Masalah Papua, Uskup Mandagi Ingin Bertemu Presiden
›
Masalah Papua, Uskup Mandagi...
Iklan
Masalah Papua, Uskup Mandagi Ingin Bertemu Presiden
Uskup Diosis Amboina, Maluku, yang juga Administrator Apostolik Keuskupan Merauke, Papua, Mgr PC Mandagi MSC menyatakan keinginannya bertemu Presiden Joko Widodo.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·2 menit baca
AMBON, KOMPAS — Uskup Diosis Amboina, Maluku, yang juga Administrator Apostolik Keuskupan Merauke, Papua, Mgr PC Mandagi MSC menyatakan keinginannya bertemu Presiden Joko Widodo. Ia ingin menyampaikan langsung pandangan gereja terkait penyelesaian masalah di Papua yang belakangan ini terus bergolak.
Seusai menghadiri HUT Kota Ambon pada Sabtu (7/9/2019), Mandagi mengatakan, banyak fakta di lapangan yang tidak sampai ke telinga Presiden. Sebagai pemimpin gereja, Mandagi memiliki data dan informasi terkait kondisi di Papua yang selama ini belum banyak mencuat ke publik. Informasi itu diperoleh dalam kegiatan pastoral gereja yang dilakukan hingga pedalaman Papua.
Selain pemerintah, gereja ikut berperan dalam membangun Papua, terutama dari pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu, gereja mendapat tempat di kalangan masyarakat asli Papua. Peran tokoh agama masih sangat strategis. Suara mereka didengar masyarakat. Tahu akan persoalan itu, gereja pun memiliki berbagai pandangan tentang metode penyelesaian masalah tersebut.
”Paling penting itu pendidikan. Orang Papua tidak bisa maju karena akses pendidikan untuk mereka sangat terbatas, bahkan di banyak tempat tidak ada sama sekali,” kata Mandagi.
Mandagi juga meminta agar migrasi orang-orang dari luar ke Papua untuk sementara dihentikan. Di mata masyarakat, orang luar menjadi ancaman. Pendatang akan menguasai semua sumber daya di sana sehingga hidup mereka lebih maju. Sementara masyarakat setempat yang masih minim pengetahuan akan tersingkir. Kesenjangan akan tercipta.
Mandagi, yang juga tokoh perdamaian Maluku, melihat kesenjangan menjadi embrio terjadinya konflik sosial seperti yang pernah melanda Maluku 20 tahun silam.
”Kami berharap, Pak Presiden bisa tahu kondisi sebenarnya sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Kami ingin bertemu dengan beliau,” ucapnya.
Kami berharap, Pak Presiden bisa tahu kondisi sebenarnya sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Kami ingin bertemu dengan beliau.
Sebelumnya, Papua dan Papua Barat bergolak lewat gelombang unjuk rasa di sejumlah kota yang berujung rusuh, bahkan hilangnya nyawa warga sipil serta aparat. Kondisi itu dipicu ujaran kebencian terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur.
Akan tetapi, motivasi aksi itu bergeser dari isu rasisme menjadi tuntutan referendum. Mahasiswa di beberapa kota turun ke jalan. ”Kami masih akan tetap turun ke jalan. Selama ini, masyarakat Papua mengalami ketidakadilan. Kami sangat kecewa,” tutur Erik Noe, pendemo, kepada Kompas, di Manokwari, Jumat lalu.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Barat Ajun Komisaris Besar Mathias Yosia Krey mengatakan, aksi provokatif dan melanggar konstitusi tetap akan dibubarkan polisi. Saat ini, terdapat 1.000 personel Polri dibantu TNI yang bertugas di Manokwari masih siaga. ”Kondisi semakin baik. Aktivitas ekonomi sudah normal,” katanya.