Masalah hukum berlapis-lapis dan kerap tumpang-tindih menjadi rahasia umum di negara ini. Akibatnya, kelambatan bergerak sering terjadi di pemerintahan. Diperlukan terobosan untuk mengatasi hal ini.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masalah hukum berlapis-lapis dan kerap tumpang-tindih menjadi rahasia umum di negara ini. Akibatnya, kelambatan bergerak sering terjadi di pemerintahan. Diperlukan terobosan untuk mengatasi hal ini.
Presiden Joko Widodo menyampaikan kerap terjadi aturan perundangan malah menjerat pemerintah. Banyak keputusan dan perubahan tak bisa dilakukan secara cepat karena terhambat aturan.
”Hukum tata negara kita harus memberikan ruang-ruang terobosan dan mendorong lompatan-lompatan karena dalam praktiknya, saya sering, terus terang, ya, kita sering terjerat sendiri oleh (aturan perundangan) yang kita buat,” tutur Presiden dalam pidatonya di Pembukaan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Hadir dalam pembukaan ini antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan mantan pimpinan KPK (2007-2011) Chandra Hamzah.
Presiden pun meminta para pakar hukum tata negara untuk memikirkan cara hukum tata negara dan hukum administrasi negara merespons perubahan dunia.
Diharapkan, ada perubahan yang memungkinkan pemerintah lebih fleksibel dan lincah dalam menyikapi berbagai perubahan yang cepat. Presiden juga mencontohkan masalah pajak digital yang baru muncul di beberapa negara setelah perdagangan daring berlangsung beberapa tahun. ”Bagaimana hukum tata negara memandu kita untuk berjalan cepat, tapi selamat,” tambah Presiden.
Kesulitan lainnya ada pada hubungan antarlembaga yang tidak memberikan kecepatan bergerak. Tata hukum yang ada juga belum memberikan keberanian pada pemerintah untuk melakukan terobosan dan inovasi. Prosedur yang harus dilalui untuk berinovasi pun ruwet.
”Ini pemikiran besar yang kami perlukan dari Bapak/Ibu sekalian sehingga rumusan-rumusan itu memberikan kebaruan dalam kita bernegara,” tambah Presiden.
Salah seorang pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengakui, struktur regulasi di Indonesia terlalu gemuk karena hampir setiap lembaga bisa membuat aturan.
Sesungguhnya, pembuatan aturan bisa dipastikan tak saling bertentangan dan tumpang-tindih. Namun, kata Feri, diperlukan disiplin kerja dan konsistensi bersama. Dia mencontohkan cara pembuatan aturan perundangan sampai peraturan turunan yang dikerjakan sekaligus oleh semua pemangku kepentingan, tidak ditunda dan berlama-lama.
Rel penjaga kereta api politik
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Prof Mahfud MD mengatakan, hukum tata negara ibarat rel yang menjaga kereta api politik yang melintas di atasnya. Salah satu perumpamaan lainnya adalah hukum tata negara sebagai struktur tulang penunjang tubuh dan politik ibarat daging yang memberikan bentuk dan harmoni pada tubuh.
Hukum tata negara diakui sulit dipisahkan dari ilmu politik. Karena itu, hukum tata negara sering dikacaukan dengan ilmu politik.
Mahfud memberikan dua contoh aktual dari hubungan hukum tata negara dan ilmu politik. Perubahan terbatas UUD 1945 yang kini ramai diusulkan partai-partai politik untuk menghidupkan kembali GBHN dan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara adalah dorongan politik.
”Hukum tata negara tidak bisa menentukan apakah perubahan kembali itu penting, bagus, atau harus. Sebab, yang menentukan penting, bagus, harus atau sebaliknya adalah politik, bukan tata negara,” tutur Mahfud.
Hukum tata negara, lanjut Mahfud, hanya menjelaskan syarat dan mekanisme yang tepat serta akibat-akibat yang timbul dari perubahan itu secara ketatanegaraan. Dalam kacamata hukum tata negara, usulan perubahan itu adalah ranah politik yang sah dan HTN tidak mendorong atau melarang perubahan.
”Tapi kalau boleh kami mencatat, yang selalu menimbulkan kritik dll adalah masalah konsistensi kita dalam melaksanakannya. Tidak jarang terjadi, kita keliru atau beda pandangan dalam melaksanakan konstitusi kemudian kita juga mendorong perubahan konstitusi,” tambah Mahfud.
Hal serupa dalam rencana pemindahan Ibu Kota. Banyak suara yang menyetujui dan tidak; banyak juga yang mengatakan pemindahan harus didahului perubahan Undang-undang dan ada juga yang sebaliknya.
”Menurut kami, soal setuju dan tidak setuju adalah biasa dalam demokrasi. Tapi yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan yang bersifat opsional seperti rencana memindahkan ibu kota atau tidak memindahkan ibu kota dalam keadaan seperti sekarang adalah presiden. Tidak ada aturan yang menentukan UU harus dibuat lebih dulu baru dimulai langkah-langkah memindahkan ibu kota. Yang penting, kalau semua sudah siap baru pemindahan resmi dilakukan dengan pembentukan undang-undang baru atau perubahan UU yang sudah ada,” tutur Mahfud.
Mahfud meyakini tidak ada pelanggaran prosedur dalam rencana pemindahan ibu kota. Sebab, pemindahan resmi secara yuridis bisa dilakukan saat semua siap dan benar-benar akan pindah.