Keberadaan KPK tambah terancam karena DPR juga tengah menggodok RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan, nasib lembaga antirasuah itu berada di ujung tanduk. Selain masih ada nama-nama bermasalah dari 10 calon pimpinan KPK, revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat mengancam masa depan lembaga tersebut.
Rapat Paripurna DPR menyetujui usulan revisi dari Badan Legislasi DPR menjadi rancangan undang-undang (RUU) usulan DPR tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019). Bahkan, pembahasan RUU itu bakal dikebut agar bisa disahkan pekan depan.
Dalam konferensi pers di KPK, Kamis sore, Agus mengatakan, ada sembilan persoalan dalam draf RUU usulan DPR. Hal itu antara lain ancaman terhadap independensi KPK, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, serta sumber penyelidik dan penyidik dibatasi.
Selain itu, lanjutnya, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, dan kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas.
Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan juga dihilangkan serta kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dipangkas.
Agus melanjutkan, keberadaan KPK tambah terancam karena DPR juga tengah menggodok RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). ”Sifat khusus dari tindak pidana korupsi akan dicabut sehingga keberadaan KPK terancam,” ucapnya.
Menyikapi dinamika politik yang begitu kencang ini, Agus menyatakan, KPK akan menyurati Presiden Joko Widodo. Surat itu berisi permintaan kepada Presiden agar mendengar masukan ahli dan dorongan publik supaya revisi UU KPK urung dilaksanakan.
Selain itu, KPK juga akan menyertakan catatan calon pimpinan KPK bermasalah pada surat itu. Berhubung harus dilihat oleh semua komisioner, surat itu baru bisa dikirim besok pagi.
”Harapan kami, Presiden mohon lebih arif dan bijaksana mempertimbangkan suara komponen bangsa ini (untuk tidak melemahkan KPK). Mohon suara itu didengarkan,” katanya.
Dihubungi terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, menyatakan, sinyalemen revisi aturan terhadap lembaga antirasuah sudah mengemuka sejak 2010. Komisi III DPR waktu itu mulai mewacanakan revisi UU KPK. Isu tersebut tetap bergulir beberapa tahun sesudah itu. Namun, setiap kali muncul, isu revisi tersebut selalu mendapat penolakan keras dari publik.
Dia berpendapat, upaya revisi itu adalah bentuk pelemahan terhadap KPK. Mereka terganggu dengan agenda pemberantasan korupsi. ”Singkatnya, siapa pun yang punya motif melemahkan KPK, berarti dia merasa terganggu dengan agenda pemberantasan korupsi,” katanya.