Ambisi Pengesahan RKUHP dan Pasal yang Bermasalah
Pemerintah dan DPR berambisi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam sisa waktu periode masa kerja 2014-2019 yang berakhir bulan ini. Namun, sejumlah pasal dalam RKUHP masih banyak yang bermasalah.
Pemerintah dan DPR berambisi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam sisa waktu periode masa kerja 2014-2019 yang berakhir bulan ini. Namun, sejumlah pasal dalam RKUHP ini masih banyak yang bermasalah dan multitafsir.
Berdasarkan sejarahnya, KUHP yang dimiliki Indonesia merupakan produk kolonial. Hal ini tertuang dalam naskah akademik RUU KUHP yang menyatakan sejarah hukum pidana Indonesia sebagaimana semula adalah Code Napoleon Perancis dengan kolonisasi kemudian berlaku di Belanda dan terakhir ke Indonesia.
Pada masa kolonialisme Belanda, KUHP diberi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie dan mulai berlaku sejak 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tersebut kemudian menjadi sumber pemerintah dalam mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Berkaca dari sejarah KUHP yang masih bersumber dari produk kolonialisme, pemerintah dan DPR periode ini kemudian berambisi mengesahkan RKUHP yang pembahasannya sudah dilakukan beberapa tahun silam. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga telah bertemu dengan pimpinan DPR dan meminta agar RKUHP sudah disahkan di rapat paripurna pada 24 September 2019.
Meski demikian, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP (ICJR, Elsam, ICW, AJI Indonesia, LBH, YLBHI, dan Kontras) menilai, masih banyak pasal yang bermasalah dan multitafsir sehingga berpotensi mengancam masyarakat hingga disalahgunakan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan, saat ini DPR masih membahas pasal-pasal yang bermasalah. Namun, dia memandang DPR dan pemerintah tinggal menyelaraskan poin-poin dari pasal-pasal yang bermasalah itu. Dia pun tetap berkeras akan menuntaskan dan mengesahkan RKUHP di ujung periode DPR 2014-2019.
Baca juga: Pengesahan RKUHP Tak Perlu Dipaksakan
Berikut merupakan daftar pasal-pasal yang bermasalah di dalam draf RKUHP terbaru, 28 Agustus 2019, dari catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP:
Hukum yang hidup dalam masyarakat
Pasal yang dinilai bermasalah dalam RKUHP yakni pasal terkait hukum yang hidup dalam masyarakat. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 598.
Pasal 2 Ayat (1) berbunyi, ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 598 terdiri atas dua ayat. Ayat (1) berbunyi, ”Setiap orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.” Adapun Ayat (2) berbunyi, ”Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) Huruf f.”
Menurut aliansi, asas legalitas diatur dalam konstitusi negara UUD 1945. Pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat juga harus merujuk pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi bahwa hak legalitas merupakan salah satu hak dasar warga negara.
Selain itu, tidak jelas disebutkan antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum adat. Aturan ini juga rentan overkriminalisasi, paling tidak akan ada 514 KUHP lokal tanpa kejelasan mekanisme evaluasi. Aturan turunan ini yang akan diatur dalam peraturan daerah (perda) juga berpotensi akan memunculkan perda diskriminatif.
Sementara Pasal 598 dinilai akan menimbulkan kesewenang-wenangan. Sebab, aparat penegak hukum berpotensi mendefinisikan hukum yang hidup di masyarakat berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan yang jelas.
Masalah pidana mati
Ketentuan yang mengatur pidana mati dalam RKUHP yakni Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101. Aliansi menilai, pidana seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa dua pertiga negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati.
Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati juga merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim. Ini juga membuat konsep pidana mati sebagai pidana alternatif tidak jelas.
Masalah pengaturan makar
Ketentuan makar tertuang dalam Pasal 167 RKUHP yang menjelaskan tentang definisi makar. Pasal ini berbunyi, ”Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.”
