Pelaksanaan Otsus Belum Optimal Jadi Faktor Konflik Papua
›
Pelaksanaan Otsus Belum...
Iklan
Pelaksanaan Otsus Belum Optimal Jadi Faktor Konflik Papua
Pemerintah juga perlu meracik formula dan pendekatan khusus agar bisa merebut hati masyarakat Papua. Masyarakat Papua harus diberi kepercayaan penuh untuk bisa membangun daerahnya.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi salah satu indikator pelaksanaan otonomi khusus belum optimal. Hal ini juga dinilai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konflik di Papua kembali bergejolak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua 2018 sebesar 60,06 persen, sedangkan untuk Provinsi Papua Barat sebesar 63,74 persen. Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi dua provinsi dengan tingkat IPM paling rendah di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam diskusi ”Mencari Solusi Permanen atas Persoalan Papua” di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Jumat (6/9/2019). Dalam diskusi itu juga hadir Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang, dan anggota DPD terpilih dari Daerah Pemilihan Papua, Yorrys Raweyai.
Selain itu, hadir pula Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun dan Budiman Tanuredjo, serta Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy. Diskusi dimoderatori Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Marcellus Hernowo.
Bambang menjelaskan, sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana sekitar Rp 115 triliun hingga tahun 2019.
”Namun, sayangnya dana otsus seperti tidak tepat sasaran karena pola komunikasi yang buruk dan kurangnya pengawasan sehingga Papua masih menjadi provinsi dengan IPM terendah di Indonesia,” katanya.
Bambang mengatakan, sejak 2009, DPR telah membentuk Tim Pengawas Otsus Papua DPR. Menurut Bambang, saat ini tim tersebut juga sedang menyiapkan rekomendasi untuk menyelesaikan konflik Papua.
”Selain itu, kami juga sudah menerima perwakilan masyarakat dan tokoh dari Nduga. Mereka ingin agar pembangunan tetap dilanjutkan, tetapi mereka meminta agar tentara yang ada di sana ditarik keluar. Saya sudah sampaikan ini kepada Komisi I DPR dan Komisi III DPR,” ucapnya.
Butuh pendekatan khusus
Sementara itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan menuturkan, selain pelaksanaan otsus, pemerintah juga perlu meracik formula dan pendekatan khusus agar bisa merebut hati masyarakat Papua. Menurut dia, masyarakat di sana harus diberi kepercayaan penuh untuk bisa membangun daerahnya.
”Pemerintah bisa saja membangun jalan dan infrastruktur di sana, tetapi dalam hati masyarakat di sana tetap ada keinginan untuk merdeka. Oleh sebab itu, berikanlah kepercayaan penuh bagi para kepala suku atau tokoh-tokoh di sana agar mereka bisa membangun daerahnya,” ucapnya.
Zulkifli menambahkan, perilaku para birokrat dan aparat penegak hukum harus memiliki perasaan khusus untuk menyikapi konflik di Papua. Ia mengatakan, perlu ada rencana jangka pendek yang disusun pemerintah untuk menyikapi konflik di Papua.
Yorrys menjelaskan, pelaksanaan otsus dirasa belum maksimal karena minimnya regulasi yang mengatur kebijakan tersebut sejak tahun 2002. Menurut dia, Presiden Joko Widodo telah mengupayakan yang terbaik untuk pemerataan infrastruktur di Papua, tetapi tidak diimbangi dengan pelaksanaan otsus yang optimal.
”Seharusnya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pemerintah daerah bisa menerbitkan sejumlah peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (perdasi), tetapi terhambat karena regulasi dari pemerintah pusat,” ucapnya.
Oesman mengatakan, pemerintah harus bisa menyentuh hati masyarakat Papua untuk meredam konflik yang ada di sana. Menurut dia, 90 persen masyarakat Papua telah memilih Jokowi dalam Pilpres 2019 sehingga Jokowi seharusnya bisa menentukan langkah yang tepat untuk merebut hati masyarakat Papua.
Sebelumnya, peneliti senior CSIS, J Kristiadi, mengatakan, orang asli Papua (OAP) sebenarnya memiliki harapan untuk bisa membangun sendiri tanah Papua karena ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun, silang sengkarut regulasi yang mengatur pelaksanaan otsus mengakibatkan pembangunan daerah seakan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.
”Selama ini jumlah total dana yang digelontorkan mencapai triliunan rupiah, tetapi hasilnya nyaris tidak membekas bagi masyarakat Papua,” ucapnya.