Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan Jadi Tumpuan Persatuan
›
Organisasi Kemasyarakatan...
Iklan
Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan Jadi Tumpuan Persatuan
Hingga saat ini populisme agama terjadi karena politisasi identitas dan ketimpangan ekonomi yang terus dibingkai dalam sentimen tertentu di media sosial.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan populisme agama rentan dimanfaatkan segelintir pihak untuk memecah belah masyarakat demi kepentingan politik elektoral. Peran organisasi kemasyarakatan keagamaan untuk memberikan pemahaman toleransi dan kematangan berdemokrasi dibutuhkan guna menjaga persatuan dan kesatuan.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran dan diskusi Jurnal Maarif bertema “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi Indonesia Pascapilpres” di Jakarta, Rabu (4/9/2019). Dalam acara tersebut hadir Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali dan Direktur Riset Maarif Institute sekaligus Pemimpin Redaksi Jurnal Maarif Moh Sofhan. Selain itu, hadir pula Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Maarif dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir.
Amin mengatakan, penyelesaian masalah pembelahan politik berbasis agama pasca-Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Serentak 2019 merupakan salah satu tantangan yang perlu diselesaikan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. “Eksistensi ormas keagamaan memiliki peran penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat,” kata Amin.
Sofhan menjelaskan, pembelahan masyarakat merupakan dampak populisme berbau agama dalam beberapa waktu terakhir. Sejak 2016 menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pemilu Serentak 2019, populisme atau pandangan politik yang membagi masyarakat menjadi dua kubu bertentangan digunakan sebagai instrumen untuk memenangkan politik elektoral oleh segelintir pihak.
Dampaknya, warga terbelah tidak hanya dalam kerangka elite dan rakyat kecil. Tetapi juga berdasarkan identitas keagamaan berdasarkan pilihan politik.
Sofhan menambahkan, populisme agama sebenarnya bukan barang baru. Pada era prakemerdekaan, tokoh pejuang juga memanfaatkan populisme agama yang masuk bersamaan dengan perkembangan gerakan Pan Islamisme untuk memunculkan rasa senasib sepenanggungan dalam seluruh masyarakat terjajah.
Dibentuk media sosial
Saat itu, kelompok populis memunculkan sosok kolonialis sebagai musuh bersama. Akumulasinya adalah persatuan dan kesatuan untuk melawan penjajah.
Amin menambahkan, hingga saat ini populisme agama terjadi karena politisasi identitas dan ketimpangan ekonomi yang terus dibingkai dalam sentimen tertentu di media sosial. Hal itu identik pada masyarakat kelas menengah urban yang sudah tercerabut dari akar tradisional.
Syamsul Maarif mengatakan, tumbuh suburnya populisme agama merupakan hal yang wajar pada negara demokrasi karena memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk menyuarakan apapun. Sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, Islam pun wajar dipilih. Namun, perkembangan demokrasi Indonesia yang belum matang baik secara prosedural maupun substansial menjadikannya rentan ditunggangi kelompok yang hanya ingin mengambil keuntungan dari masyarakat mayoritas.
Menurut dia, perkembangan populisme sebenarnya bisa jadi momentum konsolidasi masyarakat. “Populisme ini juga bisa menjadi momentum untuk menguatkan demokrasi, asalkan diisi dengan isu-isu kebangsaan dan umat Islam harus ambil peran dalam hal tersebut,” ujar Syamsul.