Demi Kebaikan Bersama, Semua Pihak Perlu Saling Mendengar
›
Demi Kebaikan Bersama, Semua...
Iklan
Demi Kebaikan Bersama, Semua Pihak Perlu Saling Mendengar
Unjuk rasa mengecam ujaran kebencian berujung kerusuhan di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas kondisi yang terjadi saat ini.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MANOKWARI, KOMPAS — Unjuk rasa mengecam ujaran kebencian berujung kerusuhan di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas kondisi yang terjadi saat ini. Masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat perlu saling mendengar demi kebaikan bersama.
Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRD Papua Barat Yan A Yoteni kepada Kompas di Manokwari, Selasa (3/9/2019), mengatakan, aspirasi masyarakat Papua Barat itu sudah didengar pemerintah pusat lewat kehadiran sejumlah pejabat kementerian dan lembaga di daerah itu pasca-kerusuhan 19 Agustus lalu. Tuntutan penegakan hukum terhadap pelaku rasisme di Jawa Timur sudah dilaksanakan.
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar tidak perlu lagi melakukan tindakan anarkistis yang merugikan diri mereka sendiri dan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh, 30 pelaku yang hampir semua orang asli Papua jadi tersangka dan ditahan. Kantor DPRD Papua Barat yang dibakar menyebabkan banyak dokumen terkait kepentingan masyarakat hangus.
Di sisi lain, pemerintah pusat juga diminta memperbanyak dialog dengan masyarakat Papua dan Papua Barat. Pembangunan infrastruktur, yang diklaim pemerintah pusat untuk memajukan tanah Papua, tidak menjadi satu-satunya tolak ukur. Banyak aspirasi yang menyentuh aspek pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia tidak direspons dengan baik.
”Coba cek rekrutmen anggota Polri/TNI/ dan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), anak asli Papua yang lolos sedikit sekali. Kalau model begini, sama saja membuat Papua tidak akan maju. Bangun infrastuktur banyak-banyak, tetapi orang asli Papua tidak disiapkan. Kira-kira, infrastruktur itu nanti siapa yang kelola? Kira-kira itu untuk siapa?” ujarnya.
Kekecewaan dan ketidakpuasan atas perlakuan itu yang membuat masyarakat marah kemudian melampiaskan lewat unjuk rasa yang berujung anarkistis. Yan mengakui, kendati berbagai upaya sudah dilakukan, tampaknya masyarakat masih belum puas. Akhir bulan ini, DPRD Papua Barat akan turun ke masyarakat untuk menyerap aspirasi mereka.
Aparat mengatasi
Hingga Selasa, unjuk rasa mengecam ujaran rasisme kembali berlangsung di Manokwari. Namun, unjuk rasa yang dimotori beberapa mahasiswa Universitas Negeri Papua itu diwarnai dengan pengibaran bendera bintang kejora sebagai simbol gerakan separatis organisasi Papua merdeka.
Peserta aksi yang berjumlah 200 hingga 300 orang itu hendak berjalan kaki dari Kelurahan Amban ke pusat kota. Namun, aparat memblokade massa karena khawatir akan terjadi kerusuhan. ”Cukup demo di sini. Jangan masuk ke kota. Kami khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Kepala Bagian Operasional Polres Manokwari Komisaris Wiranadi
Perwakilan demonstran yang tidak puas berdebat keras dengan Wiranadi. Dengan berbagai alasan, mereka berbicara sambil menunjuk-nunjuk. ”Jangan halangi hak demokrasi kami. Kami menjamin demo ini akan berjalan dengan damai. Sekali lagi kami menjamin itu,” kata seorang demonstran kepada Wiranadi.
Akibat aksi tersebut, aktivitas di sejumlah sekolah diliburkan. Pantauan Kompas di SD Negeri Amban, para orangtua datang menjemput anak-anak mereka. ”Kami takut jangan sampai rusuh lagi seperti 19 Agustus lalu. Kondisi ini tidak bagus,” kata Merry, orangtua murid.
Pantauan di pusat kota, sejumlah toko ditutup. Berkaca pada aksi 19 Agustus lalu, massa merusak dan membakar sejumlah gedung serta kendaraan. Ada peserta aksi melakukan pencurian dan penjarahan di beberapa toko elektronik. Sejumlah mesin anjungan tunai mandiri juga dibobol.