Hujan Bukan Buatan Mengungguli Teknologi di Lahan Gambut
›
Hujan Bukan Buatan Mengungguli...
Iklan
Hujan Bukan Buatan Mengungguli Teknologi di Lahan Gambut
Kebakaran lahan hampir dua minggu di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, akhirnya bisa reda setelah diguyur hujan sejak Selasa (27/8/2019).
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Kebakaran lahan hampir dua minggu di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, akhirnya bisa reda setelah diguyur hujan sejak Selasa (27/8/2019). Beragam peralatan berteknologi tinggi sudah dikerahkan, tetapi tidak mampu menghentikan kebakaran. Si jago merah baru mau ”melunak” setelah diguyur hujan selama dua hari berturut-turut.
Kebakaran mulai terjadi pada Rabu (14/8). Api muncul dari Dusun IV, kemudian menyebar ke Dusun VI dan Dusun IX, Desa Muara Medak. Melihat kobaran api yang terus membesar, semua pemangku kepentingan berupaya turut memadamkannya. Pemadaman semakin intensif ketika asap sudah mengganggu aktivitas warga di provinsi tetangga, Jambi.
Asap pekat memang sangat terasa menyesakkan dada, terutama pada pagi dan sore hari. Wajar, Jambi hanya berjarak sekitar 69 kilometer dari Kecamatan Bayung Lencir di mana kebakaran besar terjadi. Parahnya asap membuat Wali Kota Jambi Syarif Fasha memutuskan untuk meliburkan sekolah di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan TK, mulai Senin (19/8) hingga satu pekan.
Kebakaran lahan yang ganas itu akhirnya hanya bisa dipadamkan sepenuhnya dengan hujan.
Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin pun meminta maaf kepada masyarakat Jambi atas kejadian ini. Sebagai bentuk tanggung jawab, Pemerintah Provinsi Sumsel terus berupaya memadamkan api. Tujuh helikopter bom air dan sekitar 400 petugas kebakaran dikerahkan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Musi Banyuasin dan Provinsi Sumsel, TNI-Polri, Manggala Agni, pihak perusahaan di sekitar lokasi kebakaran, termasuk masyarakat, berjibaku memadamkan api. Angin yang kencang, sulitnya akses menuju titik api, dan lahan yang sangat kering membuat petugas kesulitan untuk memadamkan api.
Beragam teknologi dikerahkan, mulai dari cara-cara modern dengan menyiramkan air dengan skema water bombing hingga menggunakan karung goni untuk memadamkan api.
Alat pemadam bernama sambunesia pun dikerahkan untuk memadamkan api di bawah permukaan lahan gambut yang memiliki kedalaman hingga 3 meter. Alat berat berupa ekskavator diturunkan ke lapangan untuk membuat sekat bakar dengan lebar sekitar 8 meter guna mencegah api merambat lebih luas.
Namun, kekuatan manusia tidak sebanding dengan kejaran api. Kebakaran tetap saja meluas. Raut wajah lelah para petugas pemadam terpancar jelas. Namun, motto ”Pantang Pulang Sebelum Padam” telah terpatri di hati.
Masyarakat turut ambil bagian untuk memadamkan api walau dengan perangkat seadanya. Bahkan, beberapa warga di Dusun IX menggunakan alat penyemprot hama untuk memadamkan bara api yang masih membara.
”Saya hanya bisa memadamkan api yang kecil-kecil saja agar tidak meluas ke area perkebunan sawit dan rumah warga,” kata Wujud Witomo (72), saat memadamkan api, Senin (19/8/2019). Wujud punya 2 hektar lahan sawit. Dia tidak mau lahan sawit yang dibelinya sekitar tahun 2011 dengan harga Rp 15 juta per hektar itu turut hangus dilahap api.
Akibat kebakaran lahan, warga sangat menderita. Beragam penyakit mereka derita, seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), hipertensi, iritasi mata, dan asma.
