Agar Tak Ganggu Transmisi Satelit, Pemerintah Ajukan Alternatif Frekuensi 5G
›
Agar Tak Ganggu Transmisi...
Iklan
Agar Tak Ganggu Transmisi Satelit, Pemerintah Ajukan Alternatif Frekuensi 5G
Komersialisasi jaringan 5G masih menunggu standardisasi frekuensi World Radio Communication pada akhir Oktober 2019. Pemerintah mengajukan alternatif frekuensi 5G yang tak mengganggu komunikasi satelit.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Komersialisasi jaringan generasi kelima atau 5G masih menunggu standardisasi frekuensi World Radio Communication yang akan dilakukan pada akhir Oktober 2019 di Mesir. Dalam forum tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika akan mengajukan sejumlah alternatif frekuensi 5G di middle band agar kebutuhan jaringan tersebut tak mengganggu transmisi satelit.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemkominfo Ismail mengatakan, pengembangan 5G masih terkendala penetapan frekuensi. Kandidat utama spektrum 3,5 gigahertz (Ghz) yang saat ini digunakan untuk uji coba 5G ternyata juga dipakai oleh satelit C-Band.
Oleh karena itu, lanjut Ismail, dalam perhelatan World Radio Communication 2019, pemerintah akan mengajukan sejumlah alternatif spektrum agar kebutuhan jaringan 5G dan satelit di Indonesia tak saling bertabrakan.
”Kami bulan depan akan berjuang untuk penentuan band-band frekuensi ini. Kami tentu ingin ada alternatif di band-band ini sehingga negara seperti di Indonesia tak dikorbankan satelitnya begitu saja. Seharusnya, ada band-band lain yang juga bisa menggantikan satelit,” ujar Ismail seusai uji coba 5G 3 Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/9/2019).
Sejauh ini ada tiga kandidat pita frekuensi yang ideal digunakan 5G, yakni 2,6 GHz, 2,8 GHz, dan 3,5 GHz. Itu semua masuk dalam kategori middle band (2,6 Ghz hingga 3,8 GHz).
Ismail berharap, pilihan frekuensi 5G dapat diperluas. Indonesia juga akan memperjuangkan spektrum-spektrum lain di middle band dapat tumbuh ekosistemnya dan diakui global.
”Ada alternatif lagi di luar 3,5 Ghz, misalnya 3,3 Ghz dan lainnya. Itu kami dorong agar ekosistem di sana tumbuh. Jadi, diperluas (spektrumnya), enggak fokus di 3,5 Ghz saja. Semakin banyak developer (pengembang), kan, investasinya juga makin banyak,” tutur Ismail.
Pembenahan infrastruktur
Selain penetapan frekuensi, persoalan lain yang dihadapi dalam pengembangan 5G adalah pembenahan infrastruktur penyokong.
Ismail menyampaikan, sampai saat ini, pemerintah masih ada pekerjaan rumah untuk membenahi infrastruktur, mulai dari lapisan akses data (back end) sampai pemancar jaringan (base transceiver station/BTS) dari para operator telekomunikasi. Menurut dia, infrastruktur penyokong tersebut masih perlu penyempurnaan agar implementasi 5G tak hanya berskala laboratorium dan tak mengalami gangguan saat dipakai di area ramai (crowded area).
”Masalah back end dan BTS-BTS ini harus diselesaikan dan dirapikan. Jangan sampai, seperti sekarang, kami sudah bangun 4G di mana-mana, tetapi rasa 3G. Secara umum, problemnya itu karena tak semua network (jaringan) didukung fiber optik,” kata Ismail.
Sementara itu, Wakil Presiden Direktur 3 Indonesia M Danny Buldansyah mengatakan, pembangunan jaringan 5G tentu harus memperhitungkan costandreturns (biaya dan pengembalian). Sebab, pembangunannya pun mahal dan sulit.
Oleh karena itu, lanjut Danny, dibutuhkan sinergitas antaroperator telekomunikasi untuk membangun infrastruktur penyokong tersebut. Meski demikian, Danny mengakui bahwa bukanlah hal yang mudah menggandeng operator lain karena setiap operator pasti menganggap pembangunan infrastruktur sebagai competitive advantage (keunggulan kompetitif).
”Padahal, menurut saya, kalau kita mau bersaing, bukan di infrastruktur. Kita semua pasti ingin infrastruktur harganya turun, tetapi kita bersaing dalam memberikan pelayanan kualitas kepada pelanggan. Kami selalu mencari pilihan alternatif yang paling menguntungkan atau ekonomis. Menurut saya, infrastructure sharing adalah cara terbaik,” ujar Danny.
Hal itu bisa mulai dilakukan di ibu kota negara baru, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Danny berharap, seluruh jaringan pendukung di ibu kota negara nanti harus terbangun secara terintegrasi, mulai dari fasilitas air, listrik, gas, dan telekomunikasi.
Jangan sampai, seperti sekarang, kami sudah bangun 4G di mana-mana, tetapi rasa 3G. Secara umum, problemnya itu karena tak semua network didukung fiber optik.
Dengan demikian, tak ada lagi ditemukan kabel fiber optik yang semrawut, baik di tiang maupun di bawah tanah. ”Kota itu harus sudah dibangun dan didesain smart city sehingga peran 5G bisa lebih tinggi di sana,” kata Danny.
Pemanfaatan
Ketua Forum 5G Indonesia Sigit Puspito Wigati Jarot berharap, pemerintah dan operator tak hanya fokus kepada infrastruktur, tetapi juga pemanfaatan 5G untuk menunjang ekonomi berkelanjutan. Ini penting dipikirkan agar investasi yang dikeluarkan oleh operator tidak sia-sia.
Sejauh ini, pemanfaatan 5G masih terbatas pada kebutuhan industri. Area-area terbatas tersebut membutuhkan peningkatan kapabilitas dan efisiensi.
”Jadi, use cases ini harus dikembangkan. Masih terbuka lebar. Bagaimana ini semua dibawa ke aplikasi yang real untuk kebutuhan masyarakat. Itu tantangan tersendiri,” ucap Sigit.