Badan pengaturan kebijakan nuklir Jepang mengadopsi sebuah laporan yang menyatakan bahwa negara itu memasuki era penonaktifan reaktor nuklir besar-besaran.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Badan pengaturan kebijakan nuklir Jepang mengadopsi sebuah laporan yang menyatakan bahwa negara itu memasuki era penonaktifan reaktor nuklir besar-besaran.
Ada 24 reaktor komersial atau 40 persen dari total reaktor di Jepang yang menurut rencana dinonaktifkan. Empat reaktor di antaranya merupakan reaktor di Fukushima Dai-ichi yang rusak parah akibat gempa bumi dan tsunami pada 2011 yang melanda timur laut Jepang.
Buku putih nuklir tahunan yang diadopsi oleh Komisi Energi Atom Jepang mendesak pemerintah untuk belajar dari Amerika Serikat, Eropa terutama Jerman, Perancis, juga Inggris dalam menonaktifkan reaktor nuklir. Hingga kini Jepang belum menonaktifkan satu reaktor pun dan tidak memiliki rencana konkret bagaimana limbah radioaktif dari rektor-reaktor tersebut dibuang.
Dokumen itu juga menyatakan pentingnya persiapan setelah penonaktifan reaktor dilakukan, yaitu dengan mengembangkan teknologi dan sistem yang baru yang dapat menggantikan nuklir dengan lebih efisien. ”Ini adalah tahap yang sama sekali baru yang harus kita lanjutkan dan atasi.”
Pengelola reaktor nuklir di Jepang lebih memilih untuk menonaktifkan reaktor tua daripada berinvestasi pada standar prosedur keselamatan yang baru pasca-Fukushima. Penonaktifan sebuah reaktor menghabiskan biaya hampir 60 miliar yen (560 juta dollar AS) dan memerlukan waktu beberapa dekade.
Penonaktifan reaktor nuklir juga dibarengi dengan penonaktifan hampir separuh dari 79 fasilitas risetnya. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan melemahnya penelitian dasar energi nuklir.
Sebelum bencana Fukushima, Jepang memiliki 60 reaktor komersial yang menyediakan sekitar 25 persen dari kebutuhan energi negara.
Terlepas dari ambisi pemerintah yang ingin memperbarui sejumlah reaktor nuklir yang rusak, proses pengaktifan kembali reaktor tersebut berjalan lambat karena badan pengawas nuklir menghabiskan lebih banyak waktu untuk memeriksa setiap reaktor.
Antinuklir
Sementara itu, sentimen antinuklir masih kuat di masyarakat sehingga menyulitkan pengelola pembangkit untuk mendapatkan izin dari warga sekitar pembangkit untuk mengaktifkan kembali reaktor yang rusak. Setiap rencana yang terkait dengan pembuangan limbah nuklir pun cenderung mendapatkan resistensi yang kuat.
Sejak kecelakaan Fukushima, hanya sembilan reaktor di Jepang yang beroperasi kembali dan menyumbang sekitar 3 persen dari kebutuhan energi negara. Ini masih jauh dari target pemerintah yang mencapai 20-22 persen.
Pada Juli, Tokyo Electric Power Holdings Co atau TEPCO mengumumkan rencananya untuk menonaktifkan keempat reaktor di lokasi kedua Fukushima, Fukushima Dai-ni. Langkah ini sejalan dengan permintaan dari pemerintah daerah dan penduduk setempat sejak delapan tahun lalu, yaitu menutup reaktor.
TEPCO menyatakan, penonaktifan Fukushima Dai-ni saja akan menelan biaya 410 miliar yen (3,9 miliar dollar AS) serta akan memakan waktu empat dekade. Akan tetapi, para ahli sangsi apakah perkiraan itu realistis bagi perusahaan yang sudah berjuang membersihkan pabrik Fukushima yang rusak yang diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 8 triliun yen atau sekitar 75 miliar dollar AS.
Japan Atomic Power Co yang telah menonaktifkan pembangkit nuklir Tokai sejak tahun 2001 mengumumkan pada Maret bahwa mereka akan terus menyelesaikan proyek penonaktifan hingga 2030. Sebab, mereka masih belum dapat melepas dan menimbun materi radioaktif dari inti nuklir. Penonaktifan fasilitas milik pemerintah itu diperkirakan akan memakan waktu 70 tahun dan menelan biaya 770 miliar yen atau 7,2 miliar dollar AS.
Laporan resmi menyatakan bahwa Jepang sedang berambisi membangun fasilitas pemrosesan ulang bahan bakar dan berencana mengembangkan reaktor pemulia-cepat meski ada kekhawatiran internasional soal cadangan plutonium negara itu yang sebesar 47 ton. Ada tuntutan pada pemerintah untuk terus mengurangi stok plutonium dan meningkatkan transparansi.
Baru-baru ini Perancis dilaporkan meninggalkan ASTRID, reaktor cepat generasi terbaru yang secara teoretis akan menghasilkan lebih banyak plutonium sambil membakarnya sebagai bahan bakar. Ini bisa menjadi kemunduran bagi Jepang yang berharap bisa bersama-sama mengembangkan teknologinya bersama Perancis. (AP)