Peringkat Daya Saing Pariwisata Indonesia Naik
Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, daya saing pariwisata Indonesia pada 2019 berada di peringkat ke-40 dari 140 negara. Persoalan infrastruktur jasa wisata, kebersihan, dan ketahanan lingkungan jadi titik lemah Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, daya saing pariwisata Indonesia pada 2019 berada di peringkat ke-40 dari 140 negara. Persoalan infrastruktur jasa wisata, kebersihan, dan ketahanan lingkungan menjadi titik lemah Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga.
Hal itu mengemuka dalam Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) Daya Saing Pariwisata 2019. Dalam laporan yang dirilis pada Rabu (4/9/2019) itu, WEF menghitung daya saing pariwisata di 140 negara. Daya saing pariwisata Indonesia naik dari peringkat ke-42 pada 2017 menjadi ke-40 pada tahun ini.
Di kelompok negara Asia Timur dan Pasifik, peringkat daya saing pariwisata Indonesia lebih rendah daripada Singapura yang berada di peringkat ke-17, Malaysia (29), dan Thailand (31). Namun, daya saing Indonesia lebih baik daripada Vietnam (63), Brunei Darussalam (72), dan Filipina (75).
Dalam laporan itu, disebutkan pula kelemahan pariwisata Indonesia terutama pada indikator infrastruktur jasa wisata yang menempati peringkat ke-98 dari 140 negara, kesehatan dan kebersihan (peringkat ke-102), serta kebijakan ketahanan lingkungan (peringkat ke-135).
Ekonom senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Mari Elka Pangestu, mengatakan, Indonesia secara alamiah memiliki potensi sumber daya alam dan budaya yang besar sehingga daya saing pariwisata terdongkrak. Meski demikian, potensi wisata tetap harus dibarengi pengembangan destinasi.
”Indonesia punya barang bagus, tetapi destinasi perlu dikembangkan. Pariwisata itu tentang pengalaman. Kalau seseorang punya pengalaman bagus, mereka akan ingat dan ingin datang lagi,” ujar Mari.
Baca juga: Realisasi dan Target Pariwisata yang Berubah
Kelemahan daya saing Indonesia yang mesti disoroti terkait jasa wisata melingkupi kualitas pemandu, kantor informasi (tourism office), dan pengembangan destinasi. Kelemahan tersebut harus diperbaiki agar daya saing Indonesia terus meningkat. Tanpa adanya perbaikan, promosi pariwisata yang gencar dilakukan akan percuma.
Kelemahan daya saing Indonesia yang mesti disoroti terkait jasa wisata melingkupi kualitas pemandu, kantor informasi (tourism office), dan pengembangan destinasi.
Oleh karena itu, Mari berpendapat, terobosan untuk memacu daya saing pariwisata sangat diperlukan. Kebijakan pembebasan visa kunjungan wisata bagi sejumlah negara mitra terbukti menghasilkan lompatan besar. Peringkat daya saing pariwisata Indonesia naik tajam dari ke-50 tahun 2015 menjadi ke-42 tahun 2017.
”Perbaikan di sektor pariwisata harus komprehensif, terutama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setiap daerah, menurut UU Pariwisata, wajib memiliki rencana induk pariwisata daerah,” ucap Mari.
Rencana induk pariwisata daerah seharusnya menjadi acuan pembangunan dan pengembangan destinasi. Daerah acap kali melupakan hal-hal kecil yang justru sangat dibutuhkan wisatawan, seperti kebersihan toilet umum dan konektivitas digital atau Wi-Fi. Daerah sebaiknya tidak diberikan dana infrastruktur selama belum memiliki rencana induk pariwisata.
Christoph Wolff, Head of Mobility at the World Economic Forum, melalui siaran pers, mengatakan, pariwisata berkontribusi lebih dari 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia. Kontribusi sektor pariwisata diproyeksikan bisa tumbuh mencapai 50 persen dalam 10 tahun ke depan seiring dengan peningkatan kelompok kelas menengah di dunia, terutama di kawasan Asia.
