Upaya pelemahan terlihat dari kembali munculnya keinginan DPR merevisi Undang-Undang KPK. Substansi revisi sama dengan materi revisi pada 2016 yang menuai penolakan kuat dari publik karena isinya melemahkan KPK.
Oleh
Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di sisa masa jabatan yang tak sampai satu bulan, DPR berniat merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diam-diam DPR mengajukan revisi undang-undang tersebut sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif DPR. Padahal revisi tak masuk dalam program legislasi nasional tahun ini.
DPR rencananya bakal mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019). Dalam jadwal agenda rapat paripurna yang tersebar di media, usulan revisi itu diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu, di Jakarta, Rabu (4/9/2019), membenarkan rencana tersebut. Besar kemungkinan usulan revisi disetujui karena menurutnya sudah disetujui perwakilan seluruh fraksi di DPR yang duduk di Baleg. Dengan demikian, rapat paripurna tinggal mengesahkannya.
Pemerintah juga diyakininya bakal menyetujui untuk membahasnya setelah revisi ditetapkan jadi RUU usul inisiatif DPR. "Pemerintah juga berarti sudah tidak ada masalah, karena memang ini sudah dibahas bersama pemerintah kan dulu. Ini tinggal meneruskan saja. Waktu itu kan kita berpendapat belum sekarang lah dibahas," tambahnya.
Usulan revisi dinilainya masih bisa diajukan, disahkan bahkan langsung dibahas sekalipun revisi tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Selama ini untuk dibahas pemerintah dan DPR, RUU seharusnya terlebih dulu masuk dalam prolegnas tahunan.
"Iya (tidak masalah tidak masuk Prolegnas 2019), yang penting kan RUU itu masuk dalam prolegnas 2015-2019 itu. Itu persoalan prioritas saja mana yang mau diprioritaskan tahun ini," ujarnya.
Dikebut pekan lalu
Dia menekankan, pembahasan usulan revisi oleh Baleg DPR sudah sejak 2016. Pembahasan kemudian sempat terhenti tetapi mulai diintensifkan kembali sejak pekan lalu.
Mengenai rapat pembahasan revisi UU KPK yang tak diketahui publik, dia menyatakan rapat terkait hal itu memang tertutup. Namun dia tak menjelaskan alasannya.
"Begini, di DPR itu ada berbagai jenis rapat. Tentu yang diketahui teman-teman adalah rapat terbuka," katanya.
Sementara substansi revisi disebutnya sama dengan usulan revisi pada 2016.
Saat itu, poin revisi di antaranya untuk memasukkan pasal mengenai perlunya pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih DPR, wewenang penyadapan melalui izin dewan pengawas, dan pemberian kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Ya, substansinya sama dengan usulan revisi sebelumnya. Masih 4 poin itu. Dewan pengawas, penyadapan, SP3, dan pegawai KPK," tambahnya.
Pelemahan KPK
Catatan Kompas, materi revisi tersebut sempat menuai penolakan dari publik. Publik melihat revisi untuk melemahkan kerja KPK memberantas korupsi. Soal penyadapan yang harus didahului izin dari dewan pengawas yang anggotanya dipilih DPR misalnya. Prosedur izin ini membuka peluang rencana penyadapan dibocorkan. Padahal selama ini penyadapan menjadi salah satu senjata KPK membongkar korupsi.
KPK juga menolak revisi tersebut. Hingga akhirnya, Februari 2016, Presiden Joko Widodo dan DPR memutuskan menunda rencana revisi.
Saat ditanyakan apakah setelah revisi UU KPK disahkan menjadi usul inisiatif DPR akan langsung dilanjutkan pembahasan dan dituntaskan sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir akhir September ini, dia tak menjawab tegas.
"Tergantung nanti pembahasan. Ini kan yang sudah pernah dibahas juga kan di DPR sebelumnya. Sejak 2016, 2017, jadi ini sesuatu yang juga sudah matang di DPR," katanya.
Sementara seluruh pimpinan Baleg DPR yang biasanya mudah dihubungi tiba-tiba menjadi sulit dikontak. Pesan singkat ataupun telepon Kompas tak dibalas oleh mereka hingga berita ini diturunkan.
Pimpinan Baleg DPR yang coba dihubungi Kompas, Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Totok Daryanto, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar Sarmudji, dan Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo.
Catatan Kompas, setelah Presiden dan DPR memutuskan menunda revisi UU KPK pada 2016, DPR bersama pemerintah mengeluarkan revisi UU KPK dari prolegnas tahunan. Revisi UU KPK tak ada dalam Prolegnas 2017, 2018, dan 2019.
Pembahasan revisi juga terhenti pasca-penolakan publik pada 2016.
Meski demikian, saat KPK getol mengungkap keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik, tahun 2017-2018, keinginan merevisi UU KPK dengan materi yang melemahkan KPK tersebut, kembali dimunculkan Panitia Angket DPR terhadap KPK. Saat itu, Novanto masih menjabat Ketua DPR.
Niat revisi pun kembali ditentang publik karena selain akan melemahkan KPK, revisi dilihat sebagai upaya DPR melindungi Novanto. Kuatnya penolakan publik plus berhasil ditangkapnya Novanto oleh KPK membuat panitia angket urung merekomendasikan revisi UU KPK saat masa kerja panitia angket berakhir.
Belakangan, upaya untuk melemahkan KPK juga dilihat kalangan masyarakat sipil dalam proses pemilihan calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023. Ini karena panitia seleksi meloloskan sejumlah capim yang rekam jejaknya dinilai bermasalah dan integritasnya diragukan karena tak mematuhi kewajiban melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.