakan dosa terhadap kemanusiaan yang berdampak struktural diduga menjadi salah satu sebabnya.
Masalah ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Pesan untuk Pansel Pimpinan KPK: Capim KPK Harapan Publik” yang digelar Jaringan Gusdurian di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Rohaniwan Katolik Romo Benny Susetyo dan Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) Rumadi Ahmad membuka diskusi yang juga dihadiri rohaniwan dari Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat Pendeta Margie Ririhena Dewanna dan cendekiawan Nahdlatul Ulama Ulil Abshar Abdalla tersebut dengan sejumlah gugatan. Benny, misalnya, mengatakan pentingnya mengajarkan tentang korupsi sebagai dosa struktural dan tidak hanya dosa personal, sejak tingkatan pendidikan usia dini.
Kemanusiaan yang dibunuh dan martabat sosial yang dihancurkan oleh korupsi jadi penyebabnya. ”Sebab, (korupsi) menghancurkan manusia. Inilah dosa sosial,” ujar Benny.
Menurut Benny, saat ini agama-agama dihadapkan pada pertanyaan apakah bisa merumuskan korupsi sebagai dosa struktural dan bukan sekadar dosa yang bersifat privat. Ini artinya tantangan untuk merumuskan secara konseptual berdasarkan ajaran agama bahwa korupsi merupakan tindakan pengisapan kepada manusia lain, merugikan kemanusiaan, dan oleh karena itulah mesti dinilai sebagai dosa paling besar.
Ia menilai pentingnya ada kesepakatan bersama untuk memastikan bahwa koruptor adalah musuh kemanusiaan. Hal itu, misalnya, diwujudkan dengan kesepakatan bahwa koruptor mestinya diberi juga sanksi sosial.
Meski demikian, sanksi sosial akan menjadi tantangan tersendiri untuk diterapkan bilamana koruptor masih beroleh restu dari sebagian pemuka agama. Benny mencontohkan hal itu dengan perayaan dan pemberkatan pernikahan kepada pelaku tindak korupsi. Kondisi ini memunculkan gugatan selanjutnya, yaitu bagaimana agama berani melawan arus?
Benny juga menyoroti tugas agamawan untuk menjadi ”oposisi”, terutama dalam mengontrol pemerintah dan pelaku ekonomi. Dengan demikian berani menuduh, mencurigai, bahkan mengingatkan pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini memerlukan kemandirian lembaga keagamaan sehingga tidak bergantung pada pemerintah dan pasar.
Belum dibahas
Korupsi sebagai kategori dosa yang merusak sistem, menurut Ulil Abshar Abdalla, selama ini cenderung belum dibahas oleh sebagian pemuka agama di sebagian kelompok atau organisasi agama. Ini membuat belum adanya kesadaran bahwa korupsi merupakan dosa yang bersifat sistemik.
Ulil menjelaskan, sejauh ini yang diketahui terkait dengan perilaku kejahatan tersebut adalah tindakan pencurian dengan mengambil hak orang lain.
Dalam bahasa agama, Ulil menyebutkan hal tersebut dengan istilah sariqah.Akan tetapi, sariqah, imbuh Ulil, hanya memiliki pengertian sebagai tindakan mencuri harta orang lain. Pengertian tersebut tidak mencakup pencurian harta negara yang menjadi inti praktik korupsi.
Selain sariqah, Ulil mengatakan, bahwa terdapat pula kategori risywah yang berarti tindakan suap-menyuap. Serupa dengan sariqah, risywah lebih berdimensi sebagai dosa personal.
”Ini (korupsi) kategori dosa yang lain (bukan sariqah dan bukan risywah) karena (korupsi) merusak sistem. Ini (tafsir dosa korupsi) belum dibahas (sehingga) kesadaran korupsi sebagai dosa sistemik belum ada,” sebut Ulil.