”Berkurangnya hambatan perjalanan dan penurunan biaya perjalanan menyebabkan banyak negara mengalami kenaikan peringkat daya saing pariwisata secara signifikan,” ujar Wolff.
Kontribusi sektor pariwisata diproyeksikan bisa tumbuh mencapai 50 persen dalam 10 tahun ke depan seiring dengan peningkatan kelompok kelas menengah di dunia, terutama di kawasan Asia.
Wolff menambahkan, potensi pariwisata di sejumlah negara masih bisa diperbesar untuk menggerakkan roda ekonomi dan memacu pembangunan. Namun, masalah gap infrastruktur dan ketahanan lingkungan mesti diatasi dulu. Tujuannya, agar pariwisata bisa bertahan dalam jangka panjang.
Dalam laporannya, WEF juga merekomendasikan negara berpenghasilan rendah yang memiliki kekayaan alam dan budaya, seperti Indonesia, memanfaatkan aset alamiah tersebut untuk menggerakkan pembangunan ekonomi. Caranya, dengan menarik investasi asing langsung yang berkaitan dengan pariwisata.
Penggerak ekonomi
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti mengatakan, kenaikan peringkat daya saing pariwisata Indonesia jadi cermin soliditas pemerintah dan seluruh pelaku pariwisata Indonesia. Hal itu akan menambah kepercayaan diri, kredibilitas, serta kalibrasi pariwisata Indonesia di mata dunia.
”Ini membuktikan bahwa pariwisata Indonesia sangat tepat untuk ditempatkan sebagai penggerak inti ekonomi bangsa ke depan,” ujarnya.
Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata, terus berupaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja pariwisata melalui berbagai strategi yang telah ditetapkan. Salah satunya, dengan menggenjot pengembangan berbagai destinasi dari segi atraksi, aksesibilitas, dan amenitas.
Kementerian Pariwisata juga sudah menyiapkan berbagai strategi untuk mencapai target di semester II-2019. Beberapa strategi sebelumnya terbukti berhasil dilakukan, seperti program hot deals, tourism hub, dan border tourism.
Guntur mengemukakan, pemerintah kini sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjaga target kunjungan wisatawan mancanegara hingga akhir tahun. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diharapkan jadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
”Pada 2018, pariwisata telah menyumbang devisa sebesar 19,2 miliar dollar AS di mana 40 persen merupakan kontribusi Bali,” kata Guntur.
Baca juga: Kreativitas dan Wisata Saling Dukung
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari-Juli 2019, jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia sebanyak 9,31 juta orang. Jumlah itu naik 2,63 persen dibandingkan dengan jumlah wisatawan mancanegara pada periode yang sama tahun 2018 sebesar 9,07 juta orang. Pada 2019, jumlah wisatawan mancanegara ditargetkan sebanyak 18 juta orang.
Mantan Ketua Umum Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pakar Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Sumatera Barat Asnawi Bahar berpendapat, naiknya kompetisi pariwisata Indonesia akan memberikan citra positif.
”Kita sudah membuktikan ke dunia internasional bahwa infrastruktur kita membaik, tidak hanya secara fisik, tetapi juga infrastruktur lain, seperti pelayanan. Kita juga sudah mulai mampu menjaga lingkungan secara sustainable dengan melibatkan semua pihak. Ini perlu kita pertahankan,” tuturnya.
Asnawi menyoroti penurunan skor dalam pilar sumber daya alam dan budaya. Indikator pengembangan aktivitas luar ruangan, misalnya, turun dari 4,7 pada 2017 menjadi 4,5 pada 2019. Selain itu, indikator promosi wisata budaya, wahana hiburan, dan konferensi juga turun dari 3,3 pada 2017 menjadi 3,2 pada 2019.
”Kita belum punya banyak destinasi wisata seperti Universal Studio, stadion olahraga, atau perhelatan budaya bertaraf internasional. Selain dari jumlah, sektor itu belum banyak dikelola secara profesional,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah dan pelaku usaha mesti berkolaborasi memperbaiki promosi dan pemasaran pariwisata. Pelaku usaha fokus mendorong promosi, sementara pemerintah menjalin kerja sama dengan asosiasi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan terutama yang berasal dari mancanegara.