Tingkat inklusi keuangan di Indonesia saat ini diperkirakan 51 persen. Pencapaian ini salah satunya diukur dari rasio masyarakat yang mudah mengakses layanan perbankan dan teknologi finansial.
Oleh
mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat inklusi keuangan di Indonesia saat ini diperkirakan 51 persen. Pencapaian ini salah satunya diukur dari rasio masyarakat yang mudah mengakses layanan perbankan dan teknologi finansial terhadap jumlah penduduk.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, saat menghadiri acara Indonesia Fintech Forum 2019, Rabu (4/9/2019), di Jakarta, mengatakan, pada tahun-tahun sebelumnya, tingkat inklusi keuangan masih di bawah 40 persen. Dengan pencapaian di atas 50 persen seperti saat ini, dia menekankan, hal paling penting berikutnya adalah memajukan bisnis pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pelaku UMKM dapat menjangkau pangsa pasar lebih luas, misalnya melalui platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang dan mendapat suntikan dana dari investor besar.
”Inklusi keuangan baru menyambungkan mereka, seperti UMKM, ke rekening bank dan layanan perusahaan rintisan teknologi finansial. Mereka dulunya belum terpapar akses ke lembaga keuangan,” ujar Perry, yang juga menjabat Ketua Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (Kafegama) periode 2018-2021.
Kafegama adalah penyelenggara Indonesia Fintech Forum 2019, yang diisi seminar, pameran produk teknologi finansial, dan kompetisi pengajuan ide usaha rintisan tekfin.
Perry menambahkan, tingkat inklusi keuangan di Indonesia bisa terus membaik tahun ini. Faktor pendorong yang tidak boleh dilupakan adalah bantuan sosial nontunai pemerintah.
Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institut dan Keuangan Digital, Sukarela Batunanggar, memaparkan, pihaknya mendorong pelaku usaha rintisan berbasis tekfin berkolaborasi dengan industri perbankan dan nonperbankan. Kolaborasi dapat berupa akuisisi, kemitraan, dan pendirian pusat inovasi.
”Kebutuhan pembiayaan di Indonesia 165 miliar dollar AS. Artinya, bank, lembaga jasa keuangan nonbank, dan perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi punya peluang besar menggarap kebutuhan itu,” katanya.
CEO Modalku Reynold Wijaya menyebutkan, sejak 2016 sampai sekarang, Modalku mendistribusikan pinjaman sekitar Rp 5 triliun kepada pelaku UMKM di Indonesia. Dia menargetkan, sampai dengan akhir tahun ini, Modalku menyalurkan pinjaman Rp 6,5 triliun-Rp 7 triliun. Modalku akan memperluas kolaborasi dan kategori produk agar target tercapai.
Sejauh ini, Modalku bekerja sama dengan laman pemasaran khusus hasil pertanian TaniHub dan Tokopedia.
Terkait kategori produk, Reynold menambahkan, perusahaan telah meluncurkan kategori produk Modal Pasar. Modal Pasar merupakan layanan pinjaman bagi pedagang pasar dengan kredit yang bisa diambil hingga Rp 25 juta tanpa agunan dan tenor singkat.
Menurut dia, pasar tradisional berperan penting dalam perekonomian nasional. Mengutip data Badan Pusat Statistik pada akhir 2018, ada sekitar 14.000 pasar tradisional di Indonesia. Pedagang pasar tradisional berpotensi berkembang.
Co-Founder dan President TaniHub Pamitra Wineka menceritakan, TaniHub bermitra dengan sekitar 840 kelompok petani yang sebagian besar berdomisili di Jawa. Kelompok petani ini beranggotakan 35.000 orang. Melalui platform TaniHub, petani bisa memasarkan langsung hasil panen ke industri makanan minuman.
”Kami membantu mereka membuka rekening bank karena ada sebagian besar anggota kelompok petani yang tidak punya rekening. Kami juga mempertemukan kelompok petani dengan bank yang mempunyai kredit pertanian,” tuturnya.
Pamitra menuturkan, tidak semua petani mudah memperoleh kredit modal kerja karena terkendala persyaratan agunan. Oleh karena itu, TaniHub memutuskan mengembangkan TaniFund, platform pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi bagi petani yang telah menjadi anggota TaniHub.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, layanan tekfin dan ekonomi digital adalah masa depan. Di tengah gejolak perekonomian global, ekonomi digital berkembang pesat dan menyentuh seluruh sektor.
Mengutip berbagai survei internasional, dia menyebutkan, ekonomi digital berkontribusi sekitar 22 persen terhadap total pendapatan ekonomi dunia pada 2016. Secara khusus, di Asia Tenggara, ekonomi digital menyumbang sekitar 2,8 persen terhadap produk domestik bruto pada 2018. Meski demikian, Darmin meyakini, kontribusi ekonomi digital di Indonesia belum sebesar angka global.
Kontribusi ekonomi yang digerakkan internet paling besar berasal dari e-dagang, jasa kebutuhan perjalanan daring, media daring, dan angkutan umum berbasis aplikasi. (MED)