Magang Untuk Meraup Pengalaman Kerja
Kerja magang menjadi salah satu upaya mahasiswa untuk melangkah lebih dekat terhadap dunia kerja. Banyak perusahaan yang khusus mengadakan program magang untuk mahasiswa atau lulusan baru. Pengalaman ini yang sering kali jadi incaran mahasiswa karena mampu memberi sensasi bekerja secara profesional dalam sebuah perusahaan.
Di sisi lain, hak dan kewajiban pekerja magang di Indonesia masih samar. Status magang membuat mereka tidak memiliki hak termasuk upah dan tunjangan yang sama dengan karyawan tetap. Padahal, anak magang sering kali memiliki beban kerja yang sama dengan karyawan tetap.
Hal ini yang kemudian menjadi problematika di kalangan mahasiswa dan atau lulusan baru. Pasalnya, mereka sangat ingin mencari pengalaman yang memperkaya ilmu dan kemampuan diri. Namun, kerja magang dengan upah yang tidak memadai cukup menyulitkan terutama dari segi finansial.
Pengalaman semacam ini pernah dialami Edbert Benaya Kapzeel, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jurusan Desain Interior, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Kerja magang merupakan salah satu syarat kelulusan di kampusnya. Tahun lalu, ia mencari perusahaan yang menerima pekerja magang di bidang desain interior.
Sejatinya, Edbert melakoni kerja magang untuk mendapatkan pengalaman. Dia berharap mendapat bimbingan dari para profesional saat mengerjakan sebuah proyek sehingga memunculkan ruang edukasi dan eksplorasi. Sayangnya, segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan.
"Ekspektasi gue kerja magang ya melihat dunia kerja secara nyata dan memenuhi syarat kelulusan di kampus juga. Gue mikir bakal dituntun secara rinci saat mengerjakan sebuah proyek. Tapi kenyataannya disuruh langsung belajar dengan ngerjain sendiri," ujar Edbert.
Edbert merasa diberikan beban kerja yang sama dengan karyawan tetap. Ia diberikan kesempatan untuk menangani proyek-proyek yang biasanya dikerjakan karyawan tetap di perusahaan. Ia mengaku senang dan sekalifgus merasa diperlakukan tidak adil.
Di sisi lain, banyak mahasiswa merasa pengalaman merupakan “upah” dari kerja magang tersebut. Keyakinan dikemukakan Audrey Ovelia, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan, Tangerang.
"Selain karena wajib dari kampus, gue ingin tahu aplikasi nyata teori-teori yang ada di buku. Terutama karena gue itu jurusan HI, gue penasaran relevansi teori-teori itu di dunia diplomasi," ujar Audrey.
Lalu, Audrey berusaha mencari tempat magang yang mampu mengakomodasi rasa penasarannya. Setelah berkonsultasi dengan dosennya, ia merasa kesempatan magang di kedutaan besar Indonesia yang bertempat di luar negeri merupakan ladang ilmu terbaik baginya. Ia pun memutuskan untuk melamar ke kedutaan besar Indonesia di Vienna, Austria.
"Karena gue ingin belajar diplomasi, dosen gue menyarankan untuk pergi ke tempat yang benar-benar mewakili Indonesia-nya begitu. Lalu, gue melihat-lihat lowongan dan yang buka pada saat itu hanya Austria dan Sydney. Akhirnya gue memutuskan untuk melamar ke kedutaan besar Indonesia di Austria dan diterima," ucap Audrey.
Biaya tiket dan akomodasi selama dua setengah bulan menjalani kerja magang di Austria juga keluar dari koceknya sendiri. Meski harus keluar biaya dengan nominal mencapai puluhan juta, Audrey merasa pengalaman magangnya di 2018 tersebut sangat membantunya memahami seluk-beluk diplomasi yang sesungguhnya.
"Kebetulan di Vienna itu juga ada United Nation Headquarter, itu membuat gue bisa menyaksikan langsung UN Summit yang dihadiri diplomat-diplomat dari berbagai negara. Gue melihat langsung cara para diplomat itu memperjuangkan kepentingan negaranya tanpa harus adu otot alias dengan cara yang classy. Itu pengalaman bagus banget sih," tutur Audrey.
Tak hanya itu, ia juga dilibatkan dalam persiapan sebuah acara bertajuk Malam Kebudayaan Indonesia yang bertujuan untuk memperkenalkan pariwisata Indonesia di depan negara-negara lain. Hal ini turut jadi pengalaman tak terlupakan baginya karena mampu terjun langsung sebagai perpanjangan tangan Indonesia di depan negara-negara lain.
