Melanjutkan strategi tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan surat berharga negara ritel pada 2020. Surat berharga yang akan diterbitkan setidaknya sepuluh kali pada tahun depan itu membidik generasi milenial.
Oleh
Karina Isna Irawan/Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melanjutkan strategi tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan surat berharga negara ritel pada 2020. Surat berharga yang akan diterbitkan setidaknya sepuluh kali pada tahun depan itu membidik generasi milenial.
Generasi yang saat ini berumur 19-39 tahun itu disasar untuk memperluas basis investor domestik. Untuk menjaring kelompok ini, pemasaran secara dalam jaringan akan diperluas.
Saat ini, porsi investor dari generasi milenial berkisar 51-52 persen dalam setiap penerbitan surat berharga negara (SBN) ritel.
”Minimum pemesanan SBN ritel Rp 1 juta agar terjangkau generasi milenial. Persepsi investasi SBN yang mahal dan hanya untuk segelintir orang berupaya diubah,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman di sela-sela penerbitan SBN ritel seri SBR008 di Jakarta, Kamis (5/9/2019).
SBR008 yang memiliki imbal hasil minimal 7,2 persen ini ditawarkan pada 5-19 September 2019. Target pemesanannya Rp 2 triliun.
Pada 2019, pemerintah menerbitkan SBN sebanyak sepuluh kali, yang terdiri dari savings bond ritel (SBR), sukuk tabungan (ST), sukuk ritel (Sukri), dan obligasi ritel Indonesia (ORI). Realisasi penerbitan SBN ritel per Agustus 2019 sebesar Rp 38,3 triliun, sedangkan targetnya Rp 60 triliun-Rp 80 triliiun.
Likuiditas
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, secara teori, penerbitan SBN akan memicu perebutan dana masyarakat antara pemerintah dan swasta. Untuk itu, penerbitan SBN harus dibarengi kebijakan moneter yang ekspansif untuk menghindari risiko pengetatan likuiditas.
”Ketat atau tidaknya likuiditas lebih dipengaruhi kebijakan moneter, bukan kebijakan fiskal,” kata Piter.
Dana masyarakat yang terserap dalam penerbitan SBN akan masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia, tetapi hanya sementara. Pemerintah akan melaksanakan belanja rutin dan nonrutin sehingga likuditas kembali masuk ke perbankan.
”Jadi, walaupun pemerintah menerbitkan SBN cukup besar, hal itu tidak akan berdampak pengetatan likuiditas selama kebijakan moneter masih bersifat ekspansif,” kata Piter.
Menurut Piter, pemerintah tetap perlu menerbitkan SBN untuk menutupi defisit APBN. Dalam Rancangan APBN 2020, defisit ditargetkan Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto.
Pemerintah tetap perlu menerbitkan SBN untuk menutupi defisit APBN.
Head Retail Capital Market Bahana Sekuritas Inca Aditya berpendapat, SBN ritel yang pajaknya sekarang 15 persen lebih menarik daripada deposito yang pajaknya 20 persen. Selain itu, pencairan SBN ritel dapat dilakukan satu tahun sebelum jatuh tempo.