Rencananya RUU ini akan disahkan oleh DPR periode 2014-2019. DPR menilai setiap lembaga birokrasi sudah seharusnya memiliki lembaga pengawas, tidak terkecuali KPK.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (05/09/2019). Padahal, masih banyak pasal bermasalah yang berpotensi melemahkan praksis pemberantasan korupsi dalam draf RUU KPK tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, dalam RUU KPK akan ada sejumlah poin perubahan. Ia mengatakan, poin- poin tersebut sudah disusun sejak 2017, namun pembahasannya sempat ditunda.
"Poin pertama yaitu, KPK periode mendatang komposisinya terdiri dari lembaga pimpinan KPK, dewan pengawas KPK, dan pegawai KPK. Kemudian poin yang kedua, yaitu nantinya kinerja KPK akan diawasi oleh dewan pengawas KPK," ujarnya.
Aturan terkait pengawasan tertuang di pasal 37 RUU KPK yang berbunyi dalam rangka mengawasi tugas wewenang KPK, dibentuk dewan pengawas. Dewan pengawas yang dimaksud merupakan lembaga nonstruktural, yang anggotanya berjumlah lima orang pilihan DPR dan Presiden.
Selain itu, Arsul mengatakan, dalam melakukan penyadapan, pimpinan KPK harus meminta izin tertulis kepada dewan pengawas KPK, seperti tertuang dalam pasal 12 A dan 12 B. Dalam pasal 37 B, dewan pengawas juga bisa menolak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan dalam proses kinerja KPK.
Tidak hanya itu, ada pula beberapa poin perubahahan yang mengancam independensi KPK, seperti pasal 43 (1) yang berbunyi penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kemudian, dalam pasal 45, penyidik KPK merupakan penyidik yang diangkat dari Polri, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil.
Kemudian, dalam pasal 40 (1), KPK berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Hal ini membuat KPK terganjal untuk menyelesaikan sejumlah perkara korupsi besar yang memakan waktu lebih dari satu tahun.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Teuku Taufiqulhadi mengatakan, rencananya RUU ini akan disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Ia menjelaskan, setiap lembaga birokrasi sudah seharusnya memiliki lembaga pengawas, tidak terkecuali KPK.
"Revisi RUU KPK ini untuk menindaklanjuti pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2019 bahwa penting sekali bagi kita untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Namun, beliau mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan berarti menangkap orang sebanyak-banyaknya," ujarnya.
Melanggar aturan
Peneliti ICW, Donal Fariz, melihat materi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR berpotensi melemahkan, bahkan melumpuhkan KPK. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menjadi kunci agar pelemahan KPK tidak menjadi kenyataan.
”Presiden punya otoritas secara konstitusional untuk tidak menyetujui pembahasan revisi UU tersebut. Kalau Presiden tidak mau, tidak bisa DPR memaksakan pembahasan dan tidak mungkin pula RUU itu disahkan,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi mengatakan, DPR tidak patuh terhadap pasal 45 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan. Dalam pasal tersebut diatur, para anggota dewan tidak bisa serta merta mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR karena RUU tersebut belum masuk dalam Prolegnas 2019.
"Selain itu, kami meminta agar Presiden Joko Widodo tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR, sehingga proses pembahasan RUU KPK ini tidak bisa dilanjutkan," ucap Fajri.
Secara terpisah, Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Golkar Firman Subagyo menegaskan, tidak boleh ada pihak yang mendikte DPR dalam pembahasan RUU KPK, baik itu dari masyarakat sipil maupun dari lembaga KPK sendiri. Ia menjelaskan, seluruh fraksi juga telah setuju pembahasan RUU KPK ini.
"RUU KPK ini merupakan inisiatif dan wewenang DPR. Oleh sebab itu, tidak boleh ada yang mendikte DPR, apalagi dari kelompok yang mengatasnamakan rakyat," ucapnya.