Petani Stroberi di Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu, Jawa Timur, masih menghadapi kendala pemasaran untuk bisa menembus industri makanan dan minuman. Mereka kalah bersaing dengan produk luar kota.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
BATU, KOMPAS-Petani Stroberi di Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu, Jawa Timur, masih menghadapi kendala pemasaran untuk bisa menembus industri makanan dan minuman. Mereka mengaku kalah dengan stroberi dari Bandung dan Bali yang harga jualnya jauh lebih murah dan pasokannya berkesinambungan.
Sejauh ini stroberi dari Pandanrejo lebih banyak menyasar konsumen lokal dan wisatawan yang berkunjung ke daerah itu. Pandanrejo sendiri merupakan sentra stroberi dengan jumlah petani mencapai puluhan orang dengan luas lahan 7-8 hektar.
Darto (40) salah satu petani, Rabu (4/9/2019), mengatakan, harga jual stroberi petani di Batu lebih tinggi dari Bandung dan Bali. Jika di Bandung dan Bali harga stroberi mencapai Rp 15.000 per kilogram (kg) maka di Batu Rp 35.000 per kg dari petani.
"Kalau di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Raharjo harganya mulai dari Rp 40.000-Rp 70.000 per kg, tergantung kualitas," ucapnya.
Akibat disparitas harga yang cukup tinggi inilah industri makanan memilih mendatangkan stroberi dari Bandung dan Bali yang harganya lebih rendah. "Tempo hari ada induatri makanan di Surabaya yang hendak mengambil dari kami tetapi belum terealisasi sudah dihantam produk dari daerah lain yang jauh lebih murah," katanya.
Darto memiliki sekitar 3.000 polibag tanaman stroberi dan Rabu pagi baru saja dipetik sebanyak 60 kg. Sejak awal 2019 petani setempat menjual hasil kebun ke BUMDes Raharjo. Selain menjual dalam bentuk buah, BUMDes juga menyediakan produk olahan dan wisata petik stroberi dengan nama Lumbung Stroberi.
Tempo hari ada induatri makanan di Surabaya yang hendak mengambil dari kami tetapi belum terealisasi sudah dihantam produk dari daerah lain yang jauh lebih murah
Darto mengakui pasokan stroberi di Pandanrejo masih terbatas. Petani masih menanam secara konvensional dan biasa panen saat musim kemarau tiba. Hal ini berbeda dengan petani di Bandung dan Bali yang bisa memanen sepanjang waktu karena sebagian stroberi mereka dikembangkan semimodern di green house yang tertutup.
"Di Bandung juga dikelola oleh koperasi. Di sana petani mendapatkan modal dan hasil panen ditampung. Lahan petani juga disewa sehingga petani tetap untung meski produksi stroberi sedang kurang bagus," katanya.
Keluarga Darto telah mengembangkan stroberi sejak tahun 1970-an. Di Pandanrejo petani umumnya membudidayakan stroberi jenis california yang memiliki ukuran buah lebih besar dan tahan hingga empat hari.
Direktur BUMDes Raharjo, Mukhlas Rofiq membenarkan jika selama ini pihaknya menghadapi kendala pemasaran ke industri makanan dan mimuman, kalah dengan stroberi luar daerah yang harganya separo lebih rendah dari stroberi di Batu.
BUMDes Raharjo selama ini membeli stroberi dari petani di atas harga stroberi dari luar daerah dengan alasan memberi kesempatan kepada petani untuk mendapat penghasilan lebih.
"Stroberi dari Bandung harganya Rp 15.000 per kg. Kami tidak berani menyamai harga tersebut karena kami membeli dari petani saja di atas Rp 25.000 per kg supaya petani tetap mendapat pendapatan yang bagus," ujarnya.
Menurut Rofiq upaya menembus industri makanan cukup sulit karena mereka tidak lagi memertimbangkan soal kualitas rasa--stroberi dari Batu punya rasa manis--tetapi lebih ke pertimbangan harga. Namun ke depan tetap ada upaya agar stroberi dari Batu bisa kompetitif dengan daerah lain.
Menurut Rofiq ada sejumlah langkah yang dilakukan oleh BUMDes dalam mengangkat stroberi setempat, mulai dari menjual buah dalam bentuk segar, membuat produk olahan, hingga wisata petik buah di kebun. "Buah segar dijual di lokasi maupun dikirim ke pelanggan dan reseller. Alhamdulillah mulai ketemu semua," ujarnya.