Wartawan harian ”Kompas”, Adi Prinantyo, hanya punya dua hari persiapan mewawancarai Arsene Wenger, pelatih tersohor yang saat itu melatih Arsenal. Di lapangan, Adi masih harus berbagi waktu dengan dua wartawan lainnya.
Oleh
Adi Prinantyo
·5 menit baca
Beberapa bulan sebelum Piala Dunia Afrika Selatan 2010, gaung perhelatan akbar sepak bola sejagat itu sudah mulai didengungkan. Termasuk dengan mengontrak Arsene Wenger sebagai duta Piala Dunia 2010. Wenger yang saat itu pelatih klub elite Liga Inggris, Arsenal, menjadi bagian dari tim Castrol Index, yang menganalisis performa pesepak bola menjelang perhelatan Piala Dunia.
Salah satu acara promosi Piala Dunia 2010 itu tak lain kehadiran Wenger di Kuala Lumpur pada 9 Juni 2009. Di sana, ia memimpin sesi pelatihan yang diikuti puluhan pemain muda Malaysia.
Selain itu, pelatih asal Perancis yang dijuluki ”The Professor” itu juga menyediakan waktu untuk sesi wawancara dengan jurnalis dari sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Penugasan untuk mewawancarai Wenger tergolong mendadak, hanya dua hari sebelum pelaksanaan wawancara. Setelah melakukan riset kecil-kecilan terkait pernyataan Wenger masa itu dan diskusi singkat dengan wartawan olahraga senior Kompas, Anton Sanjoyo, didapatlah angle wawancara.
Yakni, seputar bagaimana Wenger mengutamakan kualitas pemain yang ibaratnya tak memedulikan asal muasal pemain. Saat itu, muncul lontaran formula 6 + 5 dari Badan Sepak Bola Dunia (FIFA). Formula 6 + 5 berarti enam pemain domestik (Inggris) plus lima pemain asing, untuk 11 pemain yang diturunkan di lapangan.
”Rasanya Wenger pasti bersemangat kalau ditanya soal itu. Terakhir-terakhir, malah dia mengibaratkan, jika perlu, dari 18 pemain di daftar susunan pemain, tidak perlu ada pemain Inggris meski ini di Liga Inggris,” kata Mas Joy, panggilan akrab Anton Sanjoyo.
Dari Jakarta, Castrol mengundang tiga media, yakni harian Kompas yang saya wakili, Tabloid Bola dan portal media detik.com. Bola diwakili jurnalis seniornya, Sapto Haryo Rajasa, adapun detik.com menugaskan Arya Perdana. Kami bertiga berangkat bersama dari Jakarta dan setibanya di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) dijemput kru Castrol.
Belum apa-apa sudah muncul tantangan karena alokasi waktu yang disediakan hanya 15 menit untuk kami bertiga meskipun keterbatasan waktu wawancara bukanlah hal aneh bagi wartawan. Namun, sedikitnya waktu wawancara dengan Wenger sementara posisi bukan pewawancara tunggal membuat saya harus memutar otak. Bagaimana supaya pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan bisa benar-benar terlontar di hadapan Wenger.
Gugurnya kecemasan
Begitu bertemu Wenger, kecemasan akan kendala saat bertanya spontan gugur karena pribadinya yang hangat. Setelah sedikit sapaan basa-basi, seperti bertanya kabar, wawancara dengan Wenger pun dimulai. Saya memulai wawancara dengan pertanyaan cukup ”menggebrak”, yakni soal minimnya pemain Inggris di skuadnya kala itu.
”Apa betul, soal kualitas pemain di skuad Arsenal bagi Anda menjadi sangat penting sehingga urusan kebangsaan Inggris menjadi bukan yang utama lagi? Pertanyaan ini saya sampaikan karena Anda menolak konsep 6 + 5,” tanya saya.
Wenger menjawab, ”Saya tidak setuju (dengan formula itu). Steven Gerrard bermain (di Liverpool), Frank Lampard bermain (di Chelsea), mereka tergabung di klub-klub besar. Mengapa? Karena mereka bagus.” Begitu inti jawaban Wenger.
Di mata Wenger, sepak bola modern harus bersifat terbuka. Upaya meningkatkan kualitas permainan harus selalu dibangun setiap saat. Oleh sebab itu, menetapkan aturan semu seperti 6 + 5, yang tak lain proteksi terhadap pemain lokal di negara tempat kompetisi berlangsung, bukan langkah tepat.
Sepak bola membawa pesan tentang pentingnya memadukan para pemain terbaik di dunia. Oleh karena itu, definisi pemain terbaik sebaiknya tidak dibatasi oleh ihwal kewarganegaraan.
”Pemain terbaik dari berbagai penjuru dunia secara naluri ingin tampil bersama pemain berkualitas juga,” tambah pelatih yang pada musim 2003-2004 membawa ”The Gunners” tak terkalahkan dalam satu musim Liga Inggris (38 laga) sehingga dijuluki sebagai tim ”The Invincibles”. Wenger berkiprah selama 22 tahun di Arsenal, sejak 1996 hingga 2018, sebelum digantikan oleh Unai Emery.
Wenger menambahkan, pemain bermutu sekalipun bisa ”layu” sebelum berkembang. ”Jika ia bergabung dengan tim berisi pemain-pemain terbaik, dirinya akan tetap bagus atau makin bagus. Atau yang kedua, jika ia tak mau bekerja keras untuk bersama tim terbaik, ia tidak akan berkembang sesuai harapan,” ujarnya.
Saya meneruskan dengan bertanya, ”Kira-kira apa dampak buruk bagi sepak bola jika konsep 6 + 5 diterapkan?” Bagi Wenger, konsep itu bisa menghentikan persaingan antarpemain terbaik dunia untuk berlaga di klub elite. Sama artinya, lanjut dia, menolak berlangsungnya kompetisi yang sehat.
”Bagi pelatih, menyetujui konsep proteksi semacam itu sama saja mengingkari prinsip kepelatihan karena tak akan membawa sepak bola ke wajah yang lebih menawan. Jika itu terjadi, dalam tempo segera, sepak bola tak akan menarik lagi ditonton. Kalau saya mainkan pemain karena ia warga negara A, tidak ada lagi kompetisi. Itu persaingan semu sehingga tidak akan melahirkan juara yang sebenarnya,” tegas Wenger lagi.
Pernyataan-pernyataan menarik dari Wenger berbuah tulisan feature di halaman 1 Kompas edisi Kamis, 11 Juni 2009, dengan judul ”Kualitas, Kunci Menuju Level Dunia”. Plus, foto suasana coaching session tim yunior Malaysia oleh Arsene Wenger di Lapangan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, 9 Juni 2009.
Masih oleh-oleh dari Kuala Lumpur, satu tulisan lagi dihasilkan dari wawancara itu yang kemudian dimuat dalam feature Sosok di Kompas edisi Selasa, 16 Juni 2009. Artikel Sosok itu berjudul ”Arsene Wenger, Profesor Sepak Bola”. Meski wawancara bertiga itu hanya 15 menit, sudah demikian banyak informasi berharga yang diperoleh. Terima kasih, Wenger....