Katalog ala Tarantino
Tarantino tanpa rasa Tarantino. Film terbaru Quentin Tarantino, Once Upon a Time in Hollywood, tak banyak menyajikan gory, adegan berdarah sadis yang kerap ditampilkan sutradara kontroversial itu. Perlu sudut pandang lain untuk menikmati karya yang sarat akan kejadian, lokasi, dan tokoh nyata itu.
Tahun 1969. Ketika generasi Amerika Serikat yang beruntung menonton festival musik Woodstock, barisan pria malang dikirim untuk tercabik-cabik dalam Perang Vietnam.
Pada saat yang sama, di Hollywood, Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) menghadapi palagannya sendiri. Pamor aktor itu memasuki senja kala setelah menikmati puncak kejayaannya lewat serial televisi hitam putih soal koboi pemburu uang sayembara, Bounty Law, tahun 1950-an.
Dalton jadi melankolis. Ia tersedu-sedu saat curhat soal kariernya di bahu Cliff Booth (Brad Pitt). Ia bisa histeris pula karena lupa mengucapkan dialog saat shooting.
Dalton berkarib dengan Booth, pemeran penggantinya merangkap asisten pribadi. Buat Dalton, Booth sudah seperti ”setengah istri”. Booth menyopirinya, sampai memperbaiki pula antena televisinya. Dalton terlalu sering mabuk hingga dilarang menyetir.
Booth secara psikologis juga kerap diganggu kesuraman masa lalunya. Seorang veteran perang yang digosipkan membunuh istrinya. Berkebalikan dengan perangai kesehariannya yang tenang, Booth bisa sangat beringas jika Dalton dan propertinya diganggu.
Dalton mencoba peruntungan dengan menerima tawaran main dalam film bergenre spageti. Tipikal film koboi jagoan yang merebak pada 1960-an. Petaka bermula saat Dalton mengantar Pussycat (Margaret Qualley) ke komunenya yang tinggal di Spahn Ranch.
Dalton memaksa bertemu dan membangunkan George Spahn (Bruce Dern) dari tidurnya. Komune itu murka, apalagi Dalton menghajar salah satu anggotanya, Clem (James Landry Hebert). Komune yang dendam bertekad menuntut balas untuk menghabisi Dalton.
Tarantino sekali lagi bermain-main dengan sejarah seperti Inglourious Basterds. Ia dengan ”nakal” menempelkan citra bergerak Dalton dalam cuplikan film legendaris tahun 1963, The Great Escape. Dalton menggantikan pemeran utama asli, Kapten Virgil Hilts (Steve McQueen), saat berbincang dengan komandan kamp tawanan milik Jerman, Kolonel von Luger (Hannes Messemer).
Lain waktu, Dalton secara fiktif juga muncul dalam The F.B.I, serial televisi tahun 1960-an. Ia bermain sebagai Murtaugh, kepala geng dalam episode “All The Street Are Silent”. Hampir semua sutradara, bintang film, dan penyanyi yang tampil adalah tokoh nyata Hollywood.
Sharon Tate, Roman Polanski, dan Jay Sebring hanya beberapa figur kondang yang menjalin irisan antara kenyataan dan fiksi dalam film itu. Pada tahun yang sama, mereka sungguh-sungguh mengalami tragedi setelah rumah Polanski didobrak pembunuh keji. The Year of Living Dangerously, meminjam judul film berlatar tahun 1965.
Kenakalan
Menikmati Once Upon a Time in Hollywood memang perlu wawasan film yang amat jembar untuk menikmati kenakalan Tarantino. Penonton akan mengikik menyaksikan Tarantino berakrobat dengan plot film, artis, dan lokasi lawas yang berseliweran.
Di lokasi shooting, Bruce Lee baku hantam dengan Booth saat aktor sekaligus pakar bela diri itu sedang ngocol-ngocol soal duel tinju Mohammad Ali melawan Sonny Liston. Lee berang karena Booth tertawa sinis dan menganggapnya banyak omong. Karakter Lee yang sangat khas.
Musso & Frank Grill, restoran tertua di Hollywood yang berdiri sejak 1919, juga menjadi lokasi shooting. Booth tinggal di karavan yang berada di belakang Van Nuys, bioskop dengan pelataran terbuka untuk parkir mobil sambil menonton film di Los Angeles.
Once Upon a Time in Hollywood juga menggambarkan hedonisme tahun 1960-an dengan kegilaan pesta di Playboy Mansion, dansa, dan mobil Coupe DeVille tahun 1966 milik Dalton. Lagu-lagu retro yang didendangkan Simon & Garfunkel, Deep Purple, dan Paul Revere & The Raiders mengalun di sela film. Menyimak Once Upon a Time in Hollywood, bagai merunut katalog historis film yang disusun Tarantino.
Kejahilan Tarantino serupa Once Upon a Time in Hollywood pernah disodorkannya dalam Inglourious Basterds. Diktator Jerman, Adolf Hitler, dan begundal-begundalnya yang diceritakan meregang nyawa dalam bioskop mungkin membuat sejarawan mengernyitkan dahi. Aslinya, riwayat Hitler tamat lantaran bunuh diri.
Tanpa pengetahuan sinema yang mumpuni, sesuai judulnya, film itu hanya akan menjadi drama komedi suatu waktu di Hollywood, dengan alur linear atau adegan-adegan terlampau detail.
Film itu bagai membuka dimensi lain kehidupan Hollywood yang glamor, tetapi masih relevan dengan kenyataan. DiCaprio mampu menampilkan sosok pemabuk yang jenaka sekaligus menyedihkan itu dengan pas.
Tarantino dalam wawancaranya di majalah Time pada 5 Agustus 2019 menjelaskan, film itu seharusnya sudah rampung lima tahun lalu. ”Saya berpikir banyak soal keluarga Mansion (kelompok yang membunuh istri Polanski, Sharon Tate, dalam kehidupan nyata),” katanya.
Banyak penggila film mempersoalkan porsi Tate yang sangat kecil untuk bersuara soal tragedi di kediaman Polanski dalam Once Upon a Time in Hollywood. Tarantino bergeming dengan menganggap Margot Robbie sangat ideal untuk peran itu. ”Robbie satu-satunya yang pantas untuk memerankan Tate. Ternyata, dia mengutarakan minat untuk membintangi film saya,” katanya.
Bagi sebagian khalayak, referensi-referensi kultur pop Tarantino dalam film terbarunya tak pelak akan sulit diserap. Ia menyerahkan semua kepada penonton. ”Ada penonton yang pengetahuannya luas. Banyak juga yang minim. Mereka mesti googling (mencari informasi di internet) dulu,” ujarnya.
Tarantino pernah menyatakan akan berhenti berkarya setelah menghasilkan 10 film. Once Upon a Time in Hollywood, seperti dikutip Time, adalah film yang kesembilan. Ia sudah menggeluti dunia sinema selama lebih kurang 30 tahun.
Rentang waktu itu dianggap Tarantino sudah cukup lama. Tarantino ingin melakukan hal- hal lain. ”Saya mencurahkan hidup demi film. Butuh waktu cukup lama untuk membuat setiap film. Saya akan menentukan sendiri pengujung karier saya,” katanya.