DPR diingatkan agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU yang kontennya masih diperdebatkan. Penerapan pasal bermasalah bisa memundurkan penegakan hukum di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS— Dewan Perwakilan Rakyat didesak tidak terburu-buru menggunakan sisa masa jabatan untuk mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang dengan pasal-pasal yang masih memicu perdebatan dan berpotensi menimbulkan persoalan dalam implementasinya. DPR membuka peluang penundaan itu dengan mengupayakan penerapan sistem luncuran pembahasan RUU yang belum tuntas ke DPR periode berikutnya.
Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen di Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019), memutuskan menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang semula diagendakan Selasa hingga Rapat Paripurna DPR berikutnya. Penundaan disebut karena masih ada persoalan teknis yang harus diselesaikan, bukan karena substansi. Akan tetapi, secara substansi, kelompok masyarakat sipil juga mengkritisi RUU SDA. Salah satunya, RUU itu dinilai masih mengutamakan pendekatan komoditas karena tidak ketat membatasi pengelolaan air oleh swasta.
DPR dan pemerintah periode 2014-2019 berusaha mempercepat pengesahan sejumlah RUU sebelum akhir masa jabatannya pada 24 September 2019.
RUU lain yang dikebut, tetapi substansinya dikritisi kelompok masyarakat sipil, ialah RUU Pertanahan. Salah satu pasal di dalam RUU ini memberi ruang menteri menentukan kebijakan terkait hak pengelolaan dalam kondisi tertentu. Kondisi tertentu itu tidak dijelaskan sehingga memberi diskresi amat besar kepada menteri. Hal ini membuka celah penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dari catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, punya lima persoalan yang harus dikaji kembali rumusan pasal-pasalnya. ”Pasal-pasal tersebut jika dipaksakan untuk disahkan, Indonesia tidak hanya mundur dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam demokratisasi. Pelaksanaan pasal-pasal itu akan menimbulkan kebingungan karena tafsir yang tidak jelas,” kata Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu.
Lima persoalan itu meliputi aturan mengenai pidana hukuman mati yang dinilai belum tegas posisinya; masuknya hukum adat atau living law yang berpotensi mengancam asas legalitas; pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta tak sesuai demokrasi, misalnya pasal penghinaan terhadap presiden, dan pasal penghinaan terhadap pengadilan; pasal-pasal yang cenderung tidak melindungi kelompok rentan, seperti perempuan dan anak, seperti pasal perzinaan; serta ada pasal yang mengatur tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme, dan narkotika.
Periode berikut
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, dengan sejumlah persoalan yang masih ditemui dalam RKUHP, pemerintah dan DPR sebaiknya menunda pengesahan RKUHP. Idealnya, DPR 2019-2024 tidak perlu memulai lagi dari nol pembahasan mengenai RKUHP. ”Kalau memang ada aturan carry over atau meneruskan pembahasan RUU dari satu periode DPR kepada periode DPR selanjutnya, hal itu akan menjadi jalan keluar bagi pembahasan RKUHP ini,” kata Pohan.
Anggota tim ahli RKUHP pemerintah Eddy OS Hiariej mengatakan, selama 56 tahun pembahasan RKUHP itu diabaikan atau tidak mendapatkan perhatian dari negara. Kini, pembahasan RKUHP telah mendekati titik akhir sehingga tidak seharusnya ditunda.
Kendati begitu, DPR membuka peluang penundaan melalui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP). Revisi terbatas itu disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna kemarin. Pembahasan RUU itu akan dikebut dalam sisa waktu 12 hari.
Pasal 71A draf RUU PPP menyatakan, apabila pembahasan RUU belum selesai pada periode masa keanggotaan DPR, hasilnya disampaikan kepada DPR periode berikutnya. Berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU itu bisa dimasukkan lagi dalam daftar Program Legislasi Nasional.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, jika mekanisme carry over diberlakukan, sejumlah RUU yang problematik dan dikritik publik dapat ditunda pengesahannya dan pembahasannya diteruskan DPR dan pemerintah periode berikutnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, sejumlah RUU yang masih belum disepakati, seperti RKUHP dan RUU SDA, bisa diselesaikan oleh DPR periode berikutnya melalui mekanisme luncuran.
Sementara itu, di tengah dorongan penundaan pengesahan RUU yang dianggap masih problematik, muncul harapan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Di dalam RUU itu sudah dirumuskan sembilan jenis kekerasan seksual, yakni pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise menegaskan, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU sangat mendesak. Karena itu, dia berharap DPR segera merealisasikan janjinya untuk mengesahkan RUU tersebut.