OTT Bupati Bengkayang Buktikan APBD Perubahan Rawan Dikorupsi
›
OTT Bupati Bengkayang Buktikan...
Iklan
OTT Bupati Bengkayang Buktikan APBD Perubahan Rawan Dikorupsi
Anggaran tambahan yang termuat di APBD Perubahan dinilai rentan diselewengkan. Penyusunan APBD Perubahan yang relatif tidak terlalu ketat pengawasannya berpotensi membuat kepala daerah tergoda mencari celah korupsi.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran tambahan yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan dinilai rentan diselewengkan. Penyusunan APBD Perubahan yang relatif tidak terlalu ketat pengawasannya berpotensi membuat kepala daerah tergoda mencari celah korupsi dari tambahan anggaran tersebut.
Penangkapan Bupati Bengkayang, Kalimantan Barat, Suryadman Gidot, oleh KPK membuktikan celah korupsi pada APBD Perubahan begitu nyata. Pada Rabu (24/9/2019), KPK menetapkan Suryadman Gidot dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bengkayang Alexius sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pemerintah di wilayah itu. Selain mereka berdua, KPK juga menetapkan lima tersangka dari swasta, yaitu Rodi, Yosef, Nelly Margaretha, Bun Si Fat, dan Pandus.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan, Suryadman meminta uang kepada Alexius dan Kepala Dinas Pendidikan Bengkayang Agustinus Yan karena dua satuan kerja perangkat daerah tersebut mendapat anggaran tambahan di APBD Perubahan 2019. Rinciannya, Dinas PUPR Rp 7,5 miliar dan Dinas Pendidikan Rp 6 miliar. Agustinus kini masih menjalani pemeriksaan.
”Dari paparan tim KPK secara sekilas, praktik ini kelihatan sudah lama, bukan baru-baru ini saja. Pemecahannya sangat luar biasa itu. Coba dilihat dengan nilai Rp 7,5 miliar (PUPR) dan Rp 6 miliar (Pendidikan), dipecah untuk penunjukan langsung Rp 200 juta. Kalau untuk pendidikan masih masuk akal, bisa dipilah-pilah. Tetapi tidak terbayang kalau untuk jalan atau infrastruktur bisa dipotong berapa itu,” kata Basaria.
Kedua anak buah Suryadman itu, lanjut Basaria, diminta menyediakan masing-masing Rp 300 juta untuk keperluan pribadi sang bupati. Uang itu sudah harus diserahkan pada Senin (2/9/2019).
Menindaklanjuti hal tersebut, pada Minggu (1/9/2019), Alexius menghubungi beberapa rekanan untuk menawarkan proyek pekerjaan dengan skema penunjukan langsung. Syaratnya, mereka harus setor di awal. Untuk satu paket pekerjaan penunjukan langsung, diminta setoran Rp 20 juta-Rp 25 juta atau minimal sekitar 10 persen dari nilai maksimal pekerjaan penunjukan langsung, Rp 200 juta.
Hari Senin, Alexius menerima setoran tunai dari pihak swasta melalui staf honorer PUPR, Fitri Julihardi. Total uang yang diserahkan pihak rekanan pemerintah daerah tersebut sebesar Rp 340 juta.
Kalau untuk pendidikan masih masuk akal, bisa dipilah-pilah. Tetapi tidak terbayang kalau untuk jalan atau infrastruktur bisa dipotong berapa itu?
Tim penyelidik KPK yang sedari awal mendapat informasi bahwa bakal ada penyerahan uang ke bupati sudah bersiap di lokasi. Informasinya, uang akan diserahkan ke bupati di Mes Pemerintah Daerah Bengkayang di Pontianak.
KPK menangkap Suryadman dan Alexius di tempat tersebut. Dalam penangkapan itu, KPK mengamankan barang bukti berupa uang Rp 336 juta. Selain keduanya, KPK juga mengamankan lima orang lain dalam operasi tangkap tangan itu.
Pihak swasta pemberi suap dikenai Pasal 5 ayat (1) Huruf a atau Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara penerima suap disangka melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Basaria menyatakan, tindakan pencegahan korupsi akan sulit dilakukan jika tidak didukung oleh seluruh elemen, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Oleh sebab itu, langkah preventif dan tindakan represif berupa operasi tangkap tangan tetap harus dijalankan secara konsisten.
Basaria menyatakan, tindakan pencegahan korupsi akan sulit dilakukan jika tidak didukung oleh seluruh elemen, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Oleh sebab itu, langkah preventif dan tindakan represif berupa operasi tangkap tangan tetap harus dijalankan secara konsisten.
”Namun, jika kejahatan korupsi telah terjadi, KPK sebagai penegak hukum tidak boleh diam,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, kebanyakan daerah tidak patuh memberikan rancangan APBD Perubahan ke pemerintah pusat (Kemendagri) untuk diperiksa. Dengan pertimbangan minimnya waktu, APBD Perubahan itu selesai dengan persetujuan antara pemerintah daerah dan DPRD. Ini membuka celah pembajakan anggaran.
”Kemendagri harus ketat memantau APBD Perubahan ini. Sebab, Juli-September ini adalah bulan-bulan gelap potensi penyelewengan anggaran,” katanya.
Ditambah lagi, lanjutnya, perhatian publik terhadap penyusunan APBD Perubahan tidak seintens penyusunan APBD murni. Berdasarkan pengakuan seorang bupati kepadanya, APBD Perubahan adalah masa untuk meloloskan mata anggaran yang sulit lolos di APBD murni karena perencanaannya yang lebih ketat.
Robert menambahkan, untuk korupsi di daerah, pemerintah seharusnya membagi fokus per sektor. Di daerah, lanjutnya, akses layanan dasar berupa kesehatan, pendidikan, dan sektor infrastruktur rentan dikorupsi karena anggarannya yang besar.