Kemajuan teknologi memberi banyak kemudahan, khususnya dalam hal mengakses informasi dan berkomunikasi. Dari gawai di genggaman tangan, informasi apa saja bisa dengan mudah ditemukan. Komunikasi pun tak mengenal batas wilayah. Di sisi lain, kemudahan itu bisa membawa dampak negatif.
Salah satu dampak negatif dari penyalahgunaan kecanggihan teknologi informasi adalah munculnya kejahatan melalui jaringan internet atau yang disebut dengan kejahatan siber (cyber crime). Di antara beberapa kualifikasi kejahatan siber, menurut konvensi mengenai kejahatan siber 2001 yang dilaksanakan di Budapest, Hongaria, ada jenis kejahatan terhadap anak-anak. Bentuk kejahatannya bisa berupa perundungan siber (cyber bullying), pornografi siber (cyber pornography), perdagangan anak secara daring, dan paedofilia.
Terbongkarnya jaringan paedofil dalam grup Facebook bernama Official Loli Candy’s Group, pertengahan Maret 2017, kian membuka mata bahwa kejahatan dunia maya dekat di sekitar kita. Hanya dalam tujuh bulan, jaringan paedofil ini sudah beranggotakan lebih dari 7.000 orang lintas negara. Mereka bertukar ratusan bahkan mungkin ribuan foto dan video porno anak. Besarnya jaringan pemangsa anak ini memicu keprihatinan yang mendalam.
Child grooming, modus baru yang terungkap beberapa bulan terakhir, semakin membuat miris kejahatan di dunia maya. Grooming adalah proses membangun komunikasi dengan seorang anak melalui internet dengan tujuan memikat, memanipulasi, ataupun menghasut anak tersebut agar terlibat dalam aktivitas seksual. Polda Metro Jaya menangkap pelaku child grooming yang beraksi via aplikasi gim daring Hago. Dalam aksinya, pelaku AAP (27) memaksa korban melakukan aksi porno dan merekamnya.
Bareskrim Polri juga menangkap pria berinisial TR (25), narapidana di Surabaya, yang diduga melakukan pencabulan melalui media sosial terhadap 50 anak di bawah umur dengan rentang usia 11-17 tahun.
Pelaku melancarkan aksinya dari dalam penjara dengan memalsukan akun Instagram dan mengikuti (follow) akun anak-anak. Melalui pesan langsung (direct message) di Instagram, TR berusaha meyakinkan anak-anak untuk mengirim foto dan video porno. Lebih dari 1.300 foto dan video anak, semua tanpa busana, ditemukan di akun surat elektronik tersangka.
Kasus meningkat
Kejahatan pornografi dan kejahatan siber yang menyasar anak di bawah umur mengalami peningkatan setiap tahun. Salah satu pemicunya adalah kemudahan akses internet dan lemahnya pengawasan orangtua.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kejahatan pornografi dan kejahatan siber terhadap anak meningkat dalam periode lima tahun terakhir. Pada 2015 hingga 2018, setidaknya ada 2.337 kasus pengaduan yang masuk.
Jumlah ini meningkat 150 persen dibandingkan dengan data 2011-2014 yang sebanyak 932 pengaduan. Pada 2018, dari 679 pengaduan, jumlah pengaduan anak korban pornografi dari media sosial menduduki peringkat tertinggi meski angkanya turun dua tahun terakhir.
Catatan KPAI menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, kasus pornografi dan kejahatan siber yang sebelumnya berada di urutan keempat menduduki peringkat ketiga, menggeser kasus anak bidang pendidikan. Peringkat pertama masih didominasi kasus anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku. Urutan kedua adalah kasus anak dalam keluarga dan pengasuhan alternatif.
Usia muda
Peningkatan laporan pornografi dan kejahatan di dunia maya beriringan dengan besarnya jumlah anak yang menggunakan internet. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) dalam survei tahun 2018 mengungkap bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia (171,17 juta jiwa atau 64,8 persen) terhubung ke internet. Angka ini meningkat 10,12 persen dibandingkan dengan pengguna internet pada 2017, yaitu 143,26 juta jiwa.