Petugas posko kesehatan yang ditempatkan di Dusun IX, dr Diah Andini, mengatakan, selain karena asap, penyakit ini juga muncul karena warga tinggal di lingkungan yang kurang baik. Jalan yang sangat berdebu, apalagi ketika kendaraan melintas. Debu-debu itu beterbangan masuk ke rumah-rumah warga. Beberapa dari mereka akhirnya dievakuasi, termasuk penduduk suku Anak Dalam yang juga terpapar asap.
Kepala Desa Muara Medak Marudut Panjaitan mengungkapkan, kebakaran memang selalu terjadi setiap tahun, tetapi ini merupakan yang terparah setelah tahun 2015. Kebakaran dimulai dari Dusun IV di kawasan konservasi perusahaan hutan tanaman industri (HTI), kemudian meluas hingga mendekati kawasan permukiman warga.
Hal sebaliknya disampaikan General Manager Manajemen Api PT Sinar Mas Sujica Lusaka. Kebakaran berasal dari luar konsesi, kemudian mengarah ke lahan konsesi. Itulah sebabnya pihaknya berupaya agar api tidak masuk ke kawasan konsesi dengan membuat sekat bakar.
Pantauan Kompas dari udara menggunakan helikopter milik PT Sinar Mas, Rabu (21/8), kebakaran menghanguskan tanaman di lahan gambut yang merupakan hutan produksi tersebut. Tidak jauh dari kawasan yang terbakar terdapat perkebunan kelapa sawit. Kebakaran saat itu diprediksi sudah mencapai lebih dari 3.200 hektar.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan BPBD Sumsel Ansori mengatakan, segala daya dan upaya dikerahkan untuk memadamkan api di Sumsel. Namun, kebakaran tetap saja terjadi. Tidak hanya di Musi Banyuasin, di Ogan Ilir kebakaran juga kerap terjadi, bahkan hampir setiap hari. Oleh karena keterbatasan personel, satu regu pemadam harus melakukan tujuh kali pemadaman setiap hari.
Minta hujan
Usaha di lapangan telah dilakukan sekuatnya. Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengajak warga Sumsel untuk shalat meminta hujan di pelataran Istana Gubernur Sumsel, Griya Agung, Selasa (27/8). ”Sudah 40 hari tidak hujan sudah membuat kita kesulitan. Dari sini kita harus sadar untuk tidak sombong,” ungkapnya.
Sore harinya, hujan pun turun. Walau tidak lama, hujan membantu meredakan kebakaran. Tidak hanya sehari, keesokan harinya, hujan juga turun di beberapa wilayah di Sumsel, termasuk di Muara Medak. Beberapa titik kebakaran di kawasan itu pun padam.
Berdasarkan sumber data dari Lapan pada 24 Agustus, titik api mencapai 53 titik, tetapi setelah hujan, titik api dan titik panas itu terus menurun, hingga pada 28 Agustus tidak ditemukan lagi adanya titik panas.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kelas 1 Palembang Nandang Pangaribowo menjelaskan, hujan yang terjadi di Sumsel disebabkan siklon tropis Bailu di Filipina dan pelambatan massa udara di Kalimantan serta belokan massa udara di Sumatera.
Sampai 25 Agustus 2019, lanjut Nandang, sebagian besar wilayah di Sumsel sudah tidak diguyur hujan selama 30 hari. Kondisi ini menyebabkan kondisi lahan sangat kering dan rentan terbakar. Masuknya musim hujan di Sumsel baru akan terjadi pada dasarian III bulan Oktober.
Kebakaran lahan yang ganas itu akhirnya hanya bisa dipadamkan sepenuhnya dengan hujan. Melihat dampaknya, sudah saatnya manusia tetap waspada dan lebih sadar untuk menjaga lingkungan. Seperti dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo, ”Kita jaga alam, alam jaga kita.”