Bertahan Hidup Berkubang Limbah
Hidup di kota dengan layanan publik jauh dari memadai kadang memaksa warga beradaptasi dengan kondisi di luar nalar. Hal ini termasuk hidup di tengah hamparan sampah.
Tidak ada gapura penanda permukiman bernama Kampung Bengek di RW 017 Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Yang ada hanyalah jalan-jalan setapak yang becek oleh air berwarna hitam.
Di salah satu akses masuk terdapat tempat pengumpulan sampah anorganik layak jual yang dikelola Joko Purwanto. Pemulung berusia 65 tahun itu menghentikan pembersihan gelas plastik saat disambangi, Senin (2/9/2019). Ia menjadi ”pemandu tur” para awak media yang penasaran dengan kehidupan di Kampung Bengek.
Melewati celah di antara tembok beton setinggi 3 meter tampak pemandangan yang membuat hati berkata, ”Belum ke permukiman kumuh Jakarta jika belum ke Kampung Bengek.”
Sebagian rumah warga berdampingan dengan hamparan sampah. Sebagian lagi berupa rumah panggung di atas tumpukan sampah. Sampah rata-rata berbahan plastik. Ada pula kardus dan styrofoam. Papan kayu bekas, tripleks usang, dan tiang kayu disulap menjadi rumah-rumah warga.
Joko berkisah, lahan yang ditempati kampung ini dahulu berupa empang-empang. Lalu, sampah lama-kelamaan masuk sampai empang memadat. Orang yang ingin membangun rumah tinggal mematok batas di empang dengan kayu-kayu pancang. Sampah bisa berasal dari mana saja, baik dari warga sekitar, sisa aktivitas pemulung, maupun dari pihak lain.
Tidak ada pengorganisasian masyarakat di Kampung Bengek. Masuk ke sana layaknya menembus labirin dengan gang selebar sekitar 1 meter. Tak terbayangkan jika terjadi kebakaran.
Lalat di mana-mana, aroma mirip kandang ayam lekat setiap waktu. Kondisi itu sudah berjalan selama 3-5 tahun.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang terusik saat kisah Kampung Bengek dibicarakan publik lalu mengirim petugas sejak Sabtu (31/8) untuk mengangkut sampah di sana. Hingga kini sudah 160 meter kubik sampah diangkat untuk selanjutnya dibawa ke Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara Slamet Riyadi mengatakan, pihaknya baru menggarap sampah di sana karena lahan Kampung Bengek milik PT Pelabuhan Indonesia II (IPC) Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa. Sesuai aturan, pemilik bertanggung jawab atas apa yang terjadi di lahannya.
Warga Kampung Bengek, menurut data IPC Cabang Sunda Kelapa, berjumlah 180 keluarga dan kampung itu merupakan permukiman ilegal.
Salah seorang warga Kampung Bengek, Sarwana (60), mengatakan, ia dan istri serta seorang cucunya tinggal di sana karena ia menganggur. Sarwana tak mampu menyewa rumah. Bisa menumpang gratis di sana sudah lebih dari cukup.
Karena tidak ada layanan pengangkutan sampah bagi warga Kampung Bengek, banyak warga yang membakar sampahnya di sana. Sarwana dan keluarga lain pun merasa tidak ”bengek” walau tinggal di Kampung Bengek.
Sungai sampah
Krisis sampah perkotaan juga menimpa tetangga Jakarta. Pina (55), misalnya, sibuk mengusir lalat sembari melayani pelanggan di warung kecilnya di bantaran Kali Jambe, Desa Mangunjaya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jabar. ”Ini lalat dari Kali Jambe. Di belakang itu, kan, penuh sampah,” katanya.
Kali Jambe merupakan anak Sungai Cikarang Bekasi Laut yang bermuara di Laut Jawa. Badan kali yang dipenuhi sampah berada di Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, dan Desa Karangsatria, Kecamatan Tambun Utara. Sejak tiga bulan lalu, sampah Kali Jambe menumpuk dan menutupi aliran kali sepanjang 300 meter.
Kondisi serupa sudah berulang kali terjadi. Penyumbang sampah terbesar adalah dari tempat pembuangan sementara (TPS) liar di kedua kelurahan, pabrik di dekat sungai, dan andil warga setempat.
Satori (85), pemilik lahan TPS liar RT 003 RW 004 Kelurahan Karangsatria, mengatakan, sampah yang ada di lahannya berasal dari 18 RT di Desa Karangsatria. Sampah, menurut dia, juga berasal dari perumahan cukup bagus di sana. Sembilan anak Satori mengangkut sampah dengan bayaran Rp 300.000 per bulan untuk setiap RT.
Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto mengatakan, dampak pembuangan sampah di daerah aliran sungai dikhawatirkan menurunkan kualitas air tanah dan mengancam biota air.
Bagong menduga masalah- masalah ini terus muncul karena tak semua kawasan urban tersentuh layanan kebersihan. ”Data tingkat pelayanan berkisar 45-48 persen dari 2.200 ton per hari produksi sampah Kabupaten Bekasi sudah tertangani itu perlu dipertanyakan,” ujarnya.