Dua kali berkunjung ke Pakistan, selalu muncul hal-hal menarik. Tak hanya soal bagaimana masyarakat Pakistan bergaul dan berpenampilan, tetapi juga bagaimana ibu kota negeri tersebut menata diri.
Sebagian besar jalan di kota-kota di Pakistan, umumnya, tidak terlalu lebar. Banyak lorong sempit yang ramai dengan sepeda motor dan mobil-mobil keluaran tahun lama serta bus-bus kota tanpa pintu dan orang berjalan lalu lalang dan menyeberang tanpa terduga. Pemandangan khas kota yang semrawut. Hal itu yang terlihat di kota-kota tua, seperti Lahore, Sargodha, Rawalpindi, dan Karachi.
Karachi—dulu ibu kota Pakistan setelah merdeka pada Agustus 1947—merupakan kota kuno di ujung selatan. Sebuah kota pelabuhan yang penuh kapal yang sibuk lepas dan pasang jangkar. Pada 1959, kota itu dinilai tidak layak lagi menjadi ibu kota. Selain karena posisinya dipandang tidak strategis, kurang air bersih, dan dikelilingi gurun, situasi Karachi yang makin kumuh dan kekurangan lahan hijau juga dianggap kurang bagus sebagai ibu kota.
Presiden Pakistan kala itu, Muhammad Ayub Khan, pun memindahkan ibu kota ke Islamabad. Sejak 1959-1960 itulah ibu kota Pakistan dipindahkan ke Islamabad.
Tidak seperti kota-kota lain, Islamabad benar-benar kota baru yang sangat berbeda.
Tidak seperti kota-kota lain, Islamabad benar-benar kota baru yang sangat berbeda. Bahkan, kota sibuk Rawalpindi, sekitar 10 kilometer selatan Islamabad tempat markas militer Pakistan, terlihat tertinggal sangat jauh.
Dari nol
Islamabad dirancang oleh arsitek asal Yunani, Constantinos Apostolou Doxiadis (1913-1975). Kota itu dibangun dari nol. Dua jalan utama di tengah kota, yakni Kashmir Highway dan Islamabad Expressway, sangat lebar dan panjang. Di kiri-kanan jalan berdiri gedung-gedung megah. Di malam hari, lampu-lampu berkilauan menerangi kegelapan.
Jalanan tetap ramai dan terkadang macet, tetapi tidak semrawut. Jika kita membuka Google Map, Islamabad dari atas tampak terbagi dalam blok-blok yang sangat tertata. Terlihat seperti blok-blok di kota Barcelona, Spanyol. Doxiadis membagi Islamabad ke dalam delapan zona, yaitu zona administratif, kompleks diplomatik, area perumahan, sektor pendidikan, sektor industri, area komersial, area pinggiran, dan area hijau.
Dengan jumlah populasi 1,015 juta jiwa (PBB, 2017), Islamabad tak sepadat Rawalpindi yang berpenduduk 4 juta orang. Keindahan Islamabad bertambah dengan keberadaan Masjid Faisal yang berdiri megah di sisi barat laut ibu kota. Masjid berarsitektur kontemporer yang desainnya terinspirasi tenda Badui berwarna putih ini mempercantik kota. Tak ketinggalan juga Monumen Pakistan, landmark nasional yang didedikasikan untuk persatuan nasional, dengan bentuknya yang unik seperti kelopak-kelopak bunga bermekaran.
Ada juga Lok Virsa Museum, yang berisi sejarah Pakistan dan tampilan budaya negara-negara sekitar Pakistan. Untuk memanjakan mata, penduduk kota atau pengunjung Islamabad bisa berpiknik ke Daman-e-koh di belakang Masjid Faisal.
Selain itu, ada Margalla Hill, sebuah gunung penuh pepohonan, dilengkapi air terjun dan rute trekking. Di Danau Rawal, warga bisa berpiknik, bersampan, dan memancing. Islamabad dirancang untuk standar kehidupan yang tinggi dan keamanan yang baik, dengan keindahan alam yang menghijau.
Ketika sebuah negeri berbenah diri, merancang dan membangun kota baru merupakan salah satu pilihan. Islamabad menjadi kebanggaan warga Pakistan. Sebuah kota yang mengingatkan pada kota-kota di Eropa.