Minimnya literasi tentang motif yang melatarbelakangi pemindahan ibu kota Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw sempat memunculkan rumor, ada unsur ”misteri” di baliknya. Rumor itu dipicu adanya isu tentang nasihat seorang ”orang pintar” kepada penguasa Myanmar kala itu, Jenderal Than Shwe, yang memimpin negeri itu pada 1992-2011, agar memindahkan ibu kota demi melanggengkan kekuasaannya.
Rasionalisasi dari rumor itu adalah junta militer Myanmar ”cemas” atas maraknya gerakan demokrasi yang dimotori Aung San Suu Kyi. Lagi pula, setelah Yangon dipindahkan ke Naypyidaw pada tahun 2006, lima tahun kemudian, kekuasaan junta militer Myanmar perlahan meredup. Meskipun hingga saat ini pengaruhnya di dalam pemerintahan Myanmar—termasuk lewat parlemen—masih cukup kuat, kekuatannya tidak lagi sekokoh dulu.
Setidaknya, kemenangan NLD—partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi—dalam pemilu tahun 2015 membuka peluang bagi peraih Nobel Perdamaian itu menjadi ”pemimpin” Myanmar. Kemenangan NLD di parlemen memungkinkan pemerintah baru memunculkan ”struktur” penasihat negara yang kini dijabat Suu Kyi. Perannya menjadi sentral.
Fakta itu memupus rumor di awal bahwa keberadaan Naypyidaw adalah demi melanggengkan kekuasaan. Dalam tulisan di The Guardian berjudul ”Burma’s bizarre capital: a super-sized slice of post-apocalypse suburbia” yang terbit, 19 Maret 2015, Matt Kennard dan Claire Provost pada Centre for Investigative Journalism di London menyebut, Naypyidaw—yang berarti ibu kota kerajaan atau tempat tinggal raja—adalah proyek ”kesombongan” Than Shwe.
Kennard dan Provost menyebut ada teori lain yang menunjukkan bahwa junta militer kala itu cemas akan invasi amfibi Amerika Serikat sehingga memaksa mereka memindahkan ibu kota dari Yangon yang berada di pinggir laut ke pedalaman. Namun, menepis semua anggapan itu, rezim kala itu menegaskan, pemindahan ibu kota administratif dilakukan karena Yangon telah sangat padat.
Jalan-jalan utama di kota itu telah dipadati kendaraan, polusi begitu tinggi, dan tak ada ruang lagi untuk mengembangkan gedung-gedung pemerintahan. Tingginya angka pertumbuhan ekonomi Myanmar telah menyulap Yangon menjadi metropolitan baru.
Di sisi lain, perlu ada keseimbangan pertumbuhan dan perlunya titik yang lebih strategis untuk mengelola wilayah lain. Naypyidaw yang berada di pusat Myanmar cukup dekat dengan Negara Bagian Shan, Kayah, dan Kayin di mana pemerintah lebih mudah menjaga stabilitas di kawasan-kawasan yang cenderung bergolak.
Boleh jadi, gagasan ketimuran yang sangat memengaruhi Myanmar membuat junta menerima argumentasi ”keseimbangan” itu saat mengembangkan Naypyidaw. Namun, uniknya, setelah kota baru itu terbangun, sang ”Ibu Kota Kerajaan” yang berjarak lebih kurang 300 kilometer dari Yangon itu terasa kosong.
Kennard dan Provost mengatakan, Naypyidaw yang dibangun khusus—diresmikan satu dekade yang lalu tahun ini—menawarkan jalan raya 20 jalur, lapangan golf, Wi-Fi cepat, dan listrik yang andal. Satu-satunya hal yang tampaknya tidak dimiliki adalah orang. Hingga saat ini, banyak kedutaan besar asing pun masih berkantor di Yangon. Demikian juga Aung San Suu Kyi. Berbeda dengan Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing yang kerap menerima tamu negara di Naypyidaw.