Melatih disiplin
Selain pengalaman dan upah, program magang bisa menjadi tempat belajar untuk lebih mandiri dan disiplin. Tentu saja, saat kuliah dan bekerja menjadi dua hal yang sungguh berbeda.
Zulian Fatha, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Managemen Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP) angkatan 2015 pernah magang di Redaksi Harian Kompas sebagai reporter selama tiga bulan.
"Yang dilakukan saat magang banyak banget, seperti perencanaan liputan. Jadi kita diajak untuk merencanakan mau liputan apa setiap minggu sampai sebulan ke depan, temanya apa dan terkait dengan anak muda. Dari situ aku belajar bagaimana suatu topik bahasan untuk berita. Perancangannya bisa sulit dan panjang, tapi hasil dari itu semua bisa ciamik," kata Zulian yang biasa dipanggil Ijul.
Rutinitas yang Ijul lakukan selama magang adalah membantu perencanaan liputan melalui rapat desk setiap seminggu sekali, kemudian liputan lapangan (seperti konferensi pers musik atau premier film) didampingi reporter desk setiap minggu bisa dua-tiga kali. Rutinitas lainnya, menyusun informasi yang sudah didapat menjadi tulisan. "Itu yang seru dan menyenangkan. Biasanya sambil menulis, nanti di koreksi oleh wartawan desk yang bertanggung jawab," kata Ijul.
Kendala dan hambatan yang harus dihadapi Ijul adalah jarak rumahnya di Bekasi yang jauh dari Kompas. Jadi dia harus menyesuaikan agar bisa tepat waktu datang di lokasi liputan. "Hambatannya, karena aku masih magang dan pemula, jadi saat penulisan masih banyak yang salah tulis. Jadi awal menulis, banyak tulisanku yang dikoreksi, tapi makin lama berubah dan jadi bagus tulisannya," kenang Ijul.
Manfaat magang bagi Ijul adalah untuk melatih disiplin dan kemandirian. Karena saat magang, meski Ijul adalah mahasiswa yang sedang magang, namun dia bisa melihat situasi dan kondisi dunia kerja di media yang sebenarnya. "Jadi udah kayak kerja beneran aja. Aku harus mengubah sikap yang buruk dengan disiplin, serta kemandirian kita diasah agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Ilmu ini yang selalu aku pakai kalau kuliah. Displin waktuku berubah karena terbiasa di Kompas,” katanya.
Sedangkan Yunita Kristi (21), mahasiswa semester 7 Jurusan Manajemen Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya, Bintaro, Tangerang Selatan, mempunyai pengalaman magang di instansi pemerintah yaitu Kementerian Ketenagakerjaan selama tiga bulan.
Selain kewajiban dari perguruan tinggi untuk syarat kelulusan, Yunita mengambil kesempatan magang ini untuk memperbanyak pengalaman dan memiliki relasi didalam instansi pemerintah. Ditambah dengan bonus uang saku yang didapat dari tempat magang ini membuat Yunita melakukan tugas dengan profesional dan serius.
“Walaupun tidak seberapa nominalnya, saya sangat serius untuk magang. Kegiatan ini bisa saya jadikan cerminan ketika saya menghadapi dunia kerja yang sebenarnya,” kata Yunita.
Banyak hal yang tidak Yunita dapatkan selama di perkuliahan ketika melakukan magang, seperti sifat-sifat orang di kantor yang sangat berbeda dengan anak kuliahan, deadline, dan disiplin waktu yang cukup ketat, “Belajar masuk di dunia kerja dengan berbagai macam jenis sifat manusia, berbagai macam deadline yang menumpuk, dan belajar untuk selalu tepat waktu,” lanjutnya.
Skema kerja magang memang jadi wilayah yang masih samar, termasuk bagi mahasiswa di Indonesia. Akan tetapi, perburuan pengalaman atau pendapatan atau keduanya merupakan hasil pertimbangan dari mahasiswa itu sendiri. Pertimbangan matang jadi sebuah kunci untuk terhindar dari perasaan terjebak atas pilihan sendiri.
Jadi, magang itu untuk mencari pengalaman atau pendapatan, tentu sangat tergantung pada motivasi mahasiswa itu sendiri. Apa yang dia cari dari progam magang, dia sendiri yang menentukan karena motivasi tiap mahasiswa tentulah berbeda-beda. (*/***)