Kepolisian menetapkan 10 tersangka dalam kasus kerusuhan pada 28 Agustus lalu di Kabupaten Deiyai, Papua.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kepolisian menetapkan 10 tersangka dalam kasus kerusuhan pada 28 Agustus lalu di Kabupaten Deiyai, Papua. Para tersangka dijerat dengan pasal terkait tindak pidana provokasi disertai ujaran kebencian, perampasan 10 senjata api milik aparat, dan perusakan Kantor Bupati Deiyai.
Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal, Selasa (3/9/2019), di Jayapura. Dia menjelaskan, insiden ini bermula dari unjuk rasa damai di halaman Kantor Bupati Deiyai pada pukul 13.00 WIT. Aksi ini untuk memprotes tindakan kekerasan dan ujaran bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kontak senjata karena aparat keamanan harus membela diri.
Semula, unjuk rasa tersebut hanya diikuti 100 orang. Tiba-tiba datang massa sekitar 1.000 orang yang menyerang aparat dan Kantor Bupati Deiyai. Sebagian massa juga merampas 10 senjata jenis SS1 di kendaraan aparat keamanan.
”Massa ini kemudian melepaskan tembakan ke arah aparat keamanan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kontak senjata karena aparat keamanan harus membela diri,” kata Ahmad. Dalam peristiwa tersebut, seorang anggota TNI Angkatan Darat dan empat warga sipil meninggal.
Ahmad menuturkan, aparat keamanan mendapatkan kembali sembilan senjata jenis SS1 tersebut beberapa hari setelah insiden. ”Saat ini kami masih terus berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mengimbau oknum warga tersebut segera mengembalikan senjata milik aparat,” tuturnya.
Ia menambahkan, Polda Papua menerjunkan 350 personel Brimob untuk mengamankan seluruh daerah Deiyai pasca-kerusuhan tersebut. ”Situasi di Deiyai kini telah kondusif. Sebanyak 16 pengunjuk rasa yang mengalami luka-luka masih menjalani perawatan di rumah sakit setempat,” ujar Ahmad.
Antropolog dari Universitas Cenderawasih, Fredrik Sokoy, mengatakan, terdapat tiga solusi untuk mengatasi konflik yang terjadi di Papua selama beberapa minggu terakhir. Pertama, dialog terkait aspek historis, mengingat masih terdapat perbedaan pendapat di antara sejumlah pihak menyangkut Papua dalam bingkai NKRI.
Kedua, pendekatan persamaan kesempatan dan apresiasi bagi masyarakat Papua dalam berbagai bidang kerja. Terakhir, pemerintah pusat dengan program Nawacita harus terus memperluas layanan bagi masyarakat Papua, khususnya di daerah terisolasi.
”Saya optimistis dengan tiga pendekatan ini masyarakat Papua merasa lebih dihargai dan menjadi bagian dari negara ini. Konflik yang saat ini terjadi bisa dicegah,” ujar Pembantu Rektor IV Universitas Cenderawasih tersebut.