Yunus Prasetyo Menjadi Ayah bagi ADHA
Peristiwa enam tahun silam mengubah jalan hidup Yunus Prasetyo (50). Saat itu, ia mendapat kabar dari salah satu rumah sakit di Solo, Jawa Tengah, ada seorang anak dengan HIV/AIDS. Ibu anak itu meninggal dunia di RS dan tidak ada seorang pun kerabatnya mau menerima dan merawat anak tersebut. Yunus memutuskan menerima dan merawatnya.
“Anak ini, MJ, terkatung-katung di rumah sakit. Setelah ibunya meninggal, keluarga besarnya tidak mau menerima karena tahu statusnya anak dengan HIV/AIDS. Mungkin mereka tidak siap atau takut. Pemerintah juga tidak siap saat itu,” ujar Yunus, Ketua Yayasan Lentera Solo di Solo.
Ketika itu, MJ belum genap berusia dua tahun. Kondisinya kurang terawat. Tubuhnya kurus kering. “Dia kami bawa ke kantor Mitra Alam,” ujar Yunus. Yayasan Mitra Alam merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu-isu HIV/AIDS dan rehabilitasi narkoba di Solo, tempat Yunus bekerja.
Yunus memutuskan menerima MJ berbekal modal nekat karena dorongan kemanusiaan. Padahal waktu itu, kantor Mitra Alam di Gentan, Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah sama sekali tidak siap menampung dan merawat ADHA meskipun aktif bergerak melakukan pendampingan orang-orang dengan HIV/AIDS. Akhirnya, Yunus dan bersama staf Mitra Alam lainnya, termasuk Puger Mulyono, secara bergiliran membawa pulang MJ ke rumah masing-masing dan merawatnya.
“Istri saya awalnya protes saat saya membawanya pulang ke rumah. Dia takut. Meskipun saya sudah lama bergerak dalam isu HIV/AIDS tetap saja istri saya merasa khawatir. Saya beri edukasi kepada istri dan anak-anak saya,” tuturnya.
Istri Yunus kemudian bisa memahami dan bahkan juga turut membantu merawat. Yunus membekali istri dan anaknya prosedur standar operasional dalam merawat ADHA. Namun, karena tidak mungkin dirawat secara bergiliran terus menerus, Yunus lantas mencari rumah kontrakan dan pengasuh bagi MJ.
Ia merelakan sepeda motor Yamaha Byson miliknya dijual guna membayar kontrak rumah di Songgorugi, Kelurahan Bumi, Laweyan, Solo. Sepeda motor yang baru dipakainya beberapa bulan tersebut dijual seharga Rp 18 juta untuk melunasi biaya kontrakan rumah selama dua tahun. “Yang membeli teman sendiri sehingga saya masih bisa sesekali nyawang (melihat) motor itu,” ujarnya sembari tertawa mengenang peristiwa itu.
Yunus menuturkan, MJ seolah membuka pintu bagi ADHA yang lain. Satu demi satu ADHA yang ditampung dan dirawat di rumah kontrakan di Songgorugi bertambah. Kabar ada rumah khusus penampungan ADHA di Solo menyebar dari mulut ke mulut sehingga menjadi jujugan sejumlah pihak. Jumlah anak dengan HIV/AIDS yang ditampung dan dirawat sudah mencapai belasan hingga tahun 2015. Ini mendorong Yunus bersama rekannya sesama aktivis HIV/AIDS, Puger Mulyono dan Kefas Jibrael Lumatefa secara resmi mendirikan Yayasan Lentera agar memiliki badan hukum.
Setelah dua tahun mengontrak rumah untuk menampung dan merawat ADHA di Songgorugi, Yayasan Lentera terpaksa harus mencari tempat baru karena pemiliknya tak mau memperpanjang kontrak. Rencana pindah ke sebuah rumah di Kelurahan Kedung Lumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo sempat mendapat penolakan warga setempat hingga akhirnya mengontrak sebuah rumah di Kampung Tegalrejo, Kelurahan Sondakan, Laweyan, Solo pada 2015.