Dari seluruh pengguna internet di Indonesia, mayoritas pengaksesnya adalah penduduk dengan rentang usia 15-19 tahun, yaitu 91 persen. Kelompok usia ini adalah usia pelajar. Disebutkan pula sebanyak 66,2 persen anak berusia 10 hingga 14 sudah mengakses internet. Bahkan, anak-anak berumur 5 hingga 9 tahun pun telah piawai berselancar di dunia maya. Jumlahnya 25,2 persen dari keseluruhan sampel pada rentang usia tersebut. Jika dilihat dari statusnya sebagai pelajar, 71,8 persen di antaranya sudah mengakses internet.
Kemudahan mendapatkan perangkat telepon pintar dari berbagai merek dengan harga murah menjadi faktor penyebab pesatnya peningkatan jumlah pengguna internet. Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas medio Maret 2017 memperkuat gambaran tersebut. Jajak pendapat yang dilakukan di 14 kota besar Indonesia memperlihatkan, telepon seluler telah dimiliki anak-anak di bawah usia 17 tahun.
Lebih dari separuh responden (67,2 persen) menyatakan, telepon seluler telah dimiliki kerabat atau anggota keluarga mereka yang berusia di bawah 17 tahun. Bahkan, sebanyak 12,7 persen di antara anak-anak tersebut sudah memiliki ponsel sejak usia mereka belum menginjak 10 tahun. Hanya sepertiga responden (32,2 persen) yang menyatakan tidak memiliki telepon pintar sendiri.
Anak rentan
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, terungkap bahwa separuh responden (50,8 persen) menyatakan, anggota keluarga yang berusia di bawah 17 tahun mengakses internet dari ponsel pribadi. Hanya 30 persen yang mengakses internet dari laptop, komputer pribadi, dan warnet.
Jika anak-anak berusia kurang dari 17 tahun mengakses internet dari ponsel pribadi, hal ini memberi peluang bagi mereka untuk lolos dari pengawasan orang dewasa. Hasil jajak pendapat menunjukkan, selain mencari materi belajar, anak-anak paling sering menggunakan internet untuk bermain gim, mencari hiburan dengan mendengar musik atau menonton film, dan mencari teman ngobrol (chatting) lewat media sosial pertemanan.
Umumnya, media sosial menerapkan batas usia minimal 13 tahun bagi seseorang untuk memiliki akun. Namun, tak jarang anak di bawah usia 13 tahun membuka akun media sosial dengan memalsukan tahun kelahirannya. Celah seperti ini dimanfaatkan penjahat dunia maya untuk mencari korban.
Anak-anak gampang menjadi korban karena mereka cenderung masih lugu dan memiliki rasa ingin tahu sangat besar. Anak-anak juga suka melakukan hal baru yang sedang menjadi tren. Namun, terkadang mereka tidak menyadari risikonya.
Laporan KPAI tahun 2011-2018 memperlihatkan bahwa dari keseluruhan kasus anak korban pornografi dan kejahatan siber, jumlah terbanyak adalah kasus pornografi di media sosial. Dengan demikian, ruang privat telepon genggam atau gawai sesungguhnya sudah tidak privat lagi.
Penggunaan teknologi informasi yang tidak terbatas menyebabkan kejahatan dunia maya dapat dilakukan oleh semua kalangan dan semua umur. Realitas getir yang terjadi adalah, selain menjadi korban, anak di bawah umur juga menjadi pelaku. Dalam kasus grup paedofilia di Facebook, dua tersangkanya masih di bawah umur.
Pencegahan
Untuk mengatasi ancaman kejahatan siber dan pornografi dunia maya, orangtua perlu berkomunikasi dengan anak dan mengawasi pergaulan mereka di media sosial. Hal ini merupakan tantangan bagi orangtua dalam mendidik anak di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat. Di sisi lain, kepedulian dan peran masyarakat juga dibutuhkan untuk mencegah kejahatan siber semakin luas.
Dari sisi aturan, Indonesia mempunyai sejumlah undang-undang (UU), seperti UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak (Perppu Nomor 1 Tahun 2016) sudah memasukkan hukuman yang diperberat, yaitu hukuman mati, kebiri, dan pemasangan pendeteksi elektronik bagi pelaku berusia dewasa. Semua upaya tersebut bertujuan memastikan para predator anak tidak lagi bebas berkeliaran dan menjadi momok yang menghantui. (LITBANG KOMPAS)