Bahagia Itu Begini...
Apakah kamu bahagia?
Siapa pun dirimu, kau adalah saudaraku....
Pertanyaan ”menggelitik” itu menandai dimulainya Festival Musik Rumah 2019 di Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). Pengunjung yang sebagian besar berusia 20-30 tahun itu menyambut dengan senyum. Mungkin memang tergelitik.
Sabtu sore, pukul 16.30, semua berkumpul di sebuah rumah yang juga sanggar di Jalan Bandara Palmerah 42B, bernama Sanggar Seni Kakasya. Perhelatan musik itu digelar di halaman depan, mengambil hutan pinus sebagai latar belakang. Penonton duduk di anak tangga berundak model lengkung di depan rumah, menghadap hutan pinus dan jati.
Terik mentari yang semula menyengat, melembut seiring alunan musik yang mulai terdengar dari Yogma Charis, mahasiswa Universitas Negeri Malang. Suara renyah dan permainan gitarnya tersimak syahdu di antara desir angin dari kawasan pegunungan Buring, tempat sanggar berada.
Sore itu suasana terasa hangat, seperti acara temu keluarga yang santai, syahdu, dan membahagiakan. Setiap pengunjung yang datang menjabat erat tangan mereka yang datang lebih awal, kenal ataupun tidak. Semua lalu lebur menjadi satu.
Di tengah alunan musik, mangkuk-mangkuk makanan, camilan, dan minuman beredar melewati kerumunan, menghangatkan hari yang beranjak malam.
Di luar penampilan Sanggar Kakasya dan Yogma, ada enam penampil lainnya. Masaril Muhtadin (21), pemusik dan juga barber, sambil tertawatawa menyanyikan lagunya, ”Balada Haji Pardi”. Lagu itu menggambarkan bagaimana ia dengan enteng mengajak Pak Haji ngopi.
”Inti festival adalah mempererat rasa kekeluargaan di antara keluarga, kenalan, dan kerabat yang saling kenal. Bagi yang belum kenal pun, kami persilakan hadir dan mari saling berkenalan,” kata Yoda Mahfuddin Halim, penanggung jawab festival Sanggar Kakasya.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, Festival Musik Rumah digelar pada Minggu (18/8) sore di teras samping Djagad Karja. Orang-orang muda Pontianak berdatangan ke lokasi. Suasana hangat dan penuh tawa. Djagad Karja adalah ruang kreatif anak muda. Di dalamnya ada sanggar tari, studio musik/rekaman, kedai kopi, hingga distro.
Sore itu, Kasya (19) membawakan lagu-lagu bergenre pop alternatif, disusul Tazki yang tampil membawakan, antara lain, ”Satu Nusa Satu Bangsa”, ”Sinanggar Tulo”, ”Suwe Ora Jamu”, ”Cik-Cik Periuk”, dan ”Apuse”.
”Kami membawakan lagu nasional dan daerah untuk menyatukan perbedaan,” kata Edo Pradana Prasitha (31), personel Tazki. Penampilan Tazki disusul Pistol For Moms.
Helmi (27), personel Pistol For Moms, mengatakan, acara sore itu menunjukkan, bermusik tak harus di panggung besar. Bermusik bisa dilakukan di mana pun. Di ruang kreatif seperti Djagad Karja, bahkan di rumah. Ragam genre musik yang ditampilkan bisa dimaknai sebagai upaya menunjukkan keberagaman. Meski berbeda genre, tetapi bisa tampil di satu panggung yang harmoni.
Pelaksana Festival Musik Rumah 2019 Pontianak, Arbian Octora, mengatakan, Festival Musik Rumah bertujuan menyatukan anak-anak Nusantara dan merayakan kebinekaan. Festival yang digagas musisi Petrus Briyanto Adi dari Kelompok Bonita & The Husband ini juga digelar serentak di banyak kota di Indonesia dan beberapa negara, seperti Jerman, Belanda, dan Jepang. Tema tahun ini adalah ”Merayakan Kebinekaan, Merawat Kebersamaan, dan Menjalani Kebahagiaan”.
Mengapa dari rumah? Karena rumah adalah awal segala sesuatu, termasuk untuk menanamkan keberagaman. Di acara ini penampil dan penonton datang dari berbagai latar belakang. ”Kami masuk dari musik karena bahasanya universal. Hampir semua menikmati musik. Dengan musik, lebih mudah menyampaikan pesan, dalam hal ini pesan kebinekaan,” kata Arbian. Dia berharap, pesan kebinekaan tersebar di Pontianak yang penduduknya sangat beragam.
Di Jakarta, Festival Musik Rumah, antara lain, digelar di rumah Anya Aureel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada 16 Agustus lalu. Penampilnya adalah Kvmbaya yang diawaki Arief (30), Gerald (36), dan Indra (27).
