Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengingatkan kepala daerah di Sumsel untuk berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Jangan sekali-kali bermain proyek. Ini menjadi salah satu faktor pejabat negara korupsi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengingatkan kepala daerah di Sumsel untuk berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Jangan sekali-kali bermain proyek. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pejabat negara terperosok ke masalah hukum.
Pernyataan ini disampaikan Herman untuk menanggapi penetapan Bupati Muara Enim Ahmad Yani sebagai tersangka kasus suap terkait 16 proyek pembangunan jalan dengan nilai Rp 130 miliar. Diduga, dalam proyek tersebut, Ahmad Yani meminta biaya komitmen sebesar 10 persen atau sekitar Rp 13,4 miliar.
Dalam operasi tangkap tangan, Senin (2/9/2019) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang 35.000 dollar Amerika Serikat dari Elfin dan Robi. Uang tersebut diduga bukan pemberian pertama. KPK mengidentifikasi ada pemberian sebelumnya yang sudah mencapai Rp 13,4 miliar.
Menurut Herman, seharusnya kepala daerah tidak bersentuhan langsung dengan kontraktor untuk masalah lelang karena itu merupakan hal teknis. Kepala daerah seharusnya berkonseterasi untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Sekarang alat yang ada sudah sangat canggih untuk itu, berhati-hatilah untuk berbuat hal yang melanggar hukum.
Herman menyadari, menjadi kepala daerah bukanlah hal yang mudah. Banyak tekanan yang harus dihadapi, seperti tekanan dari partai politik, dari rekan, bahkan keluarga. Hal inilah yang harus dihindari sebisa mungkin agar tidak terjerumus dalam masalah hukum. ”Jadikanlah kepercayaan masyarakat sebagai martabat yang harus dijaga,” ucapnya.
Jadi, keputusan KPK untuk menetapkan Ahmad Yani sebagai tersangka sudah berdasarkan dua alat bukti yang kuat. Alat bukti itu bisa dari petunjuk yang didapat dari hasil pemeriksaan hingga jejak digital. ”Sekarang alat yang ada sudah sangat canggih untuk itu, berhati-hatilah untuk berbuat hal yang melanggar hukum,” katanya.
Terjerumus korupsi
Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Firli Bahuri menuturkan, ada beberapa hal yang membuat pejabat pemerintahan terjerumus dalam kasus korupsi. Beberapa hal yang bisa menjerat adalah adanya uang ketok palu; biasanya terjadi antara kepala daerah dan DPRD kabupaten/kota untuk mengesahkan satu kebijakan, permainan proyek, dan mutasi jabatan. ”Ketiganya menjadi celah munculnya korupsi,” kata Firli yang masuk 10 nama calon pimpinan KPK.
Firli berharap pemerintah daerah, termasuk anggota DPRD kabupaten/kota, fokus pada komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari data yang dimilikinya, dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sumsel hanya Kota Pagaralam yang angka kemiskinannya satu digit, yakni 8,7 persen, sedangkan yang lain masih dua digit.
Bahkan, ada kabupaten di Sumsel yang APBD-nya Rp 4,1 triliun, tetapi angka kemiskinannya tinggi, bahkan mencapai 15,62 persen. Padahal, keberadaan anggaran salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menurunkan angka kemiskinan.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumsel Nunik Handayani menerangkan, permainan proyek oleh kepala daerah memang kerap terjadi. Ada beberapa alokasi APBD yang menjadi sasaran dari proyek infrastruktur, seperti perbaikan jalan, permukiman, dan dana pendidikan. Modus yang mereka gunakan tidak lain adalah dengan menggelembungkan anggaran.
Dari penggelembungan anggaran tersebut, kepala daerah sebagai penentu kebijakan biasanya meminta ”upah” kepada para kontraktor, salah satunya melalui dana komitmen (commitment fee) dalam kasus Bupati Muara Enim dipatok commitment fee hingga 10 persen.
Kasus ini hampir sama dengan kasus Bupati Banyuasin Yan Anton yang terjaring KPK pada 4 September 2016. Anton turut memengaruhi proses lelang proyek-proyek Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sehingga pemenang lelang adalah rekanan yang telah ditunjuk sesuai arahan bupati.
Penentuan itu dilakukan karena rekanan sudah memberikan gratifikasi berupa uang (ijon proyek) kepada Yan Anton. Yan Anton juga menerima gratifikasi berupa uang yang merupakan setoran (fee) dari SKPD. Sumber uang ini dari rekanan yang mengerjakan proyek tersebut. Praktik ini sudah dilakukan sejak 2014-2016.
Selama menjabat Bupati Banyasin, Yan Anton menerima sejumlah gratifikasi. Gratifikasi tersebut didapat dari rekanan dinas pendidikan Zulfikar Muharrami sebanyak Rp 6,13 miliar dan Asmuin Rp 1,7 miliar. Akibatnya, Yan Anton pun divonis enam tahun penjara dan pencabutan hak politik selama tiga tahun setelah masa hukuman selesai.
Pelaksana harian
Dengan penetapan status tersangka pada Ahmad Yani, ungkap Herman, dirinya sudah menandatangani surat keputusan untuk mengangkat Wakil Bupati Muara Enim Juarsyah menjadi Pelaksana Tugas Harian (Plh) Bupati Muara Enim sampai ada permintaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengangkat pelaksana tugas (Plt) Bupati.
”Saya sudah menandatangani surat tersebut setelah ada penetapan status tersangka oleh KPK,” katanya. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kekosongan kekuasaan.
Tugas dari Plh tidak sama dengan Bupati definitif. ”Plh bupati belum bisa memutuskan untuk kebijakan strategis, seperti membuat anggaran, kepegawaian, mutasi, atau bahkan memberhentikan orang,” ujarnya. Surat keputusan ini akan diserahkan langsung kepada Wakil Bupati Muara Enim agar dia dapat menjalankan tugasnya.
Herman mengimbau kepada warga Kabupaten Muara Enim untuk bersabar dan menerima kenyataan ini serta harus menghadapinya. Di sisi lain, dia berharap masyarakat jangan dulu membuat stigma terhadap bupati yang tertangkap karena masih status tersangka. ”Jangan menghakimi bupati sampai sidang sudah inkrah,” katanya.