RUU Bermasalah Bisa Ditunda
JAKARTA, KOMPAS – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang akan dikebut oleh DPR dan pemerintah periode ini dapat menjadi celah untuk menunda pengesahan sejumlah rancangan legislasi yang masih bermasalah. DPR dan pemerintah pun membuka peluang untuk meneruskan pembahasan sejumlah RUU yang tidak selesai ke periode berikutnya.
Sebagaimana diketahui, DPR dan pemerintah periode 2014-2019 ini berencana mengebut sejumlah rancangan undang-undang (RUU) sebelum mengakhiri masa jabatnya, 24 September 2019 mendatang.
Beberapa di antara RUU yang menjadi target kejar tayang itu adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan revisi terhadap Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP).
Sejumlah RUU, seperti RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, serta RUU Pemasyarakatan menjadi sorotan publik dan kelompok masyarakat sipil karena substansi yang problematik. Muncul tuntutan luas agar DPR dan pemerintah menunda pengesahan RUU bermasalah itu, apalagi di tengah waktu pembahasan yang sangat pendek, yaitu sisa 12 hari kerja efektif.
DPR pun membuka peluang itu melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP). Revisi terbatas itu resmi disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Ke-VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2019). Pembahasan RUU itu rencananya akan dikebut dalam sisa waktu 12 hari.
Salah satu subtansi utamanya adalah mekanisme sistem luncuran atau carry over. Pasal 71A draf RUU PPP menyatakan, dalam hal pembahasan RUU belum selesai pada periode masa keanggotaan DPR, hasilnya disampaikan kepada DPR periode berikutnya. Berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU itu dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Program Legislasi Nasional.
Sistem luncuran sebelumnya belum pernah berlaku dalam proses pembuatan undang-undang, sehingga RUU yang mangkrak kerap berhenti begitu saja dan pembahasannya tidak bisa dilanjutkan oleh periode berikutnya. Naskah akademik dan draf RUU harus dirancang kembali dari nol jika RUU bersangkutan diusulkan untuk masuk lagi dalam Prolegnas.
Dengan mekanisme carry over ini, pembahasan RUU yang mangkrak dapat dilanjutkan oleh DPR dan pemerintah periode mendatang, tanpa perlu mengulangnya dari awal. Keputusan untuk melanjutkan RUU-RUU yang mangkrak ada di tangan anggota DPR dan pemerintah yang baru.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri mengatakan, dengan adanya mekanisme luncuran, DPR periode berikutnya bisa menyelesaikan sejumlah RUU bermasalah yang belum selesai. Dengan demikian, pengesahan sejumlah RUU yang masih problematik dan berpotensi mengancam demokrasi seperti RKUHP tidak perlu dipaksakan di periode ini.
"Tidak hanya RKUHP, tetapi juga sejumlah RUU lain yang kemungkinan masih problematik bisa dibahas oleh DPR sekarang. Selain itu, RUU PPP juga menjadi pedoman agar pembahasan RUU yang belum selesai ke depan tidak perlu mengulang lagi dari awal," katanya.
Hal itu disanggupi Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas. Ia mengatakan, jika mekanisme carry over diberlakukan, sejumlah RUU yang problematik dan dikritik publik dapat ditunda pengesahannya dan pembahasannya diteruskan oleh DPR dan pemerintah periode berikutnya.
Salah satu alasan DPR dan pemerintah mengebut pembahasan RUU PPP adalah untuk menyiasati RUU yang berpotensi mangkrak, padahal pembahasannya sudah memasuki tahap final. Salah satu RUU yang berpotensi diluncurkan itu adalah RKUHP. “RKUHP bisa dicarry over. Mengapa kami inisiasi revisi UU PPP ini, karena RKUHP ini. Kalau harus diulang dari awal, kan kasihan, padahal sudah nyaris selesai,” kata Supratman.
Pada 28 Agustus 2018 lalu, pimpinan DPR yang diwakili oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Supratman, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa, Ketua Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi Partai Amanat Nasional Mulfachri Harahap, dan Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-P Herman Hery, bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di gedung DPR.
Dalam pertemuan tertutup itu, DPR dan pemerintah sepakat mengebut pembahasan RUU PPP demi membolehkan mekanisme carry over. Esok harinya, 29 Agustus 2019, Baleg DPR langsung mengadakan rapat untuk mematangkan draf revisi UU PPP, disusul persetujuan anggota. Dalam rapat paripurna, kemarin, revisi UU PPP itu pun disahkan menjadi usul inisiatif DPR.
Pembahasan RUU itu diharapkan rampung dalam waktu 12 hari dan disahkan pada akhir masa sidang, 24 September 2019. Jika perlu, ujar Supratman, RUU itu dibahas di luar hari kerja. “Pikiran DPR dan pemerintah sudah sama, kami sepakat revisi ini dipercepat,” kata Supratman.
RKUHP bisa ditunda
Senada, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra Fadli Zon mengatakan, sejumlah RUU yang masih belum disepakati seperti RKUHP dan RUU Sumber Daya Air, bisa diselesaikan oleh DPR periode berikutnya melalui mekanisme luncuran. RUU Sumber Daya Air, yang seharusnya disahkan dalam rapat paripurna, kemarin, ditunda karena belum ada kata sepakat.
Fadli pun berharap agar DPR periode berikutnya bisa melihat substansi RUU tersebut harus sejalan dengan kebutuhan masyarakat, meski kemungkinan akan ada perbedaan pandangan dengan DPR periode sebelumnya.
Meski demikian, Ronald mengingatkan agar pembahasan revisi UU PPP tetap berhati-hati. Perlu ada batasan syarat terkait RUU mana yang bisa diluncurkan ke periode mendatang. Ia juga berharap, RUU PPP ini jangan menjadi celah agar DPR jadi bisa bermalas-malasan dan mengulur waktu untuk menunda pengesahan RUU.
Wakil Ketua Panja RKUHP dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, jika pasal carry over di RUU PPP disepakati, RKUHP bisa ditunda ke periode berikutnya. “Kalau mentok, RKUHP bisa di-carry over, karena pembahasannya sudah nyaris final. Nanti tergantung kesepakatan fraksi-fraksi dan pemerintah. Selama ini persoalan kita dengan RKUHP, kan, karena pembahasan selalu diulang dari nol,” katanya.
Meski demikian, internal Panja RKUHP masih berbeda sikap. Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani tidak setuju apabila RKUHP pembahasannya dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya. DPR dan pemerintah, menurutnya, akan tetap mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna terakhir.
"UU bukanlah kitab suci yang sempurna. Jika ada yang tidak sempurna, maka UU ini pun harus siap jika ada yang meminta untuk direvisi," katanya.