Pengungkapan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dari tahun ke tahun naik secara signifikan. Selain karena faktor kinerja KPK, kondisi ini juga tak dapat dilepaskan dari faktor yang memantik perilaku korupsi.
Oleh
IAN/ESA/FER
·3 menit baca
Jumlah perkara yang ditangani oleh KPK meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, hal ini dinilai tidak serta merta berarti makin menjamurnya praktik korupsi tetapi lebih karena terpeliharanya jaringan yang ada selama ini.
JAKARTA, KOMPAS — Pengungkapan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dari tahun ke tahun naik secara signifikan. Selain karena faktor kinerja KPK, kondisi ini juga tidak dapat dilepaskan dari faktor yang memantik perilaku korupsi.
Beberapa pihak menilai, faktor-faktor yang menyebabkan praktik korupsi terus terjadi adalah berkelindannya sifat serakah, sistem yang lemah serta hukuman yang tidak memberi efek jera. ”Gabungan dari tiga faktor yaitu, orang serakah memanfaatkan sistem yang lemah dengan pertimbangan risiko hukum dari tindakannya lebih kecil dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang akan
didapat dari praktik korupsi itu,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Tri Sasongko di Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Sepanjang 2018, KPK telah menangani 199 perkara korupsi. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari kasus yang ditangani setahun sebelumnya, yaitu 121 perkara. Mengacu pada data KPK, modus korupsi yang paling sering ditemukan adalah suap, disusul dengan kasus pengadaan barang dan jasa serta penyalahgunaan wewenang.
Kasus terakhir, dalam pekan ini, tepatnya pada Senin (2/9) dan Rabu (3/9) lalu, KPK melakukan tiga operasi tangkap tangan terhadap dua bupati (Bupati Bengkayang, Kalimantan Barat dan Bupati Muara Enim, Sumatera Selatan) serta jajaran pimpinan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PTPN III.
Senada dengan Dadang, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menyampaikan, korupsi yang terus terjadi ini lebih disebabkan oleh faktor keserakahan, sistem yang lemah, dan hukuman yang tidak menjerakan.
Banyaknya penangkapan dan bertambahnya perkara yang ditangani KPK, lanjut dia, bukan berarti korupsi kian menjamur mengingat jaringan para pelaku korupsi ini saling terhubung. Salah satunya lewat jalur politik dan penegak hukum.
Ini karena jaringan yang sudah ada itu masih terus hidup dan dipelihara sebenarnya. Para pelaku ini menunggu kesempatan, saat mulai lengah maka korupsi itu terjadi. Penanganannya sudah masif, tapi mereka ini bukan tidak jera, melainkan bisa mengatasi liku-likunya melalui administrasi sampai landasan hukum yang memudahkan langkah mereka nantinya.
Terkait permasalahan ini, Sunyoto mengusulkan agar dilakukan perubahan model pertanggungjawaban. Pemerintah pusat, pemerintah daerah ataupun BUMN sebaiknya tidak hanya sekadar memberikan pertanggungjawaban administratif, tetapi juga pertanggungjawaban kinerja dan hasil.
”Kalau sekadar pertanggungjawaban administrasi, para pelaku korupsi ini akan mencari pembenar untuk melegitimasi apa yang dilakukannya,” kata Sunyoto.
Sementara itu, Dadang kembali menekankan pada pembangunan sistem antikorupsi di BUMN hingga sanksi tegas bagi BUMN yang direksi dan pegawainya terlibat korupsi. Untuk pemerintah daerah, trnasparansi dalam pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan badan usaha milik daerah (BUMD) serta pengawasannya perlu diperkuat.
Hal ini akan berjalan jika pemerintah pusat juga serius. Pemerintah harus memaksa agar perbaikan sistem mendesak dilakukan.
Sementara pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyoroti pentingnya keberadaan lembaga antikorupsi yang kuat. Pelemahan KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bisa berdampak pada kian merajalelanya praktik korupsi di negeri ini.
Hingga saat ini, praktik korupsi masih terus menyasar pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, hingga kebutuhan pokok masyarakat.
Pelayanan
Menyusul penangkapan tujuh orang di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, KPK telah menetapkan orang-orang tersebut-termasuk Bupati Bengkayang Suryadman Gidot- sebagai tersangka korupsi. Suryadman diduga menerima suap sebagai imbalan atau fee atas pemberian anggaran penunjukkan langsung tambahan APBD Perubahan 2019 ke Dinas PUPR senilai Rp 7,5 miliar dan Dinas pendidikan Rp 6 miliar.
Pascapenangkapan Suryadman, pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan tidak terganggu. Gubernur Kalbar Sutarmidji juga telah menunjuk Wakil Bupati Bengkayang Agustinus Naon sebagai pelaksana harian tugas bupati agar agenda pembangunan tidak terganggu.
Selain Bengkayang, Bupati Muara Enim Ahmad Yani juga sudah ditetapkan sebagai tersangka suap. Begitu pula dengan jajaran pimpinan PTPN III. Direktur Utama Dolly Pulungan dan lainnya.
Deputi Bidang Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengatakan, pihaknya masih berkonsultasi dengam biro hukum Kementerian BUMN untuk memberhentikan Dolly Pulungan.
Menurut Wahyu, pihaknya juga sudah menjalin komunikasi dengan para direksi yang ada dan jajaran komisaris untuk memastikan bahwa kegiatan operasional perusahaan tetap berjalan. ”Saat ini masih musim giling. Gula hasil giling harus bisa terjual atau terdistribusi,” katanya. (IAN/ESA/FER)