Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab sebagian warga rusunawa menunggak pembayaran sewa berbulan-bulan. Usaha mereka yang ramai dikunjungi pelanggan saat di tempat asal malah menjadi sepi setelah direlokasi.
Oleh
Stefanus Ato
·5 menit baca
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab sebagian warga rumah susun sederhana sewa menunggak pembayaran sewa selama berbulan-bulan. Usaha mereka yang ramai dikunjungi pelanggan saat di tempat asal malah menjadi sepi setelah direlokasi dan ditempatkan di rumah susun sederhana sewa.
Rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dengan segala kemudahan fasilitasnya, seperti air bersih, listrik, jaminan keamanan 24 jam, serta pendidikan dan kesehatan gratis, rupanya tak ramah untuk menambah pendapatan melalui usaha sampingan.
Adriana (44), warga Kluster B Marunda, Clincing, Jakarta Utara, Rabu (4/9/2019), menyatakan sudah satu tahun usahanya gulung tikar. Perempuan yang sebelumnya usaha menjual nasi goreng itu bangkrut karena minim pelanggan.
”Di sini susah. Saya hanya tunggu pembeli dari sesama warga rusunawa. Yang beli berapa banyak, paling 10 orang setiap hari,” ucapnya.
Tinggal di rusunawa memang tak strategis untuk membuka usaha karena tempatnya tergolong eksklusif. Aktivitas di sana pada umumnya hanya dilakukan warga rusunawa. Tamu yang mampir pun harus terlebih dahulu melapor ke petugas keamanan yang siaga 24 jam di pos penjagaan.
Adriana awalnya adalah warga Gang Elektronik, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, yang direlokasi setelah tempat tinggalnya terdampak banjir bandang pada 2013. Selama di Muara Baru, usaha menjual nasi goreng yang ditekuninya berkembang pesat dengan keuntungan Rp 750.000-Rp 1.000.000 per hari.
”(Waktu itu) karena usaha saya terus berkembang, suami sampai keluar dari pekerjaan hanya untuk bantu jualan,” kata perempuan yang memiliki tiga anak itu.
Tiba di Rusunawa Marunda, usaha menjual nasi goreng kian suram. Tahun 2017, suaminya kembali bekerja sebagai tenaga bongkar muat ikan. Upah yang didapatkan suaminya setiap hari Rp 100.000 atau jika ditotal, setiap bulan rata-rata penghasilan yang diperoleh sekitar Rp 3 juta.
Biaya itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar keperluan biaya sekolah dua anaknya yang kini duduk di bangku sekolah menengah. Sementara biaya untuk keperluan pembayaran sewa rusunawa tak dijadikan prioritas.
Akibatnya, biaya sewa rusunawa yang seharusnya rutin dibayar setiap bulan dibiarkan menunggak hingga mencapai 23 bulan pada Juli 2019.
Untuk melunasi sewa rusunawa itu, biaya yang dibutuhkan Adriana Rp 3,6 juta, biaya penggunaan air Rp 594.000, dan denda Rp 877.680 atau jika ditotal mencapai Rp 5.129.230.
”Selama ini belum ada tagihan, tetapi UPRS (Unit Pengelola Rumah Susun Sewa) Marunda setiap bulan selalu perbarui data penunggak. Data itu ditempel di papan informasi,” katanya.
Andreas (30), warga Kluster A Rusunawa Marunda, menambahkan, biaya sewa Rusunawa Marunda sebenarnya tergolong murah, yakni maksimal Rp 300.000 per bulan. Namun, dia mengakui warga kadang abai karena lebih mengutamakan kebutuhan lain yang dianggap mendesak.
Padahal, tunggakan sewa rusunawa berpengaruh terhadap biaya denda keterlambatan yang juga bertambah setiap bulan. Denda keterlambatan ini dikeluhkan warga rusunawa.
”Kami sudah berapa kali bertemu pihak UPRS bahas masalah denda. Warga bayar sewa saja susah, apalagi ada denda. Harapan kami denda dihapus,” kata lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek daring itu.
Serba kekurangan
Warga yang tinggal di Rusunawa Marunda berjumlah 2.680 keluarga yang tersebar di 29 menara. Mereka sebagian besar bekerja di sektor informal dengan pendapatan di bawah upah minimum provinsi.
Situasi ini jadi alasan tunggakan di Rusunawa Marunda kian membengkak atau merupakan rusunawa dengan tunggakan terbesar di Jakarta, yakni mencapai Rp 18,6 miliar pada 2019. Masalah tunggakan juga terjadi di Rusunawa Daan Mogot, Tambora, Flamboyan, dan Rawa Buaya, yang totalnya mencapai Rp 3,4 miliar.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Kelik Indriyanto di Balai Kota Jakarta, Selasa, mengakui, penagihan tunggakan memang menjadi masalah utama di rusunawa. Meski demikian, pihaknya melalui UPRS selalu berupaya menagih tunggakan para penghuni.
”Itu kendala kami. Kami berusaha terus dengan berbagai cara (untuk menagih). Kalau kami dari dinas dan UPRS tak jemu-jemu selalu mengingatkan agar para penghuni membayar tunggakan. Itu aktif dan door to door,” kata Kelik.
Kelik pun tak dapat memastikan, apakah kelak tunggakan para penghuni dapat diputihkan atau tidak. Pihaknya masih mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 148 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Daerah.
Dalam pergub tersebut, dituliskan ada sejumlah syarat agar piutang retribusi yang macet dapat dihapuskan. Misalnya, masa tunggakan lebih dari 12 bulan, penunggak meninggal, tidak memiliki harta kekayaan lagi, yang dinyatakan dengan keterangan miskin atau dinyatakan pailit.
”Itu masih dalam pembahasan. Sejauh ini, kami sesuaikan dulu dengan regulasi yang ada di Pergub No 148/2018,” ujar Kelik.
Hilang kemampuan
Menurut Kepala UPRS Marunda Ageng Darmintono, pihaknya mengutamakan pendekatan persuasif saat menagih tunggakan sewa rusunawa. Sebab, warga yang tinggal di rusunawa memiliki keterbatasan penghasilan dan rata-rata bergantung pada pendapatan suami.
”Warga relokasi dipindahkan dari tempat yang menurut mereka nyaman, ke tempat yang tidak nyaman. Di tempat sebelumnya, ibu-ibu yang tinggal di rumah punya usaha sampingan, tetapi di sini mereka kehilangan kemampuan itu,” kata Ageng.
Sukron, pendamping Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Jakarta Utara, mengatakan, ketidakmampuan ibu-ibu rumah tangga itu yang kini jadi perhatian Suku Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Jakarta Utara. Sebab, rusunawa bukan tempat yang cocok untuk berdagang.
”Sehingga sejak tahun lalu, kami rutin memberikan pelatihan tentang kewirausahaan. Mereka kami edukasi untuk belajar membuka diri berjualan dan berpromosi di luar rusunawa,” katanya.
Sejak ada pendampingan usaha, sudah ada sekitar 200 warga Rusunawa Marunda yang mengikuti program pelatihan itu. Warga rusunawa dibantu mengurus izin usaha hingga membantu mencari akses permodalan.
”Sudah ada 50 warga yang setelah mengikuti pelatihan, usahanya terus berkembang. Mereka yang berkembang ini, kami bantu membuka jaringan pemasaran dengan melibatkan mereka di berbagai kegiatan, salah satunya melalui bazar,” ucap Sukron.