Kondisi ini, Ulil menduga, membuat sejumlah koruptor tidak merasa bersalah. Secara berseloroh, ia mengatakan bahwa jangan-jangan ada sebagian orang yang lebih takut pada dosa mengonsumsi makanan haram ketimbang melakukan korupsi.
Menurut dia, jika benar terjadi, hal itu merupakan masalah besar. Kaum beragama, tokoh agama, dan lembaga agama, dengan demikian memiliki tantangan untuk menghadapinya.
Fikih antikorupsi
Meski demikian, menurut Rumadi, organisasi keagamaan, dalam hal ini Nahdlatul Ulama, telah melakukan langkah untuk melihat korupsi dari perspektif agama. Salah satunya lewat buku berjudul Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi yang diterbitkan pada 2017.
Pada bagian sambutan dalam buku itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa perjuangan melawan korupsi merupakan perjuangan yang sejalan dengan spirit keagamaan (ruhul jihad). Bahkan, dalam situasi sekarang, perang melawan korupsi bisa dipadankan dengan jihad fi sabilillah, dengan mengerahkan seluruh kesungguhan menyusul status korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Said, dalam buku itu, juga menyebutkan bahwa sejumlah istilah dalam fikih, misalnya sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab (mengambil milik orang lain tanpa izin pemiliknya), ikhtilas (pencopetan/ pengutilan), dan qath’uth thariq (perampokan), unsur-unsurnya hampir semuanya ada di dalam korupsi. Pembahasan terkait praktik atau istilah baru dalam korupsi, seperti konflik kepentingan, pemilik keuntungan (beneficial ownership), perdagangan pengaruh, imbal balik (kickback), tulis Said dalam buku tersebut, bisa dibahas Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) Nahdlatul Ulama.
Fikih Islam, demikian tulis Said, perlu melihat persoalan-persoalan itu untuk memberikan perspektif perkembangan hukum antikorupsi.
Dalam buku tersebut disebutkan pula bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang dilarang hukum agama (jarimah) dalam posisi sebagai jarimah baru dan tidak dikenal dalam khazanah fikih klasik. Ada sembilan tindak jarimah yang mirip dengan korupsi, masing-masing adalah penggelapan (ghulûl), gratifikasi atau penyuapan (risywah), mengambil paksa hak orang lain (ghashab), pengkhianatan (khiyânat al-amanah), pungutan liar (maksu), pencopetan (ikhtilâs), perampasan (intihâb), pencurian (sariqah), dan perampokan (hirâbah).
Masih dari buku tersebut, penggelapan (ghulûl), pencurian (sariqah), dan perampokan (hirâbah) dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT di dalam kitab suci Al Quran. Adapun enam jarimah lainnya dijelaskan dalam sejumlah Hadits Nabi Muhammad SAW.
Sejumlah praktik korupsi mutakhir, sebagaimana dikutip dari buku tersebut, seperti penggelembungan harga, pemilik keuntungan, pencucian uang, perdagangan pengaruh, imbal balik, dan politik uang, termasuk ke dalam lingkup jarimah ta’zir. Ta’zir mengandung pengertian sebagai hukuman yang bentuk atau besarannya ditetapkan negara atau penguasa.
Hal ini menyusul tidak disebutkannya jenis-jenis jarimah tersebut baik di dalam kitab suci Al Quran maupun Hadits. Maka dengan demikian, keenamnya tidak termasuk dalam kategori jarimah hudud. Jarimah hudud merupakan perbuatan dilarang yang hukumannya sudah ditentukan dan besaran sanksinya menjadi hak Allah SWT.
Pada bagian lain, Rumadi menyebutkan, sejauh ini korupsi cenderung belum dianggap sebagai perbuatan yang menistakan agama. Orang-orang tidak tersinggung teologisnya jika terjadi praktik korupsi.
Rumadi mengingatkan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih terbentang cukup panjang. Masyarakat, termasuk komunitas agama, tidak boleh lelah dalam memperjuangkannya.