Di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, warga yang bertahun-tahun dirundung nestapa saat kemarau ”menyentil” pemerintah melalui ritual memohon kelimpahan air.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
Upaya masyarakat untuk mengingatkan pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan menahun, seperti kekeringan, seolah tak pernah kering. Di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, warga yang bertahun-tahun dirundung nestapa saat kemarau ”menyentil” pemerintah melalui ritual memohon kelimpahan air.
Masalah kekeringan yang tak pernah bisa diselesaikan membuat sebagian warga lereng Gunung Slamet, Pemalang, resah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pemalang menyebutkan, pada musim kemarau kali ini diperkirakan sebanyak 55.529 jiwa dari 14 desa di Kecamatan Belik dan Kecamatan Pulosari terdampak kekeringan. Bahkan, Pemalang juga telah menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan.
Selama ini, belum ada sumur air tanah yang mampu menembus lempengan batu tersebut.
Kepala BPBD Pemalang Wismo mengatakan, sudah puluhan tahun ke-14 desa tersebut tidak mampu menyediakan air secara mandiri. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lempengan batu setebal 60 meter di bawah tanah wilayah 14 desa tersebut.
”Lempeng batu besar itu menghalangi munculnya sumber air tanah. Selama ini, belum ada sumur air tanah yang mampu menembus lempengan batu tersebut sehingga warga bergantung pada tangki tadah hujan dan bantuan distribusi air bersih,” ujar Wismo, Senin (2/9/2019), di Pemalang.
Saat musim hujan, warga masih bisa menggantungkan harapan pada air dari langit. Namun, kala kemarau seperti sekarang, asa itu hanya bersandar pada bantuan air bersih dari pemerintah.
Resah karena daerahnya selalu kekeringan membuat sebagian warga melakukan ritual Ruwat Agung Banyu Panguripan. Ritual yang dilakukan sejak puluhan tahun lalu ini dijadikan ajang untuk mengingatkan pemerintah agar bisa segera mencari solusi atas permasalahan kekeringan. Selain itu, ruwatan juga diiringi doa agar masyarakat Kabupaten Pemalang dibebaskan dari bencana kekeringan.
”Ritual ini kami adakan rutin setiap tahun, terutama saat memasuki musim kemarau. Selain berdoa, tujuan lainnya adalah mengingatkan kembali kepada pemerintah bahwa ada persoalan besar yang hingga kini belum bisa diselesaikan, yaitu kekeringan,” kata Wiwoho (50), warga Desa Pulosari, Kecamatan Pulosari.
Besar harapan kami supaya pemerintah bisa segera menindaklanjuti hasil penelitian tersebut.
Wiwoho menuturkan, beberapa tahun lalu pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa di kedalaman sekitar 6 kilometer di Desa Pulosari ada sungai bawah tanah. Air dari sungai bawah tanah itu dinilai Wiwoho bisa menjadi peluang untuk mengentaskan Kabupaten Pemalang dari bencana kekeringan. Namun, peluang tersebut tak kunjung dimanfaatkan.
”Besar harapan kami supaya pemerintah bisa segera menindaklanjuti hasil penelitian tersebut atau paling tidak bisa menawarkan solusi yang sifatnya jangka panjang kepada kami,” kata Wiwoho.
Ritual
Wiwoho, yang sudah 45 tahun mengikuti Ruwat Agung Banyu Panguripan, menjelaskan, ritual diawali dengan prosesi pengambilan air dari tujuh mata air di lereng Gunung Slamet. Pengambilan air itu dilakukan oleh 7 warga terpilih dari 14 desa yang terdampak kekeringan.
”Air tersebut kemudian ditempatkan dalam satu wadah dan didoakan bersama-sama. Setelah didoakan, air tersebut akan diarak keliling desa oleh warga sekitar menuju tempat pinasrahan atau tempat persemayaman air,” kata Wiwoho.
Dalam perarakan air tersebut biasanya hadir pula para pejabat pemerintahan di Kabupaten Pemalang. Para pejabat itu ikut berjalan kaki bersama warga untuk mengarak air yang dianggap barang mewah itu. Tujuannya, supaya pemerintah juga bisa turut merasakan penderitaan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, ritual Ruwat Agung Banyu Panguripan menarik perhatian masyarakat Pemalang dan sekitarnya. Hal ini kemudian dilihat sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian warga melalui pariwisata.
Berdasarkan hasil kesepakatan warga, pada 2016, ritual ini resmi diangkat menjadi sebuah festival tahunan yang diberi nama Festival Wong Gunung (FWG). Tahun ini, FWG akan digelar pada 7-8 September di Desa Pulosari.
Ketua Panitia FWG 2019 Teguh Setyo Widodo mengatakan, tahun ini akan ada serangkaian ritual memohon kelimpahan air yang dimulai dari Ruwat Agung Banyu Panguripan, dialog budaya bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, gelar budaya, hingga harmoni gunung bersama musisi Marcello Tahitoe atau Ello.
Tarik wisatawan
Menurut Teguh, festival tersebut ditargetkan bisa menggaet lebih dari 30.000 wisatawan dari dalam dan luar negeri. Target kunjungan wisatawan tahun ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan pada FWG 2018, yakni 20.000 orang.
Secara terpisah, Bupati Pemalang Junaedi berharap, FWG 2019 bisa menjadi salah satu ajang promosi wisata Kabupaten Pemalang sekaligus untuk memberdayakan masyarakat sekitar.
”Kehadiran wisatawan di festival ini diharapkan mampu meningkatkan perekonomian warga. Nantinya, warga bisa menjajakan kuliner dan kerajinan khas Pemalang serta menyediakan homestay bagi para wisatawan,” tutur Junaedi.
Disinggung tentang penyelesaian masalah kekeringan, Junaedi menjawab, saat ini pihaknya tengah menunggu realisasi detail engineering design (DED) atau perencanaan teknis terkait pengambilan air dari puncak Gunung Slamet untuk pengairan di beberapa kecamatan terdampak kekeringan.
Pengambilan air dengan cara mengalirkan dari puncak gunung yang berjarak sekitar 23 kilometer dari Kecamatan Pulosari menggunakan instalasi perpipaan. Upaya ini diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi kekeringan yang setiap tahun melanda Kabupaten Pemalang. Adapun perkiraan anggaran yang diperlukan dalam proyek ini sebesar Rp 70 miliar.