1.000 TKI dari NTT Bekerja di Perkebunan Sawit Malaysia
›
1.000 TKI dari NTT Bekerja di ...
Iklan
1.000 TKI dari NTT Bekerja di Perkebunan Sawit Malaysia
Nusa Tenggara Timur dalam waktu dekat mengirim 1.000 TKI pria untuk bekerja di perusahaan kelapa sawit milik PT Federal Land Development Authority di Malaysia.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur dalam waktu dekat mengirim 1.000 TKI pria untuk bekerja di perusahaan kelapa sawit milik PT Federal Land Development Authority di Malaysia. Sebelum diberangkatkan, 1.000 TKI ini akan mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikat kompetensi ketenagakerjaan.
Ketentuan bekerja di negeri jiran itu adalah tiga tahun bekerja, kemudian diganti dengan calon TKI baru dari NTT. Sementara itu, 745 TKI ilegal ditahan di sejumlah pintu keluar di Kota Kupang pada Januari-Agustus 2019. Selama ditahan, TKI itu agar diperlakukan secara manusiawi.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Timur (NTT) Sesilia Sona, di Kupang, Selasa (3/9/2019), mengatakan, penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov NTT dan PT Federal Land Development Authority (FELDA) menyangkut pengiriman 1.000 TKI akan dilakukan pada Rabu, 4 September. Seusai penandatanganan MoU, ditindaklanjuti dengan pelatihan di empat balai latihan kerja (BLK), yakni 3 BLK di Kota Kupang dan 1 BLK di Maumere.
”Jumlah 1.000 calon TKI pria itu saat ini sedang dalam proses pendaftaran. Mereka berusia 24-40 tahun, dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah atas, bahkan beberapa di antara mereka lulusan perguruan tinggi. Mereka akan mengikuti pelatihan selama dua pekan,” tutur Sona.
Meski hanya bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2018 tentang Ketenagakerjaan antara lain menyebutkan, setiap calon TKI harus memiliki sertifikat kompetensi sebagai jaminan kerja. Dengan sertifikat kompetensi, mereka bakal dihormati, diakui, dihargai sebagai pekerja, dan akan diberi honor sesuai ketentuan di negara tersebut. Selain itu, TKI akan bekerja dengan tenang dan keselamatan mereka lebih terjamin.
Ia mengatakan, FELDA membutuhkan 11.000 TKI pria dari Indonesia, yang sebagian dipenuhi oleh provinsi lain. Jika kuota 11.000 itu sampai tahun 2020 belum tercukupi, NTT akan mengirim 1.000 orang lagi.
Pemprov dan PT FELDA pun akan bekerja sama dengan pihak perbankan tertentu sehingga honor TKI itu sebesar 95 persen disimpan (ditransfer) di bank tersebut. Mereka hanya menyimpan 5 persen untuk keperluan selama di Malaysia. Setelah pulang dari Malaysia, uang itu diambil untuk usaha mandiri.
Mereka yang sudah mendapat kesempatan bekerja tiga tahun di Malaysia tidak akan dikirim lagi atau tidak diperpanjang. Mereka diwajibkan membangun usaha sendiri dengan gaji selama bekerja di Malaysia. Kesempatan berikut akan dikirim calon TKI lain, yang masih membutuhkan pekerjaan di luar negeri.
Menurut Sona, dari jumlah 1.000 orang itu, tidak satu pun berasal dari 745 calon TKI ilegal yang ditahan di Bandara Kupang dan Pelabuhan Tenau Kupang. Ke-745 orang yang ditahan itu sudah ditawari menjadi TKI legal, tetapi mereka tidak bersedia. Mereka ditahan sejak Januari-Agustus 2019.
Mereka lebih memilih pulang ke kampung asal. Kemungkinan mereka sudah terikat dengan calo TKI dari perusahaan yang berkantor di luar NTT.
”Bisa saja mereka mencari cara lain untuk berangkat ke luar negeri oleh calo perekrut. Terkadang, mereka pergi ke Larantuka, Lembata, atau Maumere, kemudian berangkat dari sana dengan kapal laut ke tempat tujuan,” katanya.
Jumlah pencari kerja di NTT saat ini sekitar 100.000 orang. Sebagian besar merupakan lulusan SMA, SMP, dan SD.
Bisa saja mereka mencari cara lain untuk berangkat ke luar negeri oleh calo perekrut. Terkadang, mereka pergi ke Larantuka, Lembata, atau Maumere, kemudian berangkat dari sana dengan kapal laut ke tempat tujuan.
Koordinator Buruh Migran NTT Maria Hingi mengatakan, kerja sama penempatan 1.000 calon TKI untuk perkebunan kelapa sawit itu harus dirinci soal kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan mereka. Terkadang, pengusaha Malaysia hanya membutuhkan tenaga, tetapi unsur kesehatan dan keselamatan diabaikan.
Pemberi kerja jelas
Selain itu, setiap buruh harus mengenal atau mengetahui sedang bekerja di perusahaan apa, alamat, siapa majikan dan mandor lapangan, serta kepada siapa harus melapor saat mengalami kesulitan terkait pekerjaan. Ini merupakan hal kecil, tetapi sering diabaikan dalam perjanjian kerja sama.
Ia mengatakan, dalam workshop ketenagakerjaan yang diikutinya di Tawao, Malaysia barat, 4-5 April 2019, salah satu poin yang ditekankan soal perhatian pihak perusahaan Malaysia terhadap TKI. Pertemuan itu diikuti sejumlah LSM ketenagakerjaan Malaysia dan Indonesia. Pertemuan disponsori organisasi perusahaan kelapa sawit Malaysia dan pengusaha sawit Jerman.
”Pengusaha Jerman sebagai importir terbesar sawit Malaysia meminta pengusaha Malaysia memperhatikan tenaga kerja, terutama tenaga kerja asal Indonesia, secara manusiawi karena sebagian besar pekerja dari Indonesia. Jika pengusaha sawit Malaysia mengabaikan hak kaum buruh, pekerja mogok, yang rugi adalah pengusaha sawit di Jerman,” ucap Hingi.