Definisi makar ini dinilai tidak sesuai dengan asal kata makar, yaitu aanslag, yang berarti ’serangan’. RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Tindak pidana peradilan
Sorotan lain dari RKUHP yakni masalah kriminalisasi tindak pidana peradilan (contempt of court), khususnya Pasal 281-282. Tindak pidana terhadap proses peradilan ini diancam dengan pidana maksimal satu tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Berdasarkan pasal tersebut, tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court itu, antara lain, ditujukan bagi setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Selain itu, tindakan lainnya yaitu secara melawan hukum merekam, memublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Aturan ini dinilai memuat rumusan karet atau pemaknaan yang rancu. Jika tidak diperjelas indikatornya, aturan ini berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers.
Tindak pidana penghinaan
Ketentuan yang mengatur tindak pidana penghinaan tertuang dalam Pasal 440-449 RKUHP. Dalam pasal ini mengatur ketentuan terkait pencemaran nama baik, fitnah, hingga pencemaran nama orang mati. Pasal ini juga dinilai memuat rumusan karet atau pemaknaan yang rancu dan tidak jelas indikatornya.
Pasal penghinaan presiden
Dalam RKUHP, terdapat juga pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis. Ini antara lain Pasal 218-219 tentang penghinaan presiden, Pasal 240-241 tentang penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, dan Pasal 353-354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
Aturan ini berasal dari pasal tentang lese mejeste. Pasal warisan kolonial pada dasarnya bertujuan untuk melindungi Ratu Belanda dari penghinaan.
Beberapa pasal tersebut sebelumnya telah dibatalkan MK, tetapi dihadirkan kembali dalam RKUHP. Beberapa pasal dibatalkan karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Menghidupkan kembali pasal ini berarti membangkang pada konstitusi.
Beberapa pasal tersebut sebelumnya telah dibatalkan MK, tetapi dihadirkan kembali dalam RKUHP.
Tindak pidana agama
Pasal 304 RKUHP mengatur tentang tindak pidana agama. Pasal ini berbunyi, ”Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”
Pasal pidana ini dinilai perlu dihapuskan karena jauh dari standar Pasal 20 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian. Selain itu, ketentuan juga hanya melindungi agama yang dianut atau diakui di Indonesia.
Tindak pidana kesusilaan
Aturan lain yang dinilai bermasalah yakni Pasal 417 RKUHP yang mengatur tindak pidana kesusilaan. Ayat 1 pasal tersebut berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda kategori II.”
Selain itu, di RKUHP juga muncul aturan terkait tinggal bersama perempuan dan laki-laki di luar perkawinan atau kumpul kebo yang tertuang dalam Pasal 419. Adapun hukumannya pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yakni maksimal Rp 10 juta.
Baca juga: Kelemahan RUU KUHP dalam Kejahatan Susila
Aliansi menilai, negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat. Delik aduan dalam pasal tersebut yang berdasarkan pengaduan orangtua dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
Tindak pidana korupsi
RKUHP memuat sebagian delik korupsi yang ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini tertuang dalam Pasal 604-607. Adapun hukuman yang diberikan yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 500 juta.
Ancaman hukuman dalam RKUHP ini lebih ringan daripada di UU Tipikor. Dalam UU Tipikor, minimal hukuman ke koruptor yang bertujuan memperkaya diri sendiri yaitu empat tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200 juta.
Ancaman hukuman dalam RKUHP ini lebih ringan daripada di UU Tipikor.
Baca juga: RKUHP Belum Mencerminkan Semangat Antikorupsi
RKUHP ini dinilai tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya Pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dalam RKUHP juga tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Tindak pidana pelanggaran HAM berat
Masalah tindak pidana pelanggaran HAM berat Pasal 599-600 RKUHP dinilai tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia secara internasional. Dalam Pasal 599 memasukkan aturan terkait kejahatan genosida, yakni orang yang bermaksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, hingga agama.
Memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif. Ditambah lagi masih banyak kesalahan dalam penerjemahan atau pengadopsian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat juga tidak diatur di dalam Buku 1 RKUHP. Ini berakibat tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selain itu, RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.