Rumah singgah
Dua tahun berselang, Yayasan Lentera pindah menempati rumah singgah ADHA yang dibangun dari program CSR perusahaan swasta bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan Pemerintah Kota Solo tahun 2017. Rumah singgah ADHA ini menempati lahan milik Pemkot Solo di kawasan Jurug, Kecamatan Jebres, Solo. “Sekarang ada 32 anak dengan HIV/AIDS dan sembilan pengasuh,” ujarnya.
Sebanyak 16 anak di antaranya kini duduk di bangku SD, tiga di bangku SMP, dan satu anak di taman kanak-kanak. Selebihnya masih berusia balita. Mereka berasal dari berbagai daerah, di antaranya dari Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Papua.
Mereka dititipkan di rumah singgah ADHA yang dikelola Yayasan Lentera itu atas rekomendasi Dinas Sosial daerah asal mereka maupun dari informasi pihak rumah sakit yang pernah merawat orangtua mereka serta pihak-pihak lainnya. Umumnya anak-anak itu sudah tidak memiliki ibu maupun ayah karena meninggal dunia.
“Sebetulnya ini fenomena gunung es, sama dengan pengidap HIV/AIDS dewasa. Kadang status mereka disembunyikan keluarga dan belum mendapatkan layanan kesehatan,” katanya.
Rumah singgah ADHA yang juga biasa disebut rumah singgah Lentera dilengkapi sejumlah fasilitas bermain bagi anak-anak, di antaranya ayunan, mangkuk putar, dan prosotan di halaman depan. Ada juga sejumlah sepeda. Fasilitas itu membuat anak-anak leluasa bermain-main.
“Anak-anak itu berhak mendapatkan hak dasarnya. Kami berusaha memenuhi hak-hak dasar anak, hak mendapatkan perlindungan dari stigma diskriminasi, hak perlindungan dari kekerasan, hak mendapatkan layanan kesehatan, hak pendidikan, dan bermain. Ini berusaha kami penuhi di Yayasan Lentera terlepas kondisi kesehatannya seperti apa,” katanya.
Agar anak-anak merasakan suasana kehangatan keluarga, seperti layaknya sedang berada di rumah mereka, sistem keluarga dibangun di rumah singgah. Hubungan anak dengan pengasuh dibuat seperti halnya relasi anak dengan orangtua, paman, dan nenek. Para pengasuh pun biasa dipanggil dengan sebutan ayah, pak’e (bapak), om, mamak’e atau mak’e (ibu), hingga uti (simbah putri).
“Saya di keluarga saya dipanggil ayah. Di rumah singgah, saya juga dipanggil ayah. Itu memotivasi saya untuk terus mendampingi dan merawat mereka,” katanya.
Yayasan Lentera juga dibantu para sukarelawan. Mereka, antara lain mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo; Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS); dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka datang rutin pada hari-hari tertentu ke rumah singgah dan mengajak anak-anak bermain-main. Kehadiran mahasiswa ini selalu disambut antusias anak-anak.
Yunus bersyukur banyak pihak peduli dan mengulurkan bantuan, termasuk para donatur yang selama ini mendukung pendanaan rutin. “Kenapa Lentera sampai sekarang masih bertahan, itu karena uluran tangan para donatur dan pribadi-pribadi yang peduli,” ujarnya.
Bagi Yunus, anak-anak dengan HIV/AIDS dan para pengasuh di rumah singgah Lentera merupakan sebuah keluarga besar. Ia berharap anak-anak itu suatu saat dapat mewujudkan cita-cita mereka masing-masing.
Yunus Prasetyo
Lahir : Pati, Jawa Tengah, 4 Maret 1969
Pendidikan : Fakultas Pertanian, Universitas Slamet Riyadi (Unisri), Solo. Lulus tahun 1994.
Istri : Septiana Edwining W (46)
Anak :
1. Yuan Angger Prasetya (19)
2. Canatya Lestri Sekarningtyas (18)
3. Ken Ayu Lintang Natyasmara (14)
4. Kidung Ayu Natansa (2)