Masyarakat menunggu komitmen pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sesuai jadwal pada 25 September 2019.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Masyarakat menunggu bukti komitmen DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sesuai jadwal pada 25 September 2019. Namun, pembahasan dan pengesahan RUU inisiatif DPR ini dibayangi sejumlah potensi halangan, antara lain masalah prosedural dan penolakan kalangan masyarakat, bahkan di internal lembaga legislatif tersebut.
Masalah prosedural misalnya aturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual yang perlu disesuaikan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di Komisi III DPR. Ada pandangan aturan pemidanaan dalam dua rancangan regulasi tadi perlu diselaraskan.
Kalangan masyarakat Jawa Timur, terutama pegiat dan praktisi hukum, kemanusiaan, dan perlindungan perempuan dan anak, cemas dengan dinamika pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu. Ada potensi RUU ini tidak diresmikan sesuai jadwal atau pada masa akhir jabatan DPR periode 2014-2019.
Perlu tekanan lebih kuat kepada DPR agar segera mengesahkan.
Jika kekhawatiran tadi terjadi, pembahasan RUU di DPR periode berikutnya berpotensi kembali ke awal. Padahal, RUU yang bersifat khusus (lex specialist) ini begitu dinanti dan diyakini sebagai instrumen yang pas untuk penghapusan kekerasan seksual.
”Perlu tekanan lebih kuat kepada DPR agar segera mengesahkan,” ujar Direktur Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Universitas Surabaya NK Endah Triwijati saat memandu ”Dialog: Mendesaknya Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Penolakan RKUHP”, Selasa (3/9/2019) malam, di Surabaya, Jawa Timur.
Diskusi dihadiri oleh kalangan anggota fraksi DPRD Jatim, lembaga pengadaan layanan, akademisi, dan aktivis kemanusiaan. Kalangan aparatur hukum, yakni polisi dan jaksa, yang diharapkan hadir ternyata tidak ada yang datang meski undangan menurut panitia sudah diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan di Surabaya.
Ketua Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia Emmy Susanti menyatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendekatkan akses keadilan bagi korban. Dalam hal ini, proses hukum yang merangkul korban sekaligus perhatian terhadap hak-haknya. Regulasi ini juga berusaha menjamin perlindungan masyarakat dari ancaman kekerasan seksual.
Ketua Women’s Crisis Center Dian Mutiara, Sri Wahyuningsih, mengatakan, jika RUU tak segera disahkan, penanganan terhadap korban kekerasan atau kejahatan seksual akan selalu terkendala.
Hal senada diutarakan Ketua Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial Jawa Timur Pinky Saptandari. Banyak contoh kasus kejahatan seksual tak ditangani karena berbagai kendala, terutama paradigma terhadap korban.
Misalnya, pemerkosaan terhadap perempuan penyandang disabilitas dengan pelaku ialah kerabat korban. Pinky pernah menemukan penanganan kasus itu tak bisa dilanjutkan dengan dalih tiada saksi atau tim penyidik kekurangan alat bukti.
”Ini aneh sekali, penanganan kasus pemerkosaan harus ada saksi di luar korban dan pelaku. Kalau harus ada saksi, sejatinya kejahatan itu tidak terjadi atau orang lain yang melihat, tetapi membiarkan patut diperkarakan,” kata Pinky yang juga dosen FISIP Universitas Airlangga.
Ketua Surabaya Children Crisis Center Edward Dewaruci mendukung pengesahan RUU itu dan berharap ada ketegasan dan kesungguhan dalam penegakan aturan tersebut nantinya. Dalam kasus kekerasan seksual, korban perlu mendapat pemulihan yang utuh. Seharusnya, pelaku turut bertanggung jawab, misalnya mendanai seluruh proses pemulihan korban.
Ini aneh sekali, penanganan kasus pemerkosaan harus ada saksi di luar korban dan pelaku. Kalau harus ada saksi, sejatinya kejahatan itu tidak terjadi atau orang lain yang melihat, tetapi membiarkan patut diperkarakan.
”Analoginya, jika pelaku korupsi itu dimiskinkan, pelaku kekerasan seksual harus bertanggung jawab membiayai pemulihan korban sampai tuntas. Tanggung jawab pelaku jangan selalu dijadikan beban negara,” tutur Edward.
Yaritza Mutiaraningtyas dari LBH Surabaya mengingatkan potensi pelemahan penegakan hukum RUU itu berkaca dari aturan lain. Misalnya, pelaku perusakan lingkungan hidup yang dihukum penjara, denda, dan kewajiban membantu pemulihan.
”Untuk yang pemulihan, saya rasa belum ada contoh konkretnya. Pelaku hanya menjalankan hukuman, tetapi melepaskan tanggung jawab pemulihan. Semoga hal ini bisa diatasi dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujarnya.
Terus meningkat
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didorong mengingat angka kasus yang terus meningkat dengan korban perempuan dan anak. Kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Jumlah masih di bawah cerminan keadaan sesungguhnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat paling sedikit 35 perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari.
Secara kumulatif, tahun lalu Komnas Perempuan menerima 406.178 laporan kasus kekerasan seksual. Jumlah itu meningkat 16,6 persen dari 348.466 kasus pada tahun sebelumnya.
Komnas Perempuan juga mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu sesuai jadwal. Regulasi nantinya diyakini memberikan hak perlindungan korban dalam layanan memadai, memperjelas hukum acara yang memudahkan, dan meninggikan martabat korban, sekaligus menghukum pelaku guna mencegahnya mengulangi kejahatan.