Hingga Juni 2019, KPK telah menetapkan 255 anggota DPR/DPRD, 6 unsur pimpinan partai politik, serta 27 kepala lembaga atau kementerian sebagai tersangka korupsi.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan DPR merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK ditengarai karena banyak pihak yang tidak senang dengan tindak tanduk KPK selama ini. Kehadiran KPK yang independen telah mengusik kenyamanan koruptor.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam diskusi bertajuk ”KPK adalah Koentji”, di Jakarta, Sabtu (7/9/2019), mengatakan, terjadi pergeseran perspektif dari anggota DPR jika dibandingkan dengan anggota DPR saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan tahun 2002.
Saat itu, DPR berpandangan, KPK dibutuhkan karena lemahnya pemberantasan korupsi oleh dua institusi penegak hukum, yaitu kejaksaan dan kepolisian. Oleh karena itu, KPK dibentuk dan diberi kewenangan yang lebih kuat agar bisa maksimal dalam memberantas korupsi.
Namun, setelah KPK menjalankan tugasnya memberantas korupsi dengan baik, DPR periode 2014-2019 justru ingin mengubah KPK menjadi lembaga yang biasa saja atau setara dengan institusi penegak hukum lain.
Perubahan paradigma tersebut setidaknya terlihat dari Pasal 3 Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK.
Pasal 3 RUU KPK menyebutkan, KPK merupakan lembaga pemerintah pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen.
Ini mengubah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau biasa disebut UU KPK yang menyebutkan, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun.
Fickar berpendapat, perubahan paradigma itu tidak lepas dari kinerja KPK yang getol memberantas korupsi. ”Dan ndilalah ’korbannya’ ada ratusan dari DPR/DPRD, pimpinan partai politik, dan menteri,” katanya.
Hingga Juni 2019, KPK telah menetapkan 255 anggota DPR/DPRD, 6 unsur pimpinan partai politik, serta 27 kepala lembaga atau kementerian sebagai tersangka korupsi. ”Ini membuat banyak orang secara psikologis keberatan terhadap kehadiran KPK yang independen,” katanya.
Selain Abdul Fickar Hadjar, dalam diskusi itu hadir pula anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan; anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil; peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana; dan Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad.
Samad pun menilai keliru jika KPK ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif. Tugas pokok dan fungsi lembaga antirasuah itu akan tumpang tindih dengan kejaksaan dan kepolisian. Jika merujuk pada lembaga antikorupsi di dunia, tidak ada satu pun yang statusnya bagian dari kekuasaan, semuanya independen.
”Kalau memang ingin dijadikan juga sebagai bagian dari eksekutif, lebih baik tak perlu ada KPK, dong!” katanya.
Dia juga menyoroti rencana dibentuknya Dewan Pengawas KPK melalui revisi UU KPK tersebut. ”Ini makhluk apa ini? Jangan-jangan ini makhluk yang turun dari luar angkasa,” katanya bercanda.
Menurut dia, keberadaan Dewan Pengawas itu tidak dibutuhkan. Sebab, sudah ada sistem di internal KPK yang bisa mencegah pimpinan KPK menyalahgunakan kekuasaan. Ditambah lagi, antarpimpinan KPK saling mengontrol supaya tak menyalahi kewenangan yang ada.
”Walaupun posisi saya sebagai ketua KPK, saya bisa diperika oleh pengawas internal yang statusnya cuma setingkat direktorat,” kata Samad menceritakan pengalamannya sewaktu masih memimpin KPK.
Dengan banyaknya materi revisi yang bisa melemahkan KPK, Kurnia Ramadhana berharap DPR mengurungkan niatnya merevisi UU KPK. Dia juga berharap Presiden Joko Widodo menolak revisi tersebut.
”Kami harapkan Presiden Jokowi tidak mendukung RUU KPK karena sudah banyak tokoh publik bersuara. Sikap Presiden ketika proses seleksi calon pimpinan KPK yang tidak mendengar suara publik harapannya tidak berulang,” kata Kurnia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memuluskan begitu saja sepuluh calon pimpinan (capim) KPK hasil pemilihan Panitia Seleksi Capim KPK ke DPR. Padahal, masyarakat sipil meminta Presiden tidak menyodorkan nama-nama capim yang rekam jejaknya disebut bermasalah dan integritasnya diragukan.
DPR bergeming
Meski menuai penolakan dari berbagai kalangan, seperti akademisi, kelompok masyarakat sipil, mantan pimpinan KPK, dan KPK, DPR bergeming.
Atas pertimbangan UU KPK sudah berusia 17 tahun, Nasir Djamil menyatakan, sudah waktunya UU tersebut direvisi. Ia pun meminta publik tidak terjebak dalam pandangan hitam-putih atas revisi ini.
Nasir menilai dirinya berada di tengah dalam polemik terkait revisi UU KPK ini, yaitu tidak ingin KPK terlalu kuat, tetapi tidak ingin pula KPK dilemahkan.
Sementara Arteria menyebut, sejumlah poin revisi UU KPK ini justru berasal dari KPK saat rapat dengan DPR pada November 2015. Sebagai contoh, perlunya Dewan Pengawas KPK dan perlunya KPK diberi kewenangan untuk menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).
”Semua yang diinginkan KPK sudah direspons secara cermat, khidmat, dan prosedural, melalui mekanisme kelembagaan di DPR,” katanya.