Sejauh-jauh Rachmi Diyah Larasati (50) terbang, pada akhirnya kampung halaman pula yang memanggilnya pulang. Kini waktunya membaktikan diri kepada masyarakat desa.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·4 menit baca
Sejauh-jauh Rachmi Diyah Larasati (50) terbang, pada akhirnya kampung halaman pula yang memanggilnya pulang. Kepak tangannya sudah menari di berbagai panggung dunia, buah pikirannya tentang seni dan jender pun sudah menggema di sejumlah kampus. Kini waktunya membaktikan diri kepada masyarakat desa.
Sinar matahari sore menembus sela-sela pohon bambu yang tumbuh di halaman rumah Diyah di Dusun Semail, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Minggu (11/8/2019). Sorotan warna jingga berpadu apik dengan dinding rumah yang disusun dari batu bata ekspos.
Di teras tujuh anak perempuan duduk melingkar. Masing-masing menyantap sebungkus lotek. Celoteh dan tawa mewarnai kelahapan mereka bersantap. Sesekali, Diyah ikut tertawa melihat anak-anak yang sedang bercanda seusai berlatih menari.
Diyah secara khusus menyediakan waktunya untuk melatih anak-anak. Latihan itu merupakan persiapan pentas dalam acara soft launching Omah Budaya Larasati, Rabu (14/8/2019). Larasati diambil dari nama belakang Diyah. Rumah budaya itu pun sebenarnya adalah rumah tinggal miliknya. Sebagian area rumah Diyah berubah fungsi menjadi ruang publik. Ruang pribadi yang tersisa baginya kemungkinan hanya kamar tidur.
Rumah budaya ini dibangun di tanah seluas lebih kurang 550 meter persegi. Menurut rencana, ruang-ruang di dalamnya digunakan untuk perpustakaan, sanggar tari, dan pelatihan kerajinan tangan. Ada pula materi pembelajaran bahasa, bahasa Inggris dan Jawa, bagi anak-anak.
”Ada ruang terbuka untuk berlatih menari dan membaca serta belajar bahasa. Begitu juga membuat kerajinan. Saya juga berencana membuat acara kesenian serta dialog terbuka yang bersifat interfaith,” kata Diyah.
Semua tari yang diajarkan di Omah Larasati berupa tarian tradisi. Diyah melihat kesenian tradisional mulai ditinggalkan pendukungnya. Padahal, ada nilai-nilai yang menjaga keharmonisan kehidupan antara alam dan masyarakatnya. Ia amat menyayangkan apabila nilai-nilai yang melekat pada tradisi itu terlupakan. Belum lagi, tambahnya, praktik seni tradisional kerap dibenturkan dengan konservatisme agama.
Justru konservatisme itu yang memantapkan Diyah mendirikan rumah budaya yang sudah ia rancang sejak 2014. ”Saya mulai melihat urgensinya. Saya harus merelakan ruang privasi untuk publik demi merespons hal-hal yang saya lihat semakin parah,” ucapnya.
Rumah budaya
Diyah mengungkapkan, rumah budaya sekaligus menjadi alasannya untuk pulang ke Indonesia. Sejak 1997, ia lebih banyak menghabiskan waktu di Amerika Serikat. Hal itu dilakukannya seusai merampungkan studi master dari Kajian Seni Tari dan Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada pada tahun yang sama.
Sudah berkali-kali saya ingin pulang. Cuma saya belum tahu jalannya. Apakah ilmu dan penghargaan yang saya terima di sana, apa yang saya punya?
”Sudah berkali-kali saya ingin pulang. Cuma saya belum tahu jalannya. Apakah ilmu dan penghargaan yang saya terima di sana, apa yang saya punyai, apa bisa digunakan di sini?” ujarnya.
Ia ingin berkontribusi kepada masyarakat melalui rumah budaya yang kini sedang dirintisnya. Jalur budaya ditempuh karena sifat kelenturannya dalam berdialektika dengan berbagai pemikiran. Bagi Diyah, ketahanan budaya itu bisa mencegah terpaparnya masyarakat sekitar terhadap pemikiran baru yang mencabut mereka dari akar sosial budayanya.
Itulah yang kemudian ia ungkapkan lewat salah satu tari kreasi terbarunya yang diberi judul Tari Kupu. Tarian itu juga akan ditampilkan bersama anak-anak Dusun Semail dalam peluncuran rumah budayanya. Tarian itu menceritakan tentang alam yang mulai berubah di dusun tersebut. Semula hamparan sawah menjadi lanskap yang menambah keasrian desa. Tetapi, perlahan sawah menghilang dan digantikan bangunan. Biasanya, kupu-kupu selalu muncul dari sela-sela hijau tumbuhan padi pada pagi hari. Fenomena itu sudah jarang. Penyebabnya, lahan pertanian perlahan berkurang.
Menurut Diyah, tari merupakan bahasa ekspresi yang menyentuh ranah berpikir. Bukan sekadar estetika, tetapi juga bicara tentang nilai-nilai. Disampaikan secara tersurat maupun tersirat melalui gerak tubuh yang penuh makna.
”Karena tarian saya bukan untuk hiburan lepas senja dan pariwisata, melainkan ruang refleksi diri, regenerasi, dan transmisi ilmu. Maka, saya akan lakukan untuk diri saya sampai tidak memungkinkan secara jiwa dan fisik,” kata Diyah.
Tarian yang Diyah tampilkan di sejumlah negara bergaya kontemporer hingga tradisional. Adapun tari tradisional yang dibawakannya itu seperti tari gandrung, golek, beskalan, dan saman.
Namun, Diyah beranggapan, jumlah pentas bukan ukuran yang digunakannya untuk melihat seberapa jauh kedalaman makna tari. Pentas hendaknya tidak berhenti pada sebuah pengulangan estetika yang artifisial saja. Tujuan utama yang perlu dicapai itu seharusnya makna apa yang akan disampaikan melalui tari.
Prof Dr Rachmi Diyah Larasati
Lahir: Malang, 30 Oktober 1968
Pendidikan:
PhD Bidang Teori dan Sejarah Tari dari University of California, Riverside (2006)
Profesor di Bidang Teori Budaya dan Kesejarahan Tubuh Tari, dalam Kajian Politik dan Jender, di Department of Gender, Women, and Sexuality Studies, University of Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat (2018-sekarang)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.