Seseorang di Balik Topeng Asperger
”Sekarang kamu sudah tampak seperti idolamu, Soe Hok Gie,” pesan seorang teman yang menyebut dirinya Gie, padahal nama aslinya Sugiharto.
Aku tertawa membaca pesannya. ”Tapi aku tak mau mati misterius seperti dia,” balasku.
Selama dua hari lalu aku berusaha menepi dari keriuhan yang kuciptakan di dunia maya. Bukan tanpa sebab. Semua karena dia—yang-namanya-tak-boleh-disebut. Aku sedang tak berselera untuk menyebut namanya. Jadi, mari kita sebut saja dia sebagai si kau-tahu-siapa seperti dalam Harry Potter.
Sama sepertiku, kau-tahu-siapa juga anggota di KotaKata, sebuah grup Whatsapp yang terdiri dari teman-teman sesama pegiat literasi. Biasanya tiap akhir pekan kami akan berbagi informasi pemuatan naskah di media, baik lokal maupun nasional. Sebagai mahasiswa fakultas sastra Indonesia di sebuah kampus di Surabaya, kau-tahu-siapa termasuk anak muda yang produktif. Karyanya tersebar di berbagai media. Dia yang paling update urusan berbagi e-paper alias koran versi elektronik untuk anggota di KotaKata. Selain itu, dia juga aktif di divisi kaderisasi komunitas kepenulisan di kotanya.
Namun, sejak lama aku merasa ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Entah itu perasaanku saja atau teman-teman lain juga menyadarinya. Struktur kalimatnya sulit dipahami. Dia memiliki kebiasaan mengubah kalimat pasif menjadi aktif. Misalnya, ketika mengabari naskah si A dimuat di media X, dia akan berkata, ”Selamat, Mbak/Mas tulisanmu memuat di harian X”. Yah, pokoknya semacam itulah. Gaya bahasanya yang singkat dan kadang tanpa disertai tanda baca mengingatkanku pada karakter Fuka Eri, gadis penderita disleksia dalam 1Q84-nya Haruki Murakami.
Suatu ketika, dia terciduk menjiplak naskah resensi milik Mas Anto dan Mas Arsyad, anggota di komunitas KotaKata. Setelah didesak oleh teman-teman di grup, dia akhirnya mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Namun, yang menjadi sorotan kami adalah kau-tahu-siapa mengaku sebagai penyandang disabilitas agar dapat dimaklumi semua pihak. Autis asperger, katanya. Dalam hal ini, tepatnya dia mengalami kesulitan berkomunikasi. Apa yang terlintas di pikiran tak sinkron dengan lisan dan tulisannya. Terjawab sudah pertanyaanku atas masalah chat itu. Tapi tetap saja aku gagal paham mencari korelasi antara plagiat dan disabilitas.
Rupanya selama ini ada udang di balik bakwan atas antusiasmenya mengumpulkan e-paper. Iya, untuk disalahgunakan, di-copas sana-sini, diganti judul, dan voila! Naskah baru jiplakan itu diklaim sebagai karyanya. Bukankah sangat aneh ketika seseorang dengan bahasa chat-nya yang kacau, tetapi naskahnya justru tersusun rapi ketika dimuat di media?
Meskipun kesal, kami berusaha memaafkannya. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Kami tetap memberinya dukungan agar dia bisa bangkit lagi dengan karya yang orisinal. Namun, selang beberapa hari berjanji, Retno, temanku yang juga anggota KotaKata, mengabariku bahwa kau-tahu-siapa telah menjiplak resensinya. Bukan hanya itu, setelah ditelusuri ada delapan belas naskah resensi terduga hasil jiplakan. Agar sulit dilacak, biasanya dia menggabungkan dua naskah resensi milik orang lain, kemudian mengganti judulnya. Bukan trik yang mudah.
