Keraguan akan ”Wajah Baru” KPK
Sepuluh nama calon pimpinan KPK yang akan menentukan ”wajah” baru lembaga antikorupsi itu selama empat tahun mendatang telah disampaikan kepada DPR untuk dipilih melalui uji kelayakan.
Sepuluh nama calon pimpinan KPK yang akan menentukan ”wajah” baru lembaga antikorupsi itu selama empat tahun mendatang telah disampaikan kepada DPR untuk dipilih melalui uji kelayakan.
Presiden Joko Widodo telah menyerahkan 10 nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ke DPR, Rabu (4/9/2019). Nama-nama itu tidak berbeda dengan 10 nama yang telah diserahkan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK kepada Presiden dua hari sebelumnya.
Sikap Presiden ini menuai pertanyaan publik karena sejumlah catatan telah disampaikan masyarakat sipil dan KPK mengenai adanya kandidat yang diduga belum menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau diduga melakukan pelanggaran etik. Masyarakat sipil pun berharap Presiden berhati-hati dalam menentukan pilihannya karena hal ini berkaitan dengan ”wajah” KPK empat tahun berikutnya.
Nada keraguan dan ketidakpercayaan publik atas mekanisme pemilihan capim KPK itu menguat ketika hampir pada saat bersamaan DPR mengagendakan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Revisi UU KPK itu memantik kontroversi karena dipandang sebagai bagian dari pelemahan sistematis terhadap antikorupsi (Kompas, 5/9/2019).
Sejumlah poin dibahas dalam revisi itu, antara lain mengenai posisi KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, peningkatan kinerja pencegahan KPK, KPK menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, pembentukan Dewan Pengawas KPK, penyadapan KPK yang harus meminta izin Dewan Pengawas, serta pengaturan bagi KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara jika tak selesai dalam jangka waktu setahun.
Dalam acara Satu Meja: The Forum di Kompas TV yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (4/9/2019) malam, seleksi capim KPK itu dibahas bersama sejumlah narasumber.
Mereka ialah mantan Ketua KPK Bibit Samad Rianto, Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho, anggota Pansel Capim KPK Al Araf, anggota Komisi III Nasir Djamil, budayawan Radhar Panca Dahana, dan anggota Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana.
Yanuar membantah bahwa Presiden berniat melemahkan KPK. Bahkan, Presiden selama ini menunjukkan komitmen melalui sejumlah kebijakannya untuk menguatkan KPK. Presiden pun tidak menyetujui sejumlah regulasi yang bernuansa ”melemahkan” KPK, termasuk aturan yang menurunkan hukuman koruptor dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ataupun revisi UU KPK.
Nama-nama capim KPK yang diserahkan kepada DPR pun telah melalui penelusuran dan pemeriksaan oleh Presiden.
Dari sisi masyarakat sipil, Kurnia berharap narasi untuk memperkuat KPK itu konsisten dijalankan Presiden. Dalam seleksi capim KPK, hal itu dinilai belum sepenuhnya ditunjukkan. Kurnia mencontohkan cepatnya penyerahan nama-nama capim KPK kepada DPR, yakni dua hari seusai Presiden menerima nama-nama itu dari pansel. Padahal, Presiden memiliki waktu 14 hari sebelum menyerahkan nama-nama tersebut kepada DPR.
Terkait nama-nama itu, Al Araf menjelaskan, ke-10 nama tersebut telah melalui seleksi administrasi, uji kompetensi, psikotes, profile assessment, dan uji publik.
Mereka ini, kan, membawahkan penyidik dan penuntut sehingga tentu akan baik kalau mereka yang menjadi pimpinan adalah penegak hukum.
Nasir mengatakan, pihaknya memiliki waktu tiga bulan untuk mengadakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) kepada capim KPK. DPR akan mengukur kompetensi dan integritas para capim.
Namun, ia mengakui secara pribadi lebih sepakat jika mereka yang duduk sebagai pimpinan KPK ialah orang yang memiliki latar belakang aparat penegak hukum. ”Sebab, mereka ini, kan, membawahkan penyidik dan penuntut sehingga tentu akan baik kalau mereka yang menjadi pimpinan adalah penegak hukum,” ujar Nasir.
Padahal, menurut Bibit, justru aparat penegak hukum seharusnya menjadi sasaran utama KPK. Selama ini, korupsi justru banyak terjadi di kalangan aparat penegak hukum sehingga KPK sudah seharusnya memberikan perhatian utama untuk membersihkan aparat penegak hukum.
Budaya antikorupsi
Di sisi lain, pemberantasan korupsi tidak bisa dibebankan hanya kepada KPK. Penindakan semata-mata oleh KPK tidak akan bisa menghilangkan korupsi di Tanah Air. ”Pemberantasan korupsi harus dilakukan melibatkan masyarakat secara luas. Hal itu dimulai dari lingkungannya masing-masing,” katanya.
Dari pandangan budaya, menurut Radhar, pemberantasan korupsi pun tidak harus dilakukan hanya dengan pendekatan hukum, tetapi juga memerlukan orang-orang yang mampu membangun budaya antikorupsi.
Kita punya sistem yang baik, tetapi semua sistem itu bergantung pada bagaimana operator yang mengendalikannya. Sistem itu bekerja bergantung pada orang-orang di dalamnya.
Perdebatan dalam seleksi capim KPK, menurut Radhar, menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat yang besar pada sistem atau lembaga, termasuk terhadap mekanisme seleksi. Jika seleksi capim KPK menghasilkan orang-orang yang tidak berintegritas, hal itu berpotensi menjadikan KPK serta pemberantasan korupsi yang berlangsung saat ini terjerembab dan kehilangan kepercayaan publik.
”Kita punya sistem yang baik, tetapi semua sistem itu bergantung pada bagaimana operator yang mengendalikannya. Sistem itu bekerja bergantung pada orang-orang di dalamnya,” katanya.
Kekhawatiran Radhar dan narasumber lainnya itu bisa dipahami jika kita menilik pula hasil kajian indeks negara hukum (rule of law) yang dihasilkan World Justice Project tahun 2019. Indonesia menempati posisi ke-62 dari 126. Hal ini setidaknya menjadi gambaran betapa korupsi masih menjadi musuh besar negeri ini.