Era digital hadir tak terelakkan. Bagi yang mampu beradaptasi, ekosistem digital membuka peluang perubahan dengan dampak besar, termasuk bagi warga desa. Dari dalam genggaman, saat ini menatap masa depan.
Tangan cekatan petani di kantor Gabungan Kelompok Tani Wargi Panggupay di Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, seperti enggan berhenti, Senin (19/8/2019). Aneka jenis cabai dan brokoli pesanan dikemas dalam plastik khusus, serta siap dikirim ke sejumlah daerah.
Siang itu, Ketua Gapoktan Wargi Panggupay Ulus Pirmawan (45) turut memastikan proses itu lancar dan sempurna. Tiba-tiba, telepon genggamnya berbunyi, kontak dari pelanggan di Sumatera Barat dan Pangkal Pinang.
Ia bergegas menuju kebun sayur yang berjarak 1 kilometer dari kantor gapoktan. Di sana, Agus Sopian (25), petani kepercayaan Ulus, panen brokoli bersama 15 anak buahnya. ”Pesanan sudah siap?” kata Ulus.
”Sudah, Pak,” ujar Agus menunjukkan rupa brokoli.
Agus salah satu petani muda yang meneladani Ulus, tamatan SD yang dinobatkan sebagai petani teladan nasional pada Hari Pangan Internasional 2017. Beberapa kali gagal, Ulus selalu bangkit. Puncaknya, ia kenalkan baby buncis, komoditas andalan petani Suntenjaya. Sayuran itu nge-hit di Eropa beberapa tahun terakhir.
Ucun Suntana (42), petani Suntenjaya, mengatakan, Ulus berperan menempa dia dan petani lain berpikiran maju. Lima tahun lalu, ia hanya buruh tani. Kini, bersama petani lain, sayuran Ucun menembus pasar ekspor.
Jadi salah satu petani berprestasi, Ulus enggan berpuas diri. Ia melirik kemajuan teknologi digital. Salah satunya menjadi mitra usaha rintisan Sayurbox sejak setahun lalu. Hasilnya, luar biasa.
”Sekarang kami cukup menunggu pesanan via aplikasi pesan lalu antar komoditas. Dulu, kami harus mengantar sayur ke pasar penuh spekulasi, cemas sayur itu bakal laku atau tidak,” kata Ulus.
Kini harga pun stabil tinggi. Brokoli, misalnya, petani seperti Agus bisa menjual Rp 10.000 per kilogram atau empat kali lipat ketimbang saat dijual konvensional. Harga kembang kol juga tinggi, Rp 3.000 per kilogram, naik setengahnya.
Pemasaran digital menggelembungkan omzet Agus. Jika sebelumnya Rp 5 juta per hari, kini Rp 15 juta per hari.
Sourcing Supervisor Sayurbox Arsat mengatakan, pihaknya ingin menjadi jembatan petani sekaligus konsumen sayur berkualitas. Sayurbox memesan 2 ton per hari untuk memenuhi pesanan ribuan pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.
Dengan memotong banyak rantai pasok, petani diuntungkan. Pedagang senang karena sayur datang masih segar. ”Petani bisa
berkonsentrasi menanam sayur terbaik tanpa pusing memikirkan cara menjual,” kata Arsat.
Kian percaya diri
Saat ini, Sayurbox bermitra dengan 5.100 petani di Kecamatan Lembang. Di sana ada gudang penampungan. ”Target kami ada 5.000 pesanan per hari sampai Desember 2019,” kata Arsat.
Petani berharap semakin banyak usaha rintisan bekerja sama dengan petani. Dengan begitu, serapan permintaan juga kian tinggi dan persaingan menjadi yang terbaik akan muncul.
Masih di Jabar, aura sukacita melanda warga Desa Gelaranyar, Kecamatan Pegelaran, Kabupaten Cianjur. Menggunakan promosi melalui Instagram, Facebook, dan Twitter, 1,5 tahun terakhir mereka berdaya.
Mulanya adalah produk gula aren. Bertahun-tahun, olahan warga itu lebih banyak menguntungkan para tengkulak. Namun, sejak ada pelatihan pembuatan gula aren bubuk dan perbaikan manajemen BUMDes yang digagas para pemuda desa, hidup petani tradisional berubah. Produk mereka laku lebih mahal dan produksi meningkat, yang di antaranya dinikmati pasangan Opan (45) dan Uyun (40).
Dalam sepekan, mereka menghasilkan 56 kg gula aren atau setara minimal Rp 616.000 per pekan atau Rp 2,46 juta per bulan. Jumlah itu di atas UMK Cianjur 2019, yakni Rp 2,3 juta per bulan. Sebelum ada pelatihan dan BUMDes, penghasilan maksimal Rp 1,1 juta per bulan.
”Setelah dipikir-pikir, lebih enak cari uang di desa. Apalagi, sejak ada BUMDes, gula aren petani dibeli dengan harga tinggi. Ini sangat membantu perekonomian warga,” ujar Uyun, yang urung kembali ke Arab Saudi. Tahun 2003-2006, ia bekerja di Saudi dengan upah setara Rp 1,6 juta per bulan.
Uyun adalah satu dari sekitar 45 warga yang mendapat pelatihan mengolah gula semut aren dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017.
Kepala Desa Gelaranyar Jenal (36) mengatakan, kehadiran internet mempermudah pemasaran hasil pertanian dan perkebunan desa. ”Jangkauan pasar semakin luas. Ekonomi desa pun terdongkrak,” ujarnya.
Paradigma warga berubah. Dampaknya, jumlah pekerja migran dari desa itu berkurang. Tahun 2017, masih ada sekitar 150 tenaga kerja Indonesia (TKI) dari desa ini. Saat ini kurang dari 50 orang.
Memang belum semua desa berubah. Namun, itu soal waktu. Jaringan internet nasional terwujud tahun 2020/2021. Waktunya literasi digital digencarkan, di mana berbagai informasi dan komunikasi bisa diakses lewat telepon pintar.
Salah satunya melalui program kuliah kerja nyata (KKN), seperti digelar UGM tahun 2019, yang menerjunkan 5.372 mahasiswa di 32 provinsi. Generasi muda menjadi bagian memerdekakan desa-desa dari berbagai kesenjangan.