Malam itu, mereka membawakan lima lagu di pendopo kecil dekat kolam renang di area belakang rumah. Penonton datang dari lingkaran teman-teman mereka. Sebagian teman baru yang dibawa teman-teman mereka.
Kvmbaya tertarik terlibat di acara itu juga karena konsep kekeluargaannya. ”Zaman sekarang, kan, krisis cinta. Festival ini pas banget. Ada yang di rumah, ada yang di kafe juga. Jangan lihat panggungnya. Lihat humanity-nya. Interaksi antarmanusianya di situ. Namanya kita manusia, makhluk sosial,” kata Gerald.
Kampanye lingkungan
Di Bali, 23-25 Agustus lalu, Greenpeace menggelar Summer Festival 2.0 yang salah satu rangkaian acaranya adalah konser musik. Selama festival berlangsung, seluruh pasokan listrik yang dikonsumsi sepanjang acara diperoleh dari panel-panel surya yang dipasang penyelenggara meski lokasi acara tak jauh dari pembangkit listrik Celukan Bawang, Bali. Pesan yang ingin disampaikan adalah energi terbarukan.
Konser musik melibatkan 18 musisi dan band dengan ketertarikan isu terkait. Ajang itu juga menjadi kesempatan untuk meluncurkan album kompilasi Senandung Energi Bumi. Yang terlibat, antara lain, Iksan Skuter, Navicula, Sisir Tanah, dan Zat Kimia.
”Kami tidak ingin konser ini sekadar menampilkan pertunjukan musik lalu selesai. Ada sejumlah workshop dan seminar melibatkan 26 komunitas peduli lingkungan se-Jawa dan Bali,” ujar Hadi Priyanto, project lead Summer Festival 2.0.
Festival musik digelar gratis. Orang bebas datang dan menonton para artis yang tampil. Album kompilasi juga tak dikomersialkan dalam arti dijual dalam bentuk fisik. Para musisi dan band yang terlibat di acara itu juga tampil probono.
Vokalis Navicula, I Gede Robi Supriyanto, mengatakan, Navicula terlibat di festival itu karena sejak lama Navicula berkomitmen pada isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup sebetulnya juga akan terkait ke banyak hal, mulai dari ekonomi, politik, kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan.
Angkutan umum
Di Stasiun BNI City Jakarta, Minggu (1/9) malam, Railink Jazz 2019 digelar operator kereta bandara pertama di Indonesia, PT Railink, untuk menghibur konsumen. Meski pengunjung mulai berdatangan ke pelataran parkir timur lantai satu stasiun mulai pukul 13.00, penonton baru ramai menjelang Syaharani tampil sekitar pukul 19.00.
Ia menyapa penonton dengan mengisahkan sedikit soal lagu yang akan dilantunkannya, ”You Don’t Know Me”. ”Apa? Curhat? Enggak. Saya kalau suka sama orang jarang gagal, ha-ha-ha,” ujar Rani merespons celetukan penonton. Ia juga mendendangkan ”Street Life” dan ”Tersiksa Lagi”.
Pelataran itu hanya terisi seperlima dari kapasitasnya. Walakin, kerumunan yang tak berdesakan justru menciptakan intimasi. Penyanyi dan penggemar berjarak amat dekat hingga gurauan penonton acap kali berbalas.
Mohammad Istiqamah Djamad, yang tampil setelah Syaharani, juga menyapa hangat penonton. Ia, antara lain, membawakan lagu ”Di Atas Meja”, ”Berdua Saja”, ”Kehabisan Kata”, dan ”Tidurlah”. Artis pamungkas malam itu adalah Yura Yunita.
”Sederhana. Kami mau ajak masyarakat menjadikan angkutan umum pilihan utama. Kereta bandara termasuk transportasi publik dan sudah ada intermodanya,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Railink Mukti Jauhari tentang tujuan dibuatnya Railink Jazz 2019.
Menurut Mukti, Railink Jazz ini tak berorientasi profit. Acara itu didukung sponsor, seperti BNI, PT Angkasa Pura II, Teh Pucuk Harum, Indomaret, KAI Access, dan PT Reska Multi Usaha.
Festival musik memang tak melulu soal tiket mahal berjuta-juta rupiah, panggung megah, tata lampu penuh warna, dan ”taburan” musisi beken kelas dunia. Festival musik juga media untuk merayakan kebinekaan dan merawat kebersamaan, termasuk mengampanyekan isu lingkungan dan ajakan menggunakan angkutan umum.
Bahagia itu sederhana.
(DIA/ESA/DWA/BAY/DOE)