Aku mencoba menanyakan kebenaran informasi dari Retno kepada teman-teman di KotaKata yang menjadi korbannya. Kutulis status sindiran tentangnya di Facebook yang kemudian ramai dikomentari netizen, terutama dari teman-teman di KotaKata. Sepanjang hari itu kami menunggu iktikad baik kau-tahu-siapa untuk meminta maaf. Menjelang sore, kami menyindirnya di grup, tetapi dia tetap bungkam. Aku mulai geram dengan terang-terangan menyebut namanya.
Jika dia cukup cerdas untuk meng-copas naskah teman-temannya, kurasa dia juga tak cukup bodoh tak menyadari bahwa kami sejak tadi sedang membicarakannya. Setelah aku merepet panjang lebar, dia hanya membalas ”don\'t comment” (mungkin maksudnya no comment). Kau-tahu-siapa kemudian menghubungiku via chat pribadi, hanya untuk mengulangi dua kata itu lagi.
”Saya ini sikap tertutup. Akun FB ini steril dan tak ada publikasi resensi koran di sini. Terima kasih.”
”Tapi e-paper selalu ada. Tulisanmu terbukti plagiat.” Aku sudah kehilangan respek untuk memanggilnya njenengan, seperti yang selama ini kulakukan.
”Saya hanya menyimak. Jangan pintar melawan saya tanpa landasan tanggung jawab.” Wah, dia mulai menggertak.
”Aku juga punya bukti kuat. Bukan asal tuduh. Aku masih mengumpulkan link dan foto-foto tulisanmu yang terbukti plagiat. Ayo kita buktikan, di meja hukum pun aku gak takut.” Aku balas menggertak.
”Tidak usah panjang lebar tentang plagiasi karya saya. Sudah minta maaf kepada atasan dan tak mau terulang sepertimu.”
Kau-tahu-siapa berlanjut mengirimiku voice chat bernada mengancam. Awalnya aku tak paham dengan artikulasi suaranya yang tak jelas. Sebagai anak muda apalagi mahasiswa, ucapannya jauh dari nilai sopan santun kepadaku yang selisih sembilan tahun lebih tua darinya. Aku bisa merasakan arogansi, kemarahan, dan ketakutan dalam suaranya. Beberapa kali dia berkata, ”Saya ini punya pendidikan, tak masalah di-black list di media, masih bisa kembali ke puisi, saya ini penyair sejak SMA, meresensi hanya selingan, punya banyak teman dan dukun, awas kamu, ya, camkan baik-baik.”
Hatiku dipenuhi kombinasi amarah, takut, syok, dan kecewa. Seseorang dari kalangan terpelajar menyebut-nyebut soal klenik seperti dukun. Di mana letak intelektualitasnya? Awalnya gertakan itu cukup membuatku mengkhawatirkan keselamatanku sekeluarga. Diam-diam, aku dibantu Retno, terus mengumpulkan bukti-bukti hasil plagiatnya. Aku juga menyebarkan informasi itu secara gerilya ke beberapa teman dan grup kepenulisan lainnya agar kelak jika terjadi hal terburuk, masih ada jejak digital yang bisa dilacak.
”Sudah kubantu blow-up di Jakarta dan Jogja, Mbak. Aku juga punya kenalan di kampus itu. Perlu aku viralkan juga, Mbak? Biar dia dapat kuliah sejak dalam pikiran,” tawar Mas Rusdi, rekan sesama penulis yang karyanya kerap wara-wiri di media, tetapi lekas kutolak tawaran itu.
Mbak Suci, temanku, yang sebelumnya pernah mengungkap temuan dua puluh bukti plagiat milik Dewi Eva ke publik, berjanji akan membantuku. Namun, sebelum Mbak Suci mengungkapnya, Mbak Rosa, temanku yang lain, sudah lebih dulu menghakimi dia. Tanpa tedeng aling-aling, Mbak Rosa meluapkan kemarahan pada kau-tahu-siapa. Seketika itu juga dia terdesak, mengungkapkan permintaan maaf terbuka dalam status Facebook dan di grup KotaKata. Permintaan maaf itu memicu pro-kontra. Namun, ada satu komentar yang terkesan emosional hingga lupa bersikap obyektif. Menuding tindakanku sebagai aksi sok heroik dengan ”mengumbar aib” orang lain dan kelak hal yang sama akan berbalik padaku.
