JAKARTA, KOMPAS – Berbagai aspek masih menjadi persoalan setelah lima tahun program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat berjalan. Salah satunya adalah, cakupan kepesertaan semesta yang belum mencapai target. Untuk itu, penegakkan hukum bagi penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta sebaiknya dipertegas.
Koordinator Bidang Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch, Timboel Siregar, saat dihubungi di Jakarta, Senin (2/9/2019) menilai, target pemerintah untuk mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta (UHC) pada akhir 2019 sulit tercapai. Pemerintah menargetkan 95 persen penduduk Indonesia bisa terlindungi dalam sistem asuransi dengan menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
“Di awal Agustus ini, jumlah peserta yang terdaftar sekitar 224 juta penduduk. Belum lagi ada sekitar 18 juta peserta non aktif. Artinya, dalam empat bulan lagi BPJS Kesehatan harus mampu merekrut lebih dari 30 juta penduduk sebagai peserta JKN atau rata-rata 6 juta penduduk per bulan. Target ini sulit dicapai, mengingat selama ini rata-rata rekrutmen sekitar 2 juta penduduk per bulan,” ujarnya.
Target ini sulit dicapai, mengingat selama ini rata-rata rekrutmen sekitar 2 juta penduduk per bulan.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan hingga 1 Agustus 2019, jumlah peserta JKN-KIS 223.347.554 orang. Jumlah tersebut terbagi dari beberapa segmen, yakni segmen Peserta Bantuan Iuran/PBI APBN (96,6 juta orang), PBI APBD (37,3 juta orang), Peserta Penerima Upah/PPU Pegawai Negeri (17,5 juta orang), PPU Badan Usaha (34,1 juta orang), Peserta Bukan Penerima Upah (32,6 juta orang), serta bukan pekerja, seperti pensiunan, TNI, dan Polri (5,1 juta orang).
Menurut Timboel, pencapaian cakupan jaminan kesehatan semesta harus didukung dengan penegakkan hukum yang kuat. Sejumlah aturan sebenarnya sudah diterbitkan, namun implementasinya tidak berjalan optimal.
Aturan itu seperti Peraturan Pemerintah Nomor 86/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Dalam aturan itu disebutkan, perusahaan badan usaha yg belum mengikutkan pekerjanya sebagai peserta JKN harus diberikan sanksi dengan tidak diberikan layanan publik.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 82/ 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional mewajibkan setiap orang ikut program JKN-KIS paling lambat 1 januari 2019. Jika tidak menjadi peserta program itu, warga bersangkutan harus diberikan sanksi dengan tidak mendapatkan layanan publik, seperti tidak mendapatkan surat izin mengemudi, paspor, dan izin mendirikan bangunan.
“Demikian juga Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) harus memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang belum mengintegrasikan peserta Jamkesda (jaminan kesehatan daerah) ke JKN,” kata Timboel.
Aspek kepesertaan perlu diperhatikan agar potensi iuran dari peserta bisa diterima secara optimal. Cakupan semesta ini juga menjadi tanda bahwa seluruh masyarakat, terutama masyarakat kurang mampu telah terlindungi serta terjamin dalam mengakses fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mumpuni.
Perekrutan kepesertaan
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, perekrutan kepesertaan program JKN-KIS menjadi tantangan bagi BPJS Kesehatan. Untuk mendorong kepesertaan di sektor PBPU, BPJS Kesehatan telah membuka berbagai jalur pendaftaran seperti melalui aplikasi di telepon pintar, sistem daring, serta sistem autodebet.
Selain itu, kendala lain ada pada segmen PPU BU. Badan usaha swasta yang belum mendaftarkan pegawainya sebagai peserta JKN adalah badan usaha sektor mikro. Karyawan dari badan usaha itu tak dapat masuk dalam skema JKN-KIS pada segmen PPU BU karena upahnya di bawah upah minimum kabupaten/ kota (UMK) sehingga harus mendaftar pada segmen peserta mandiri/PBPU.
“Kami juga telah menggerakkan 3.300 kader JKN se-Indonesia. Salah satu tugas mereka, selain untuk mensosialisasikan program ini juga membantu pendaftaran peserta mandiri,” ujarnya.
Secara terpisah, Anggota DPR Komis IX dari fraksi Partai Golongan Karya, Mukhamad Misbakhun menuturkan, pemerintah sudah mendukung penuh keberlanjutan program JKN-KIS. Setiap kementerian dan lembaga dinilai telah terlibat secara aktif selama program ini berjalan.
Meski begitu, persoalan dalam sistem jaminan sosial nasional ini masih terus terjadi, terutama terkait masalah defisit yang justru terus meningkat. “Kita perlu pikirkan ulang desain dari universal health coverage (UHC). Jadi, jangan sampai ada peserta yang sudah membayar rutin tetapi tidak mendapatkan manfaat yang memadai. Untuk itu, perbaikan, peningkatan, dan pemerataan kualitas dari fasilitas layanan kesahatan harus segera dipenuhi,” ujarnya.