JAKARTA, KOMPAS - Harapan masyarakat untuk melihat Indonesia bebas dari korupsi bakal pupus jika tidak ada mitigasi risiko dari lembaga kepresidenan. Ini menyusul lolosnya sebagian calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi bermasalah ke tahap uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Minggu (8/9/2019) menyebutkan bahwa hal tersebut terkait dengan uji kelayakan dan kepatutan yang akan dilakukan 10 September mendatang terhadap sepuluh calon yang dipilih Pansel Capim KPK. Pesimisme dengan kemungkinan bakal dipilihnya sejumlah capim bermasalah muncul karena sejumlah indikasi kuat.
Kurnia menyebutkan, hal itu misalnya saja dengan pernyataan sebagian anggota DPR untuk memilih capim yang sesuai dan menyetujui poin-poin dalam revisi UU KPK. Padahal, poin-poin dalam revisi UU KPK itu sangat berpotensi melemahkan KPK.
“Ini sinyal pesimis untuk (meyakini bahwa DPR akan) pilih (capim) yang kredibel,” ujar Kurnia dalam diskusi bertema “Darurat Pemberantasan Korupsi; Stop Pelemahan KPK di Kantor ICW, Jakarta.
Hal lain terkait dengan pemahaman soal integritas capim yang terllihat dari ketidakpatuhan sebagian capim pada aturan terkait Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) . Menurutnya akan sangat tidak bisa dimengerti bila kelak capim tersebut lolos mengingat aturan tentang LHKPN merupakan produk hukum yang juga dihasilkan DPR.
“Jika mitigasi risiko tidak ada dari istana (Istana Kepresidenan), 2019 akan jadi akhir kok (dalam upaya pemberantasan korupsi),” sebut Kurnia.
Sikap Presiden
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang, pada kesempatan yang sama mengatakan jika capim bermasalah masuk ke dalam KPK dan revisi UU KPK benar terjadi, maka aktivitas penangkapan terhadap pelaku korupsi tidak akan ada lagi. Lembaga KPK akan tetap ada, namun sekedar bekerja rutin saja dan seolah-olah ada aktivitas. Aktivitas yang dilakukan, mungkin hanya sebatas pada sosialisasi seputar isu pemberantasan korupsi.
Perampokan terhadap uang negara akan lebih banyak terjadi tanpa tindakan tegas dan efek jera untuk menghentikannya. Rasamala menambahkan, dengan demikian perekonomian akan rapuh dan proses demokrasi akan hilang
Karena itulah menegaskan bahwa saat ini momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan dengan tegas dan lugas penolakan terhadap revisi UU KPK. Pembicaraan mengenai korupsi, imbuh Rasamala, hendaknya jangan hanya disampaikan saat kampanye pemilu agar masyarakat memilih, namun juga mesti ditunjukkan berupa komitmen keberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi seperti saat ini.
Pilihan untuk menerima sebagian, seperti menyetujui keberadaan Dewan Pengawas dan pembatasan masa penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi selama satu tahun saja, tidak bisa diterima.
Keinginan untuk mengadakan Dewan Pengawas, imbuh Rasamala, merupakan hal aneh karena berdasarkan undang-undang, KPK sudah diawasi DPR, BPK, dan Presiden. Ia mempertanyakan apakah mengusulkan Dewan Pengawas merupakan bentuk ketidakmampuan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan tersebut.
Sementara terkait pembatasan masa penetapan tersangka selama satu tahun, menurut Rasamalaaakan menghalangi upaya pengungkapan dan pemberantasan korupsi yang sebagian berhubungan dengan kekuasaan atau rezim pemerintahan tertentu. Ia mengatakan, kadangkala sebagian kasus korupsi baru bisa terbongkar setelah penguasa tertentu menyelesaikan masa jabatannya, misalnya dalam periode seetlah lima tahun.
Rasamala menambahkan, upaya pemberatasan korupsi mestinya tidak dihentikan oleh sejumlah formalitas. Jika itu terjadi, imbuhnya, hal itu merupakan langkah mundur.
Internal KPK
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada hari yang sama di lokasi terpisah mengatakan, ia hanya tinggal berharap lima orang yang pada akhirnya nanti akan menjadi para pemimpin KPK setelah dipilih DPR, bisa datang dan sesuai dengan nilai-nilai KPK. Ia menegaskan, siapapun yang dipilih kelak tidak akan bisa sesuka hati saat berada di KPK.
“Di KPK ada sistem nilai yang sudah jelas. Checks and balances jelas. Pengawasan internal dan pengaaduan masyarakat sudah jelas,’ kata Saut.
Ia menambahkan, terkait sebagian capim yang mendukung usulan revisi UU KPK, agar sebaiknya jangan dipilih. Pasalnya, imbuh Saut, yang dipilih oleh KPK adalah capim untuk memperkuat lembaga anti rasuah tersebut.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.