Aku tertawa ironis sekaligus merasa terusik membacanya. Benarkah aku mengumbar aib orang lain? Komentator itu hanya melihat kasus ini dari satu sisi mata uang. Ketika terjadi plagiat, lampu sorot hanya menyinari panggung si plagiator saja. Lalu, bagaimana dengan korbannya? Apa aku harus diam saja ketika melihat sebuah tindak kriminal karena terintimidasi oleh pelaku? Jika begitu konsepnya, mungkin KPK tak lagi berdaya menjerat para koruptor karena dalih ”mengumbar aib”. Oh, welcome to the Wkwkwk Land, di mana logika terbalik tumbuh subur di sini.
Aku muak melihatnya berlindung di balik alasan disabilitas untuk melegalkan plagiat. Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, dan Helen Keller juga penyandang disabilitas, tetapi mereka tidak menjadikannya sebagai tameng. Imbasnya, dia dikeluarkan dari KotaKata. Beberapa teman menyarankan agar seseorang harus segera membuat laporan ke media. Aku memang sedang menyiapkannya. Beberapa lagi ada yang mencibir. Seolah aku kehabisan hal lain untuk diurusi. Jadi, lebih baik aku keluar saja dari grup. Toh, aku bukan salah satu korbannya. Jika korbannya saja cuek, buat apa aku harus repot-repot peduli?
Sedih memang, tapi semoga ini keputusan yang terbaik. Selagi menyendiri, aku tetap mengirim laporan hasil penelusuranku ke berbagai media, mengontak Hade, dari Balai Pengurus Pusat organisasi kepenulisan tempatnya bernaung, juga bertanya pada ketua komunitas menulis Surabaya tersebut. Mereka berjanji akan memproses kasus itu. Baru sehari aku keluar dari KotaKata, admin grup kembali menyeretku ke sana. Aku memang bersedia kembali, tetapi semuanya bagiku tak lagi sama.
Kau-tahu-siapa beberapa kali masih menghubungiku sekadar meminta maaf. Aku menuntutnya untuk meminta maaf secara personal kepada para korbannya. Karena dalam permintaan maafnya tak sesuai dengan fakta. Dia bilang sudah meminta maaf kepada mereka. Sementara dari pengakuan para korban, sejauh ini dia belum melakukannya. Kepadaku, dia mengaku tengah menjalani rehabilitasi, bersedia mengembalikan honor atas karya plagiatnya yang dimuat di media, dan menonaktifkan akun Facebook-nya selama setahun sebagai hukuman dari komunitas menulisnya. Namun, faktanya, dia tetap eksis di media sosial dengan akunnya yang lain dan tanpa malu melakukan pencitraan.
Pernah lihat dandelion tertiup angin hingga hanya tersisa tangkainya? Begitulah gambaran perasaanku. Semua yang kuupayakan rasanya seperti menguap begitu saja. Mungkin terlalu naif, tetapi aku merasa seperti pecundang. Sempat terlintas di benakku untuk membentuk komunitas antiplagiat berbadan hukum resmi, juga inovasi berbasis teknologi canggih yang mampu menjerat plagiator ke jeruji besi. Sehingga kelak mereka yang berniat mencuri buah pikiran orang lain akan berpikir sejuta kali.
Agaknya, mimpiku jadi pahlawan kesiangan jauh panggang dari api. Ketidakberdayaanku saat ini mengingatkanku pada ucapan Gie dalam Catatan Seorang Demonstran, ”Akhir-akhir ini saya selalu berpikir apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.” Andai dia masih hidup, mungkin aku akan menepuk bahunya dan duduk di sisinya seraya bilang, ”Kau tidak sendirian.”
_________________________________
Arinhi Nursecha, kelahiran Cikarang, 19 Juni 1988. Pegiat literasi asal Cikarang Utara, Bekasi. Beberapa tulisannya, terutama ulasan buku, cerpen, dan puisi telah tersebar di berbagai media.