Ujian sejarah bagi kita. Itulah yang pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib. Setelah 15 tahun berlalu, ujian itu ternyata belum juga tuntas dikerjakan.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
Ujian sejarah bagi kita. Itulah yang pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib. Setelah 15 tahun berlalu, ujian itu ternyata belum juga tuntas dikerjakan.
Pegiat gerakan hak asasi manusia Munir meninggal akibat diracun ketika dalam perjalanan dengan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Sejumlah usaha telah ditempuh untuk mengungkap kasus itu, tetapi belum membuahkan hasil yang optimal dan memuaskan semua pihak.
Salah satu usaha yang dilakukan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengungkap kasus Munir adalah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir pada Desember 2004. TPF yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 ini ditengarai sudah melaporkan hasil kerja mereka kepada pemerintah. Negara semestinya membuka hasil kerja TPF itu kepada publik.
Kondisi tersebut yang membuat pada 2016 Koalisi Keadilan untuk Munir mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) guna meminta negara membuka hasil TPF. Namun, pemerintah menyatakan dokumen itu tidak dikuasai lagi oleh pemerintah. Padahal, dokumen tersebut diyakini menjadi salah satu kunci pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Dokumen itu, diduga, antara lain memuat informasi mengenai pihak-pihak yang diduga terlibat dan rekomendasi TPF untuk menuntaskan kasus itu.
”Upaya pemerintah untuk mengungkap kasus Munir sebenarnya sederhana saja, yakni dengan membuka kepada publik laporan TPF kasus Munir. Dengan membuka laporan itu, selanjutnya pemerintah, dalam hal ini Presiden, bisa meminta penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan itu dan membawanya ke ranah hukum,” tutur Yati Andriyani, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat (6/9/2019), di Jakarta.
KIP telah menyatakan dokumen itu terbuka untuk publik. Namun, pemerintah menggugat putusan KIP itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN kemudian memutuskan dokumen itu tidak bisa dibuka kepada publik. Putusan ini dikuatkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Menurut Yati, putusan PTUN dan MA didasari oleh fakta bahwa dokumen laporan TPF Kasus Meninggalnya Munir tidak ada di tangan pemerintah sehingga tidak bisa dibuka.
Terlepas dari polemik mengenai keberadaan dokumen laporan TPF, kasus Munir menjadi bagian dari dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berdimensi politis, yang sampai saat ini belum dituntaskan oleh negara.
”Penuntasan kasus Munir terutama bukan soal penghukuman kepada mereka yang bersalah, tetapi tentang mencegah agar hal serupa tidak terulang kepada orang lain dan bagaimana kita belajar dari peristiwa ini,” ucap Yeti.
Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar mencatat tiga poin refleksi dari belum tuntasnya pengungkapan kasus Munir. Pertama, negara belum menuntaskan pelanggaran HAM. Kedua, negara belum memperjuangkan keadilan dan pemulihan bagi korban. Ketiga, pembiaran kasus Munir berarti juga bagian dari pembusukan demokrasi.
Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berharap Presiden Joko Widodo tidak kehilangan inisiatif untuk menuntaskan kasus Munir. Pengungkapan kasus Munir akan menjadi titik tolak berikutnya dalam menuntaskan dugaan kasus pelanggaran HAM lainnya.
”Presiden mesti mengambil kepemimpinan dalam penuntasan dugaan kasus pelanggaran HAM. Jangan sampai kasus Munir memperpanjang rangkaian impunitas dalam pelanggaran HAM,” ujar Wahyudi.
Peran Presiden
Komisioner Komisi Nasional HAM, Choirul Anam, menuturkan, ada sejumlah langkah konkret yang dapat diambil Presiden untuk menuntaskan kasus Munir. Langkah tersebut misalnya dengan membuat tim khusus guna menindaklanjuti temuan-temuan dalam upaya pengungkapan kasus itu yang selama ini telah dilakukan.
”Tim ini sangat diperlukan. Pertama, karena pembunuhan Munir ditengarai merupakan tindakan konspiratif hingga membutuhkan kehadiran negara secara optimal. Kedua, kasus ini membutuhkan konsolidasi di semua lini, termasuk kejaksaan dan kepolisian serta kalangan masyarakat sipil. Konsolidasi itu hanya mungkin terjadi jika Presiden mengambil langkah pembuatan tim itu,” kata Anam.
Semoga harapan bahwa kasus Munir akhirnya akan terungkap sampai tuntas terus menyala. Pasalnya, harapan itu berarti tekad untuk terus menyelesaikan ujian sejarah kita....